Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengembangkan Profesi Editor di Indonesia

Menjelang Piala Dunia 2002 kemarin, kesibukan si Fulan semakin bertambah. Maklum, dia seorang wartawan olahraga —yang kebetulan juga memegang desk sepak bola internasional— yang secara tidak langsung pasti terlibat dalam arena akbar itu. Hampir terlihat ia jarang berada di rumah. “Nginap di kantor Mbak, maklum kejar berita dan deadline?” begitu kata sang istri yang kebetulan juga tetangga saya di rumah. Malam harinya, ketika sedang asyik mencari gelombang radio untuk mengantar lagu tertidur saya dikejutkan oleh suara yang tak asing lagi. Si Fulan sedang bercuap-cuap di salah satu satu radio swasta untuk mengulas pertandingan sepak bola. Yang lebih mengherankan lagi (bahkan membuat saya takjub), malam berikutnya si Fulan muncul di televisi, masih dengan pembahasan yang sama: mengulas pertandingan sepak bola. Penampilan si Fulan, baik di radio dan televisi tidak hanya sekali, tapi bias dikatakan bersinambungan. Pagi muncul di surat kabar dengan berita-berita terbaru mengenai pertandingan sepak bola. Sementara malam muncul dengan “cuap-cuapnya” yang penuh humor disertai dengan strategi jitu sehingga penonton dan pemirsa tidak dibuat jenuh. Itulah si Fulan yang bisa memanfaatkan peluang sehingga bisa menangkap pasar. Atau “sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui”.

Pernah di kesempatan lain saya bertemu dengannya. Dengan iseng saya bertanya, “Mas... kok mau diambil semuanya sih? Apa tidak cukup hanya keluar di surat kabar? Atau... masih mencari “segenggam” berlian?” Dengan tenang ia pun menjawab. “Dik, bukan itu yang saya cari. Saya hanya membaca peluang dan saya lihat peluang itu ada di depan mata saya, jadi kenapa tidak saya pergunakan sebaik-baiknya.” Mendengar jawaban yang diplomatis itu, saya pun terkesima. Ya... peluang atau kesempatan. Itulah kata kuncinya.

Jawaban-jawaban yang dilontarkan si Fulan itu terngiang-ngiang sampai sekarang. Kesempatan yang dia ambil itu tidak saja bisa menambah “pemasukan” tetapi juga bisa mengasah keterampilannya dalam berpikir, berolah kata, dan berkomunikasi. Dengan muncul di radio dan televisi ketajaman berita yang akan ditulisnya di surat kabar semakin kuat. Selain itu, nama si Fulan pun semakin melambung, khususnya dalam dunia komentator persepakbolaan. Kredibilitasnya sebagai wartawan pun tidak diragukan lagi. Pada kesempatan lain ketika saya bertemu dengannya, dia pun sempat berbisik kepada saya, “Dik... jangan lupa, kitalah yang hams mengembangkan profesi kita sendiri”.

Perkataan terakhir inilah yang saya ingat sampai sekarang: kita harus mengembangkan profesi kita sendiri. Bagaimana dengan dunia keeditorialan (penyuntingan)? Sanggupkah kita menerima tantangan itu ke depan?

Bidang penyuntingan memang masih tergolong baru sehingga masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenal dunia penyuntingan ini. Keterbatasan inilah yang membuat masyarakat bertanya-tanya, bidang seperti apakah penyuntingan itu? Apa tugas penyunting itu?

Dunia penerbitan umumnya dan perbukuan khususnya, sudah ada sejak zaman Balai Pustaka (1917). Penerbit Balai Pustaka didirikan untuk mendukung program pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kebiasaan membaca untuk kalangan rakyat sehingga mereka tidak kembali buta-huruf. Pada zamannya, Balai Pustaka mulai menerbitkan seri bacaan sehingga direkrut tenaga-tenaga editor penerbitan buku dan majalah kebudayaan, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, dan Iain-Iain. Kedua orang inilah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh perintis profesi editor sekarang ini. Dari penerbit ini, muncul tokoh-tokoh kebudayaan berwawasan nasional dan modern sehingga berhasil membangun tradisi berpolemik, bertukar pikiran, dan berdialog.

