Kupas Novel Karya Pramoedya: Bakir di Tengah Budaya Korupsi
Bakir, seorang pegawai di sebuah kantor pemerintah Jakarta. Dua puluh tahun ia bekerja tidak kunjung membawa perbaikan ekonomi bagi keluarganya. Kian hari kian berkurang harta bendanya. Ketiga anaknya telah memasuki sekolah menengah. Rumah tinggalnya pun telah dikontrakkan sebagian kepada pedagang Tionghoa.
Bakir menghadapi suatu keadaan yang mengharuskannya memperoleh penghasilan yang lebih bila ingin kecukupan. Ia hanya ingin supaya anak-anaknya bahagia, istrinya bahagia dan ekonomi keluarganya meningkat. Kejujuran sebagai seorang kepala bagian telah terjepit antara gaji yang pas-pasan dan kebutuhan keluarganya. Satu tindakan yang ia lakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah korupsi.
Keadaan yang menekan terus-menerus akhirnya mendesak Bakir memberikan surat-surat izin usaha kepada seorang pengusaha Cina asalkan ia mendapatkan uang pelicin. Keberaniannya kian meningkat dari mengkorup kertas-kertas kantor untuk dijual loakan sampai berani memainkan kekuasaanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Tindakan Bakir ini mendapat tentangan dari istrinya dan Sirad pegawainya yang masih mahasiswa. Istrinya dengan cara dan sikapnya yang halus tidak mau menerima uang pemberian Bakir. Merasa terasing dan terkucil, Bakir pergi saja dari rumah dan hidup bersama Sutijah gadis yang pernah menjadi tetangganya.
Perhatian Bakir pada keluarganya sendiri kian pudar. Ia jarang pulang serta membiarkan rumah tangganya kacau. Suasana kerja di kantor penuh kasak-kusuk membicarakan Bakir secara tidak hormat. Sirad selalu membayangi tingkah lakunya. Kebencian Sirad pada Bakir karena ulah Bakir yang tidak lagi mempedulikan keluarganya.
Pihak berwajib menangkap Bakir karena mengedarkan uang palsu. Akhinya, seluruh perbuatan Bakir terungkap, hartanya disita, dia sendiri dimasukkan dalam penjara. Bakir menyadari dan bertobat ketka di penjara.
Pergolakan Batin Bakir
Sebaris kalimat yang diucapkan tokoh Bakir ketika di penjara: “Kebobrokan datangnya dari atas dan bukan dari bawah. Mereka yang di atas yang punya kekuasaan: yang punya uang.” Itulah sumber konflik yang mewarnai seluruh isi novel Korupsi. Secara tidak langsung, Pramoedya mencoba menuding sumber kebobrokan moral, korupsi, kekalutan keluarga dan kekalutan jiwa manusia terletak pada uang dan kekuasaan.
Pribadi manusia sejujur bagaimanapun dapat runtuh oleh godaan uang dan kekuasaan. Pramoedya menyadari bahwa keruntuhan pribadi orang jujur tidak terjadi begitu saja, ada pengaruh dan keterlibatan banyak orang di sekitarnya, pun ada pergolakan batin yang dahsyat dalam diri pelakunya sendiri.
Di awal kisah, Bakir sebagai tokoh utama digambarkan sebagai seorang ayah dan kepala bagian sebuah kantor pemerintah. Penggambaran itu telah menempatkan Bakir sebagai orang yang mempunyai kekuasaan. Budaya masyarakat mengakui bahwa seorang bapak adalah pemimpin sebuah keluarga. Dalam kata pemimpin tercakup pula makna penguasa dan penanggung jawab. Kemapanan kekuasaan dari segi budaya didukung kemapanan kekuasaan di bidang pemerintahan. Seorang kepala bagian di suatu kantor berkuasa atas banyak pegawai, sekaligus mengurus langsung atas satu bidang tertentu.
Peran bapak dan kepala bagian dilakukan oleh Bakir dengan penuh kejujuran. Kejujuran itulah yang selama ini mendasari segala tindakan dan keputusan di kantor dan di rumah. Kejujuran saja tidak menjamin kemapanan ekonomi keluarga Bakir. Tanggung jawab keuangan keluarga telah mengusik status kepegawaiannya dan kejujurannya.
