Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemikiran dalam Buku-buku Kahlil Gibran

Kahlil Gibran adalah sosok kosmopolitan. Buku-bukunya dibaca oleh semua kalangan, dengan spektrum yang amat luas. Dari yang awam akan karya satra sampai mereka yang melakukan telaah untuk tujuan akademik. Dari remaja yang dimabuk asmara sampai para filosof yang mengunyah dan mengurai nilai-nilai moral. The Prophet, misalnya, dipandang memberi pencerahan bagi banyak orang.

Buku Sang Nabi telah dicetak jutaan eksemplar, dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Konglomerat seperti Ciputra, misalnya, adalah satu dari sekian banyak orang Indonesia yang banyak mengambil manfaat dari adikarya Gibran tersebut. Dalam berbagai kesempatan, tak jarang Ciputra menyisipkan kata-kata yang dicuplik dari puisi Gibran.

Kosmopolitanisme Gibran tak lepas dari latar sejarah kehidupannya, yang fondasinya diletakkan oleh Kamileh, ibunya. Kamileh adalah tempat awal Gibran menimba ilmu dan kehidupan ini. Ia seorang polyglot yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis. Sang ibu mengajari anaknya tentang tari, musik, dan seni lukis.

Pada usia sekolah dasar, Gibran sudah terlihat memegang kuas dan cat warna. Ibunya menuntun dalam menggoreskan sentuhan-sentuhan di atas kanvas. Meski hanya 12 tahun mukim di tanah kelahirannya, Lebanon, Gibran sempat menikmati suasana nasionalisme Arab yang menggebu-gebu, pasca-penjajahan Turki atas Lebanon, di akhir Perang Dunia I.

Perang itu berakhir dengan diambil alihnya wilayah Suriah dan Lebanon oleh Prancis, yang akhirnya juga dimerdekakan. Maka, tidaklah berlebihan bila sampai sekarang, di Suriah dan Lebanon, bahasa Prancis menjadi bahasa asing pertama yang dipakai penduduknya. Di Lebanon sendiri, beragam agama bisa hidup berdampingan.

Ada Kristen, Islam, juga Yahudi, lengkap dengan ragam aliran dan mahzab masing-masing. Nasionalisme Arab rupanya lebih kental ketimbang perbedaan agama. Lihatlah ungkapan yang sangat terkenal sampai sekarang di Lebanon, "Ana Arabi qobl-al-Islam". Maknanya, "Aku orang Arab sebelum menjadi Islam".

Baik ketika di Lebanon maupun di Amerika Serikat -dan berlanglang buana ke Eropa- Gibran menikmati suasana global. Dan itulah yang memberikan andil pada karya-karyanya yang penuh nuansa humanisme sejati, melintas batas benua dan agama. Hal itu tampak dalam karya- karya Gibran, baik prosa maupun puisi, juga goresan-goresan lukisannya.

Dalam The Garden of the Prophet (Taman Sang Nabi), Gibran menulis: "Tidakkah kalian tahu bahwa tiada jarak kecuali apa yang direntang oleh jiwa? Dan kalau jiwa merentang jarak, maka jarak itu menjadi irama dalam jiwa."

Jarak di antara umat manusia tak bisa lepas dari praduga-praduga yang belum teruji kebenarannya. Praduga itulah yang membuat manusia satu sama lain tak siap menjalani perbedaan, baik etnis, ras, maupun agama. Itu pula yang menimbulkan syak wasangka, iri hati, dan curiga. Bagi Gibran, etnis ataupun geografis bukanlah dalih untuk menciptakan kotak-kotak yang picik.

Juga tidak untuk mengunggulkan yang satu terhadap yang lain. Ia sangat merindukan bersatunya umat manusia, yang tak dibatasi secara geografis maupun etnis. Itu terlihat dalam The Poet's Voice (Suara Penyair) bagian pertama:

"Manusia terbagi dalam suku-suku dan marga-marga, menghuni negeri-negeri dan kota-kota, sedangkan diriku orang asing di tengah kumpulan warga; kampung halaman, sejengkal pun aku tidak punya. Tanah airku adalah alam semesta. Margaku: kesatuan umat manusia."
Dan di bagian ketiga Gibran menulis:
"Engkau saudaraku, karena kau dan aku manusia, dan kita adalah anak- anak dari roh Suci, kita sederajat dan diciptakan dari tanah yang sama. Kehadiranmu selaku kawan seperjalananku di bumi, yang membantu upayaku membuka selubung kebenaran abadi. Dikau manusia, dan kenyataan ini telah cukup memadai bagiku, yang menyebutmu saudaraku tercinta."

Sebagai humanis, Gibran menolak keras upaya bangsa-bangsa yang kuat secara militer untuk menjajah yang lemah. Ini terlihat di bagian keempat Suara Penyair:

"Engkau adalah saudaraku, tapi mengapa bertengkar dengan aku? Mengapa kau menyerang negeriku, mencoba untuk menindasku demi sebuah senyum kesenangan orang yang mencari kemenangan dan kekuasaan? Apa sebabnya kautinggalkan anak-istri, demi petualangan mencari mati, di rantau jauh demi mereka yang membeli kemegahan diri dengan darahmu, dan memperoleh penghormatan dengan air mata ibumu?

"Apakah merupakan kehormatan bagi seseorang untuk membunuh saudaranya? Kalau engkau menganggapnya sebagai kehormatan, maka jadikanlah hal itu tindakan ibadah dan dirikan kuil untuk Kain yang telah membunuh saudaranya, Abel."

Cinta kasih terhadap sesama makhluk yang hendak membunuhnya pun ditunjukkan Gibran dalam The Forerunner (Sang Pralambang). Dikisahkan, dua rajawali bertarung di atas angkasa gara-gara memperebutkan anak domba yang sedang merumput bersama induknya. Sang induk takjub, dipandangnya anaknya, dan berkata:

"Aneh benar, Nak, dua burung yang mulia itu saling menyerang. Anakku, berdoalah, berdoalah dalam hati agar Tuhan sudi mendamaikan kedua kakakmu yang bersayap itu." Dan domba kecil itu pun berdoa dalam hati.

Bagaimana dengan lukisan manusia-manusia telanjang Gibran? Manusia- manusia yang dilukis Gibran -dalam berbagai posisi- tak pernah ditempatkan pada latar belakang tertentu. Mereka cenderung mengawang, serta tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dari berbagai karya Gibran itu, tampaklah ia bukan sosok Timur atau Barat. Ia tak dibatasi sekat-sekat etnis, budaya, geografis, ataupun agama.

Herry Mohammad
Majalah Gatra, 23 Oktober 2000