Namun, jauh sebelum Balai Pustaka didirikan, tradisi penerbitan (baca: kata editor atau penyunting —pen.) ini sebetulnya sudah ada. Hal ini bisa dibuktikan dalam “Syair Jalanan Kreta Api, 1890” karya Tan Teng Kie (lihat buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebudayaan Indonesia, jilid 1 2000).
Syair Jalanan Kreta Api
Oleh Tan Teng Kie

Jalanan kereta saya syairken
Sekali’an personeeel saya sindirken
Tuwan editor biyar fikirken
Jikalaw senang minta tlahirken (= terbitkan)

Tuwan editor Regensburg namanya
Mengeluwarkan buku pekerja’annya
Regina Orientis merek kantornya
Necis aturannya di Senen adanya

Beberapa buku sudah sediya
Telah tersiyar di tanah Hindiya
Dalam tu pekerja’an se’antero dunya
Se’orang tadapat melawan diya

Pelbagay buku sudah teriwayat
Terisi kesah dengan hikayat
Pantun seloka sya’ir nasehat
Penghibur hati penuju niyat

Pekerja’annya itu mereka-reka
Rahsiya ilmu supaya terbuka
Bagi orang banyak bertambah suka
Menjadi penghiburan di dalam duka

Jika sudah buku terkarang
Oleh editor dipereksa terang
Serta ditambah apa yang kurang
Supaya pantes dibaca orang

Setelah sempurna sah sekaliyannya
Lantas disuruh dicitakkennya
Oleh tukangnya dikerjakannya
Letter diatur satu-satunya
....

Dari syair ini terlihat bahwa dunia editor di Indonesia sudah ada sejak 1890, walaupun yang mengerjakan bukan orang-orang pribumi, melainkan orang-orang Hindia Belanda dan Tionghoa yang bermukim di Indonesia, Dalam syair ini juga dijelaskan bahwa seorang editor harus membaca dan mengoreksi keseluruhan naskah dari awal sampai akhir agar enak dibaca (Jika sudah buku terkarang/Oleh editor dipereksa terang/serta ditambah apa yang kurang/Supaya pantes dibaca orang).

Akan tetapi, mengapa dunia penyuntingan juga belum dikenal orang. Masyarakat lebih mengenal penulis/pengarang daripada editornya. Masyarakat lebih mengenal di mana harus mendapatkan buku tersebut (toko buku) daripada siapa yang menerbitkannya (penerbit). Mereka tidak pernah peduli dengan seluk-beluk penyuntingan, yang penting buku itu enak dibaca. Apakah kita, masyarakat penerbitan (khususnya para editor), juga akan melakukan hal yang sama dengan masyarakat umumnya yang notabene masih awam dengan dunia penyuntingan? Akhirnya, pemerintah pun tidak tinggal diam. Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, didirikanlah Ikatan Penerbit Indonesia (1950) yang mempunyai cabang sampai ke daerah-daerah. Diharapkan penerbit yang tergabung dalam Ikapi —dikelola oleh penerbit-penerbit pribumi— mampu bersaing dengan penerbit-penerbit yang manajemennya berasal dari negara-negara maju. Perhatian Ikapi untuk meningkatkan peranan editor profesional pun mulai bertambah. Pada tahun 1980, Ikapi Cabang DKI Jaya untuk pertama kalinya menyelenggarakan Lokakarya Penyuntingan Naskah Buku. Hal ini dilakukan karena ada kaitan dengan sistem evaluasi buku bacaan bermutu yang dirintis oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional), yang menilai bahwa peranan editor sangat penting untuk meningkatkan kuaiitas bacaan fiksi, non-fiksi, dan buku pelajaran.

