Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memoar Utuy Tatang Sontani Melawan Lupa

Novelis eksil Cheko, Milan Kundera, sekali waktu mengatakan, "Perjuangan manusia adalah perjuangan melawan lupa." Sayang, harus kita akui, bangsa ini amat kekurangan cara untuk melawan lupa. Ada yang menyalahkan Orde Baru, yang secara sistematis menghapus banyak bagian dari sejarah Indonesia. Toh, orde boleh datang dan pergi, kita masih juga dipaksa lupa.

Penerbitan memoar seorang eksil semacam Utuy Tatang Sontani sungguh berharga, Utuy Melawan Lupa, ia adalah bagian dari sejarah yang pernah dihapus itu. Ketika G-30-S meletus, penulis naskah drama Indonesia paling produktif di era 1950-an dan 1960-an itu sedang berobat di Tiongkok atas biaya PKI. Ia tak bisa pulang hingga akhir hayatnya.

Tapi, di Tiongkok sendiri ia diterungku. Atau tepatnya: sama saja seperti dipenjara. Dari catatan-catatannya ketika di Nanking tampak bahwa di sana pun, atas nama revolusi kebudayaan, Utuy menghadapi penghapusan dirinya, pikiran-pikirannya. Kalau saja catatan-catatan itu tak sampai ke tangan Ajip Rosidi melalui Dr. Denys Lombard dan Dr. Sikorskii dari Rusia -tempat Utuy akhirnya wafat pada 1979- kita kehilangan peluang melawan lupa akan betapa kejamnya sebuah "revolusi".

Memoar ini terdiri dari dua bagian, yang terbaca bak Yin dan Yang tentang komunisme. Bagian pertama adalah bagian yang putih, ringan, penuh humor. Bagian kedua, bertajuk Di Bawah Langit Tak Berbintang, adalah bagian yang hitam, mencekam, penuh horor. Judul ini bagaikan parodi bagi naskah drama yang pernah ditulisnya, Di Langit Ada Bintang.

Bagian pertama dimulai dengan catatan berjudul Mengapa Mengarang. Kalimat pertamanya menjelaskan akar sejarah kepenulisan Utuy: "Cianjur adalah kota yang indah dengan suasananya yang romantis." Utuy, anak daerah yang punya bakat romantis itu, datang dari pinggir, menjadi pengarang dengan impian-impian melambung, yang berulang kali terbantun.

Ia keluar dari sekolah Schakel karena tersinggung disebut "inlander" oleh kepala sekolahnya yang orang Belanda. Ia naksir anak ambtenaar tetangganya yang gemar "cas-cis-cus" berbahasa Belanda. Untuk memikat gadis itu, ia mengirim tulisan ke koran Sinar Pasundan. Utuy terus mengarang, sambil terus juga gagal bercinta.

Ia malah seperti menikmati kegagalan-kegagalan cintanya, seperti umumnya para romantis, dan menjadikannya sebagai salah satu amunisi menulis. Dengan jenaka ia menggambarkan posisi kepenulisannya yang terus menanjak, yang berujung pada perkenalannya dengan komunisme. Inilah periode ketika ia menyelesaikan novelnya yang banyak dipuji, Tambera.

Tambera ditulis pertama kali dalam bahasa Sunda, lalu ditulis ulang dalam bahasa Indonesia. D.N. Aidit sempat memuji: "When I prepare the revolution, he prepares his Tambera." Utuy pun mengagumi Aidit, sejak perkenalan pertama mereka di Bandung hingga ketika Aidit menjabat menteri sekaligus pimpinan tertinggi PKI.

Aidit berhasil meyakinkan Utuy, yang sebenarnya urakan (atau "individualis", seperti kata Ajip di pengantar), bahwa seniman dan politisi bisa bekerja sama. Kelak terungkap, Utuy merasa komunisme indah karena dikenalkan oleh manusia yang indah: Nyoto. Tapi, mimpi indah perlahan jadi mimpi buruk, ketika malam tiba dan langit kehilangan bintang.

Di Nanking, Utuy resmi jadi eksil, sementara Tiongkok sedang gempita oleh revolusi kebudayaan. Ia lantas terpenjara bukan terutama oleh tembok dan penjaga, melainkan oleh polisi-polisi pikiran di sekelilingnya -sesama eksil. Ia dipaksa "belajar": menghafal doktrin-doktrin Mao atau berdiskusi dengan kesimpulan yang telah ditentukan.

Ia menolak. "Bagi saya... belajar itu ialah mempelajari manusia... untuk ditulis menjadi buku. Tapi... orang-orang di sini justru sebaliknya. Mereka membaca buku untuk mendapatkan petunjuk tentang apa itu manusia...." Akhirnya ia dianggap gila. Menjadi gila adalah akibat umum dari penjara pikiran di Nanking.

Utuy berhasil menggambarkannya dengan rinci, berjarak, dan karenanya amat mencekam. Ia menyaksikan orang-orang partai di sekelilingnya menjadi sawan, terburai kewarasannya, dan terkapar kemanusiaannya. Sebaliknya, Utuy sendiri selalu diusut, dibatasi, dianggap teka-teki yang mengganggu dan harus diselesaikan.

Ia kemudian berhasil "melarikan diri", dan berlabuh di Moskow. Maka sempurnalah memoar ini sebagai saksi atas sebuah horor: pemenjaraan pikiran atas nama kebenaran dan revolusi. Beberapa bagian dari pengantar Ayip terasa berlebihan: ia kadang terlalu keras berusaha menyalah-nyalahkan pilihan Utuy.

Hikmat Dermawan
Majalah Mata Baca edisi 8 / VIII / 12 Jan 2002