Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penerbit Islam Mazhab Tengah di Indonesia

Sedikitnya 900 tamu memadati Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Malam itu, Penerbit Mizan punya hajat merayakan kelahirannya yang ke-20.

Angka 20 ini, menurut Haidar Bagir, Direktur Utama Mizan, memiliki makna tersendiri. Selain mensyukuri usia dewasa, penerbit papan atas itu memberikan penghargaan kepada penulis produktif dan terbaik.

Usai melepas tiga buku sekaligus --Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Filsafat Islam, dan Bocah Muslim-- penerbit asal kota Bandung, Jawa Barat, itu memberikan Mizan Awards kepada dua penulis. Mereka adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra (Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta) dan Asma Nadia (cerpenis remaja Islami).

Azyumardi memang produktif. Dalam setahun bisa menelurkan dua-tiga buku, dengan bobot akademis cukup prima. Di sisi lain, Asma Nadia, lewat kumpulan cerpennya, Rembulan di Mata Ibu (Mizan, 2000) dan Dialog Dua Layar (Mizan, 2001), meraih penghargaan sebagai buku terbaik dan pengarang terbaik dari Ikatan Penerbit Indonesia.

Di usianya yang ke-20, menurut Haidar, Mizan tetap tegak dalam posisinya sebagai mazhab tengah. ''Itu mazhab Mizan, yang menganjurkan keterbukaan terhadap berbagai pemikiran,'' katanya. Toh, kata Haidar pula, Mizan tak akan terjebak pada situasi ad hoc yang sepotong-potong. ''Buku-buku Mizan berusaha bersifat mendasar, padu, dan metodologis,'' ia menambahkan. Di jajaran penerbit buku-buku Islam, Mizan sudah menjadi gurita dengan 200 karyawan dan 10 anak perusahaan.

Penerbit Gema Insani Press (GIP), Jakarta, juga akan merayakan ulang tahun ke-17 pada 9 Mei nanti. ''Kami mensyukurinya dengan mengadakan pengajian untuk karyawan,'' ujar Kusmanto, Kepala Divisi Pemasaran GIP.

GIP, menurut Kusmanto, masih bergerak di sekitar segmen menengah. Komposisinya, 20% bukunya untuk konsumsi menengah ke bawah, 50% menengah, dan 30% lain menengah ke atas. Berbeda dari Mizan yang gemar menerbitkan buku-buku ''pemikiran'', GIP memilih yang praktis-praktis. ''Faktanya, buku-buku tentang ibadah, wanita, dan akhlak masih diminati pembaca,'' tutur Kusmanto. Seperti halnya Mizan, GIP juga membidik pasar pembaca muslim.

Sukses Mizan dan GIP rupanya menarik minat pendatang baru. Robbani Press, misalnya. Penerbit yang lahir pada 1992 itu khusus menerbitkan buku-buku fikrah dan harakah, pemikiran serta pergerakan Islam, dengan tiras 3.000 sampai 5.000 eksemplar setiap kali terbit. ''Dengan tiras sebesar itu, umumnya habis terjual, tak bersisa,'' kata Iin Setyani, General Manager CV Robbani Press.

Karena bercorak pemikiran dan gerakan, karya aktivis ''Ikhwanul Muslimun'' seperti Sayyid Qutb, Sa'id Hawwa, dan Yusuf Qardhawi banyak diterbitkan Robbani. Belakangan, buku-buku Harun Yahya, cendekiawan asal Turki, juga diterbitkan Robbani. ''Buku-buku Harun Yahya laris manis,'' ujar Iin.

Ada juga yang memilih jalur akademis. Yang sudah kondang tentu Penerbit Paramadina, yang muncul sejak 1992. Selain menerbitkan karya-karya Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Paramadina juga menerbitkan seri disertasi. Buku-buku karya Cak Nur, panggilan akrab Nurcholish, yang kini mencalonkan diri sebagai presiden 2004 itu cukup lari. Tapi tidak untuk karya-karya yang diambil dari disertasi.

''Namun, kami tetap menebitkannya karena misi,'' tutur Ahmad Gaus, Ketua Sidang Redaksi Penerbit Paramadina. ''Misinya ialah meningkatkan semangat dialog dan demokratisasi pemikiran keagamaan,'' katanya kepada Andy Saputro dari GATRA.

Bila Paramadina memilih buku-buku serius, Penerbit Serambi mencoba menampilkan yang lebih populer. ''Akademis tak harus lahir dari kalangan kampus, tapi memiliki kualifikasi ilmiah,'' kata Husni Syawie, Direktur Utama Serambi. Menurut Husni, pilihannya jatuh ke basis akademis karena jarang ada penerbit Islam yang menanganinya.

Berbeda dengan Paramadina yang lebih menekankan pada misi, Serambi tidak mau cuek begitu saja pada selera pasar. Karenanya, buku-buku Serambi dikemas secara apik, baik segi editingnya, desain, maupun tata warnanya.

Boleh jadi, buku itu seperti nasi. Pasarnya selalu terbuka. Tergantung siapa yang memasaknya, bagaimana kemasannya, dan kepada segmen mana akan ditawarkan. Peluang masih terus terbuka.

Herry Mohammad
Majalah Gatra edisi 25 / IX, 10 Mei 2003