Bukan itu saja, Ikatan Penyunting Indonesia (Ikapindo) pun didirikan (Mei 1996). Tujuan pendirian Ikapindo ini untuk menampung dan menyamakan persepsi dari para editor sendiri. Dari organisasi ini diharapkan muncul editor-editor yang berkualitas, baik dari segi rasa kebahasaan maupun dari segi logika dan alur cerita. Memang organisasi ini masih terlihat “kembang-kempis”, malah masih banyak editor dari berbagai macam penerbit belum mengetahui keberadaan organisasi ini. Walaupun demikian, dari organisasi ini muncul banyak pelatihan yang tentu saja ada kaitannya dengan dunia penyuntingan khususnya dan penerbitan umumnya, yang diharapkan dapat menambah kepekaan berbahasa dan berpikir logis seorang editor (terutama para editor pemula).

Lembaga pendidikan pun tak mau kalah. Pada 1990, pendidikan yang berhubungan dengan dunia penerbitan didirikan: Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta (dulu bernama Politeknik Universitas Indonesia) dan D3 Penyuntingan Universitas Padjadjaran. Walaupun masih sebatas diploma, keberadaan lembaga pendidikan ini masih sangat dibutuhkan oleh dunia industri penerbitan. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kurikulum yang ada di dua lembaga pendidikan itu sudah memenuhi standar untuk mereka memasuki dunia penerbitan kelak? Jawabannya tentu berpulang kepada lembaga pendidikan itu sendiri.

Begitu banyak organisasi/lembaga yang menopang dunia penyuntingan ini, tapi mengapa dunia penyuntingan masih belum juga menggelora di masyarakat? Saya teringat lagi kata-kata si Fulan, “kitalah yang harus mengembangkan profesi kita sendiri”.

Dunia penyuntingan memang identik dengan di belakang meja (baca: membaca dan mengoreksi naskah). Citra itulah yang harus diubah; tentunya oleh si editor itu sendiri. Para editor seharusnya berani unjuk diri bahwa dialah yang berperan penting dalam pembuatan produk informasi tersebut (tanpa mengabaikan faktor lain).

Di negara-negara Barat, apa yang dilakukan oleh si Fulan sudah diujicobakan oleh para editor. Memang. harus bisa seperti si Fulan, seorang editor bukan hanya mempunyai spesialisasi khusus, melainkan juga harus multiskill: mulai dari bagaimana menuangkan gagasan, berkomunikasi dengan penulis, menjadi pembicara di berbagai seminar/lokakarya sampai menjadi presenter atau narasumber di radio atau televisi. Hal terakhir inilah yang coba dirintis dan dibangun oleh Bank Naskah Gramedia. Bekerjasama dengan Radio Jakarta News FM dalam rangka mengkampanyekan perbukuan dan penerbitan, kedua lembaga ini sepakat untuk membuat suatu acara. Muncullah “Pustaka Pustaka” yang disiarkan setiap hari Rabu pukul 20.00-21.00, dan mulai mengudara minggu ketiga Agustus 2002.

Multiskill memang perlu dipelajari dan diasah terus-menerus dan sepertinya hanya diri kita sendiri yang tahu. Seorang editor, yang terbiasa dengan dunia tulis-menulis, menuangkan gagasan, dan berhubungan dengan orang lain —baik dengan bagian internal (produksi dan pemasaran) maupun bagian eksternal (pengarang)— tentu akan lebih mudah mengembangkan potensi diri yang ada padanya. Namun, hal itu bergantung pada kemauan masing-masing. Apalagi bila sudah mencapai taraf trade editor, dia tidak seharusnya di belakang meja dan hanya berkutik dengan naskah, tetapi harus menjaring relasi sebanyak mungkin dan harus sudah membaca keinginan pasar. Untuk itu, sudah saatnya para editor ini mengkampanyekan dunia perbukuan dan penerbitan dalam rangka promosi keprofesian mereka, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Mengapa kita (baca: para editor khususnya) tidak mencobanya dari sekarang, atau kita biarkan saja sampai profesi ini terpuruk dan akhirnya mati tanpa masyarakat sempat mengenalnya.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana kelompok editor profesional memberikan kontribusinya untuk menumbuhkan tradisi dunia penerbitan dan kegiatan industri perbukuan, serta mampu mengadaptasi diri dengan perkembangan kebudayaan industrial serta masuknya produk electronic publishing dalam masyarakat perbukuan Indonesia?

Tri Marganingsih
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 2 /  September 2002