Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembakaran Buku Kiri: Melarang Kritik Marxisme

Sebuah spanduk warna biru terbentang di dinding Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu siang pekan lalu. Di atasnya tertulis: "Lawan Buku dengan Tulisan, Bukan dengan Api atau Pedang". Puluhan tokoh, antara lain filsuf Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim, dan penyair Goenawan Mohamad, tampak berkumpul di ruangan itu.

Mereka hadir guna meresmikan satu gerakan baru: Aliansi untuk Kebebasan Berpikir dan Bersuara (AKBB). Dan, sebagaimana bunyi kalimat dalam spanduk, rangkaian acara lahirnya aliansi ini hampir seluruhnya berhubungan dengan buku. Misalnya, ada diskusi "Pelarangan Buku oleh Masyarakat", atau orasi budaya "Buku dan Kebebasan Berpikir" oleh Goenawan Mohamad.

Aliansi itu memang sebuah reaksi. Pemicunya adalah aksi pembakaran buku, 19 April lalu. Ketika itu, 33 organisasi massa, seperti Gerakan Pemuda Islam dan Front Merah Putih -yang menyebut diri Aliansi Anti-Komunis (AAK)- berkumpul di satu tempat di Menteng, Jakarta Pusat, dan melakukan aksi pembakaran buku Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno.

AAK mencanangkan, setelah pembakaran itu, mereka men-sweeping buku yang mengandung ajaran komunisme. Franz Magnis-Suseno, yang bukunya dibakar, merasa bahwa tindakan AAK itu berlebihan. Sebab, buku Pemikiran Karl Marx karyanya justru berisi kritik atas gagasan Marx. "Dengan pembakaran dan sweeping buku itu, yang dipertaruhkan justru masa depan demokrasi Indonesia," katanya.

Franz Magnis dan AKBB tak sendirian menentang aksi sweeping buku ini. Berbarengan dengan peluncuran AKBB, Rabu lalu itu, Pengurus Pusat Ikatan Penerbit Indonesia serta Gabungan Toko Buku Indonesia juga menggelar konferensi pers menentang upaya-upaya sweeping buku oleh kelompok mana pun di masyarakat.

Toh, ancaman AAK tidak cuma berkutat pada soal buku. Menurut M. Nofal Donggio, Sekretaris Jenderal AAK, aksi aliansinya tak akan berhenti hanya mengurusi buku. "Setelah buku, AAK akan men-sweeping orang," katanya. Nofal merasa, gerakannya tak melanggar hukum karena sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor 25/1966, tentang Pelarangan PKI dan Ajaran Komunisme.

Tampaknya, ancaman kelompok antikomunis ini tak bisa diremehkan. Lihat saja aksi gerakan antikomunis Yogya yang mulai brutal. Rabu dua pekan lalu, ratusan mahasiswa yang sedang berjalan kaki menuju Gedung DPRD Yogyakarta tiba-tiba diserbu puluhan pemuda Gerakan Pasukan Antikomunis, di Jalan Pangeran Mangkubumi.

Padahal, aksi Keluarga Besar Mahasiswa Yogyakarta itu cuma mengangkat isu reformasi pendidikan dalam rangka Hari Pendidikan Nasional. Dalam aksi penyerangan itu, empat mahasiswa cedera. Mereka terkena pentungan dan sabetan senjata tajam. Mungkin karena itu, di Yogya, justru polisilah yang melakukan sweeping buku.

Reserse Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta, Rabu pekan lalu, menyita 49 buku dari pedagang di kios-kios di pusat penjualan buku bekas Jalan Kahar Muzakar. Salah satunya berjudul Jadilah PKI yang baik karya D.N. Aidit. Menurut Brigadir Jenderal Saleh Saaf, Kapolda Yogyakarta, buku-buku itu hanya dititipkan sementara di polda karena masuk daftar larangan kejaksaan. "Agar tak diganggu orang," katanya.

Di Jakarta, AKBB tak hanya melakukan perlawanan dengan diskusi dan orasi. Dipimpin dramawan Ratna Sarumpaet, AKBB mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan meminta lembaga itu mengusut aktor intelektual di belakang gerakan AAK. "Di balik gerakan ini pasti ada kepentingan orang-orang Orde Baru yang terlibat peristiwa tahun 1965," kata Ratna Sarumpaet.

Kampanye berbagai kalangan yang anti-sweeping buku "kiri" ini, boleh jadi, didengar pemerintah. "Kabinet memutuskan, aksi sweeping mengunjungi toko-toko buku tak diperkenankan lagi," kata Menteri Kehakiman, Baharudin Lopa, seusai sidang kabinet, Kamis pekan lalu. Untuk sementara, persoalan memang seolah selesai.

Tapi, di sisi lain, hingga akhir pekan lalu, belum terdengar niat pemerintah mencabut keputusan pelarangan berbagai buku yang diputuskan semasa rezim Orde Baru.

Krisnadi Yuliawan, Rohmat Haryadi, dan Kristiyanto (Yogyakarta)
Majalah Gatra edisi 26 / VII, 19 Mei 2001