Bakir menghadapi suatu keadaan yang mengharuskannya memperoleh penghasilan yang lebih bila ingin kecukupan. Ia hanya ingin supaya anak-anaknya bahagia, istrinya bahagia dan ekonomi keluarganya meningkat. Kejujuran sebagai seorang kepala bagian telah terjepit antara gaji yang pas-pasan dan kebutuhan keluarganya. Satu tindakan yang ia lakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah korupsi.
Keadaan yang menekan terus-menerus akhirnya mendesak Bakir memberikan surat-surat izin usaha kepada seorang pengusaha Cina asalkan ia mendapatkan uang pelicin. Keberaniannya kian meningkat dari mengkorup kertas-kertas kantor untuk dijual loakan sampai berani memainkan kekuasaanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Tindakan Bakir ini mendapat tentangan dari istrinya dan Sirad pegawainya yang masih mahasiswa. Istrinya dengan cara dan sikapnya yang halus tidak mau menerima uang pemberian Bakir. Merasa terasing dan terkucil, Bakir pergi saja dari rumah dan hidup bersama Sutijah gadis yang pernah menjadi tetangganya.
Perhatian Bakir pada keluarganya sendiri kian pudar. Ia jarang pulang serta membiarkan rumah tangganya kacau. Suasana kerja di kantor penuh kasak-kusuk membicarakan Bakir secara tidak hormat. Sirad selalu membayangi tingkah lakunya. Kebencian Sirad pada Bakir karena ulah Bakir yang tidak lagi mempedulikan keluarganya.
Pihak berwajib menangkap Bakir karena mengedarkan uang palsu. Akhinya, seluruh perbuatan Bakir terungkap, hartanya disita, dia sendiri dimasukkan dalam penjara. Bakir menyadari dan bertobat ketka di penjara.
Pergolakan Batin Bakir
Sebaris kalimat yang diucapkan tokoh Bakir ketika di penjara: “Kebobrokan datangnya dari atas dan bukan dari bawah. Mereka yang di atas yang punya kekuasaan: yang punya uang.” Itulah sumber konflik yang mewarnai seluruh isi novel Korupsi. Secara tidak langsung, Pramoedya mencoba menuding sumber kebobrokan moral, korupsi, kekalutan keluarga dan kekalutan jiwa manusia terletak pada uang dan kekuasaan.
Pribadi manusia sejujur bagaimanapun dapat runtuh oleh godaan uang dan kekuasaan. Pramoedya menyadari bahwa keruntuhan pribadi orang jujur tidak terjadi begitu saja, ada pengaruh dan keterlibatan banyak orang di sekitarnya, pun ada pergolakan batin yang dahsyat dalam diri pelakunya sendiri.
Di awal kisah, Bakir sebagai tokoh utama digambarkan sebagai seorang ayah dan kepala bagian sebuah kantor pemerintah. Penggambaran itu telah menempatkan Bakir sebagai orang yang mempunyai kekuasaan. Budaya masyarakat mengakui bahwa seorang bapak adalah pemimpin sebuah keluarga. Dalam kata pemimpin tercakup pula makna penguasa dan penanggung jawab. Kemapanan kekuasaan dari segi budaya didukung kemapanan kekuasaan di bidang pemerintahan. Seorang kepala bagian di suatu kantor berkuasa atas banyak pegawai, sekaligus mengurus langsung atas satu bidang tertentu.
Peran bapak dan kepala bagian dilakukan oleh Bakir dengan penuh kejujuran. Kejujuran itulah yang selama ini mendasari segala tindakan dan keputusan di kantor dan di rumah. Kejujuran saja tidak menjamin kemapanan ekonomi keluarga Bakir. Tanggung jawab keuangan keluarga telah mengusik status kepegawaiannya dan kejujurannya.
“Telah dua puluh tahun aku jadi pegawai —kumulai dari magang. Tetapi kian hari kian berkurang saja harta dan umurku.... Tambah lama dinas kepegawaian ini tambah terondollah rasanya.”
“Dan aku yakin juga banyak orang telah bercerita tentang kejujuranku dengan perasaan kecewa: Lihat tuan Bakir itu: Apakah yang bisa diperolehnya dengan kejujurannya itu? Paling sedikit seratus orang telah menyesalkan kejujuranku yang tidak menghasilkan apa-apa ini.”
