Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Maraknya Buku Tasawuf: Jalan Sempit Menuju Surga

Wajahnya cerah dan ramah. Matanya teduh, dan banyak tersenyum. Sementara tangan kirinya tiada henti memilin tasbih. Itulah penampilan Prof. James Winston Morris, Direktur Studi Islam Universitas Exeter, Inggris.

Senin pagi pekan lalu, Morris tampil menarik dalam sebuah seminar bertajuk "Understanding Religions and Religious Understanding" di Financial Club, Graha Niaga, Jalan Sudirman, Jakarta.

Tiga hari kemudian, Haidar Bagir, Direktur Utama Penerbit Mizan, mengundang kalangan pers untuk berbicang-bincang secara khusus dengan Morris di Hotel Hilton Jakarta. Tema yang diusung adalah "The Need to Revive the Interest Islamic Philosophy Among Indonesian Muslim".

Kehadiran Morris di Indonesia disponsori The British Council. Ia berseminar dan berdialog dengan berbagai kalangan, baik di Jakarta maupun Medan. Pada Senin pagi itu, diluncurkan pula karya Morris, Sufi-sufi Merajut Peradaban, yang diterbitkan Forum Sebangsa. Selain Morris, cendekiawan muslim Jalaluddin Rakhmat dan Trisno S. Sutanto dari Masyarakat Dialog Antar-Agama juga hadir sebagai pembicara.

Buku-buku sufisme dan perkumpulan tarekat, yang pernah marak pada awal 1990-an, kini kembali mengemuka. Dalam pandangan Morris, menjadi sufi itu tak bisa instan. "Perlu latihan yang terus-menerus dan kesabaran," katanya.

Para pembicara sepakat bahwa melalui tasawuf, semua agama bisa bertemu. Tapi, kala seorang peserta bertanya, apakah mereka yang non-muslim setelah menjalani hidup sufi bisa masuk surga, sambil tersenyum Morris menjawab, "Surga itu urusan Allah."

Tasawuf bisa membuat seseorang menjadi lembut, ramah, dan apresiatif. Merekalah para sufi. Itu sebabnya, Anand Krishna, humanis yang juga tokoh meditasi, mengajarkan tasawuf. Tarian Rumi menjadi salah satu program di Anand Ashram, perkumpulan meditasi yang dipimpin Anand Krishna. Pesertanya pun beragam, baik lingkungan etnisnya, ideologi, profesi, maupun agamanya.

Ketua Program Ilmu Hadis, Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Jati, Bandung, Dr. Daud Rasyid, membedakan antara tasawuf Islam dan tasawuf umum. "Tasawuf umum selalu menyebut Tuhan, bukan Allah," kata Daud kepada Gatra. Tasawuf Islam sangat spesifik. "Tasawuf yang benar itu harus dituntun Al-Quran dan hadis," katanya.

Hal senada diutarakan pengikut tarekat Naqsabandy, Dr. Achmad Mubarok. Karena itu, Mubarok tidak merekomendasikan seorang muslim bergabung dengan tarekat umum. "Gampang tersesat," katanya. "Tarekat itu kan jalan sempit yang gampang menyesatkan," dia menambahkan.

Lalu, mengapa gerakan tasawuf kembali marak di Indonesia? "Karena di Indonesia terjadi krisis, dan mereka tidak menemukan jawabannya sehingga lari ke tasawuf," kata Daud.

Di mata Mubarok, tasawuf di Indonesia merupakan trend musiman. "Muncul bila ada krisis, karena mereka mencari rasa aman," katanya. Bisa jadi, karena sifatnya musiman, ratusan perkumpulan tasawuf yang ada belum bisa menghasilkan para sufi dalam arti sebenarnya.

Lebih Pada Aplikasi
Maraknya buku-buku tasawuf pada awal 1990-an berbeda dengan buku-buku sejenis yang terbit dua tahun belakangan ini. Bila tahun 1990-an buku-buku yang terbit lebih menitikberatkan pada pemahaman tentang apa dan bagaimana tasawuf, kini sudah masuk ke praktek-praktek sufisme.

Tengoklah Penerbit Pustaka Progressif, Surabaya, yang meluncurkan Manajemen Hati karya Al-Ghazali; Mizan, Bandung, menerbitkan Tasawuf di Mata Kaum Sufi karya William C. Chittick; Gema Insani Press, Jakarta, merilis Kebeningan Hati & Pikiran: Refleksi Tasawuf Kehidupan Orang Kantoran karya Budi Handrianto. Inisiasi Press, Depok, mengeluarkan Metode Sufi Meraih Cinta Ilahi karya Muhammad Iqbal; dan Pustaka Hidayah, Bandung, mengeluarkan 40 Hari Khalwat karya Michaela Ozelsel.

"Karena tasawuf diminati, maka kami kembali menerbitkan buku-buku tersebut," tutur Amar Faishal, staf pemasaran Penerbit Mizan. Hal itu juga diakui Ishom Bakhtir, Manajer Redaksi Pustaka Progressif. Progressif boleh dibilang pelopor penerbitan buku-buku tasawuf, terutama karya-karya Al-Ghazali. "Selain sudah dikenal di kalangan pesantren, karya Al-Ghazali tidak bertentangan dengan akidah," tutur Ishom. Dalam tujuh tahun terakhir ini, sudah 25 judul buku tasawuf yang diterbitkannya.

Herry Mohammad, Kholis Bahtiar Bakri, dan Mujib Rahman
Majalah Gatra edisi  32 / VIII / 29 Juni 2002