Tokoh Bakir yang korup dan mempunyai kekuasaan dipertentangkan dengan Sirad bawahannya di kantor. Pengarang menampilkan Sirad sebagai mahasiswa doktoral, intelek, jujur dan berani. Bakir dipertentangkan pula dengan istrinya yang tidak banyak bicara, tapi tegas dalam bersikap dan mempunyai kejujuran yang kuat.
Tokoh-tokoh penentang mempunyai perwatakan yang kuat. Mereka mampu menggoyahkan batin dan iman tokoh utama. Para taoke dan Sutijah ditampilkan untuk menunjukkan sisi lain sifat Bakir yang pembimbang, penakut dan pencemas. Secara tidak langsung, Sutijah dan para taoke mendukung kelangsungan korupsi yang dilakukan Bakir. Penokohan secara dinamis dalam novel ini sangat menonjol. Sisi jahat dan sisi baik, bahkan nuansa antara yang baik dengan yang jahat dalam diri tokoh muncul secara bulat. Tokoh tersebut diletakkan dalam pengaluran sorot balik. Tokoh tersebut dimanfaatkan oleh pengarang sebagai pembawa cerita. Dengan menyebut diri “aku”, dia mampu mengungkapkan pergolakan batinnya secara mendalam. Tidak timbul kesan bahwa pencerita serba tahu. Latar kota Jakarta, keluarga sederhana dan kantor pemerintahan turut mendinamisasikan penokohan. Pertentangan antara kekuasaan dan kejujuran tidak pernah berujung.
Korupsi Transaktif
Korupsi transaktif menunjuk kepada kesepakatan timbal-balik antara pihak penerima demi keuntungan ini oleh keduanya. Korupsi ini biasanya melibatkan dunia usaha dan pemerintah, atau masyarakat (Alatas, 1987).
Sejumlah besar peraturan, perizinan, pengawasan dan berbagai lisensi telah membuka peluang-peluang terjadi korupsi. Pihak swasta atau masyarakat apabila berurusan dengan pemerintah mengenai perizinan, lisensi, dan sebagainya akan berupaya supaya memperoleh perhatian-perhatian istimewa. Bentuk korupsi transaktif ini digambarkan oleh Pramoedya dalam novel Korupsi sebagai berikut:
“Begini Tuan. Tuan minta untuk Tuan sendiri lima rupiah untuk tiap setel. Sepuluh ribu setel berarti lima puluh ribu, untuk Tuan sendiri itu.”
“Kan bisa Tuan jual delapan puluh lima rupiah. Yang lima buat aku?... Ya, Tentu saja dimahalkan yang bayar kan bukan taoke? Yang bayar negara.”
Praktik korupsi di atas dilakukan oleh Bakir, sebagai pejabat yang berwenang dalam pengadaan alat kantor. Taoke yang melayani pesanan dalam jumlah besar tersebut diminta untuk menyebutkan harga yang lebih daripada harga barang yang sesungguhnya dalam order atau surat perjanjian. Uang yang diterima taoke lebih kecil daripada yang tertera di atas order, lebihnya untuk Bakir atau pejabat yang berurusan langsung. Apabila pesanan barang semakin besar, maka uang lebih yang diterima pejabat bersangkutan semakin banyak. Pejabat diuntungkan, taoke laku besar dagangannya tanpa merugi. Lalu yang dirugikan dalam hal ini adalah negara yang membayar barang lebih mahal dari harga sesungguhnya.
Korupsi Memeras
Korupsi yang memeras berarti pihak pemberi dipaksa untuk meyuap atau menyetujui suatu permintaan guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya, atau hal-hal yang dihargainya (Alatas, 1987: ix-x). Rumusan tersebut menunjukkan kepada perbuatan pihak yang memeras sajalah yang disebut korupsi.
Bakir sebagai pejabat yang berwenang soal pengadaan alata-alat kantor dengan sengaja mendatangi suatu perusahaan untuk membuat perjanjian. Bakir sebagai pejabat secara terang-terangan meminta jasa pada pimpinan usaha peralatan sembari mengancam kalau tidak mau ia akan memesan ke perusahaan lain.
Dalam keadaan mengancam kedudukannya, Barkir memeras sopirnya untuk mengatakan sesuatu dengan memberikan persenan dan mengajaknya makan-makan.
“Apa kata mereka tentang diriku? tanyaku lagi. Sopirnya itu tidak menjawab. Ia nampak gugup. Ia terdesak. Untuk menyempurnakan kekecilannya, kuulangi persenku. Sekali ini dengan uang seratus rupiah.
Apa mereka pikir aku korupsi?
Tidak tahu, Pak.
Aku tahu engkau tahu banyak tentang sangkaan-sangkaan salah itu.
Betul tidak tahu, Pak.
Bicara saja terus terang.
Tapi ia tidak juga mau bicara. Di depan sebuah restoran, ia kuperintahkan berhenti. Kuajak ia bersama-sama makan.”
Berbagai cara di tempuh orang yang terancam kemapanannya, asal dapat terselamatkan dari ancaman-ancaman itu.
Efek Korupsi
Pengaruh-pengaruh atau efek-efek korupsi terhadap masyarakat dan individu pelakunya sangat rumit dan beraneka ragam. Unsur-unsur penyebab yang saling berkait telah membentuk satu mata rantai yang sulit diuraikan; maka perhatian akan diberikan pada beberapa pengaruh korupsi yang mencolok.
Alatas memberikan klasifikasi pengaruh korupsi atas (a) efek metastatis atau penyebaran, (b) efek perkomplotan, (c) efek pemberian tertentu, (d) efek penghilangan potensi, (e) efek transmutasi, (f) efek pamer, (g) efek derivasi kumulatif, (h) efek psikosentris, (i) efek klimatis, dan (j) efek ekonomis (Alatas, 1987: 201-201).
Pengaruh-pengaruh korupsi tersebut di atas muncul dalam novel Korupsi karya Pramudya Ananta Toer. Yang mencolok adalah efek pamer, efek psikosentris, efek klimatis, efek ekonomis, dan efek sosialisasi.
1. Efek Pamer
Efek pamer sebagai pengaruh korupsi menunjuk pada gaya hidup pelaku dan kekayaan uang mereka pamerkan. Hal itu memberikan kesan bahwa korupsi adalah usaha produktif dan bernilai (Alatas, 1987: 216).
Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan efek pamer lewat gaya berpakaian tokoh yang korup, yaitu Bakir.
“Pakaian sekarang bersih dari wol semua dan cocok rasanya dengan tubuhku yang tak tahan lagi menghadapi udara. Kemeja selalu buatan luar negeri, dan kalau tidak panas, kadang kupergunakan juga jas dan berdasi.... Kalau dulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth: sedan dengan radio, penangkai matari dan menyenter.”
Istri tokoh yang korup menghiasi diri mereka dengan bros atau permata. Kebiasaan berpesta-pesta, efek pamer dapat mendorong timbulnya berbagai masalah, seperti keterpecahbelahan, sinisme, bahkan penolakan terhadap nilai-nilai kesusilaan.
Bakir dan Sutijah istri mudanya, mulai masuk dalam gerakan perzinahan yang disebut gerakan muda kembali. Syarat utama anggota ini adalah mempunyai mobil. Bakir semakin menjauhi nilai-nilai kesusilaan akibat gaya hidup yang mewah.
“Hal yang segila-gilanya pula terjadi. Apabila Sutijah pergi ke kota —ke Jakarta— sebentar kemudian datang sedan baru dari Jakarta, dan turun seorang wanita setengah tua tetapi masih molek dengan tingkah lakunya yang manis mengajak aku mengobrol, kemudian mengeluarkan album yang berisi potret-potret wanita-wanita muda dan agak tidak muda lagi, semua hanya dengan kantung dada. Mas boleh ambil kalau Jeng Sutijah sedang terlena.”
Efek pamer yang berlebihan menimbulkan kemuakan dan kebencian yang meluas pada masyarakat di sekitarnya.
2. Efek Psikosentris
Efek ini menyangkut pelaku ataupun orang-orang di sekitarnya yang cukup. Efek psikosentris ini dapat muncul dalam bentuk rasa ketagihan, rasa tidak aman, dan melalaikan kewajiban. Orang yang korup akan memenuhi pikiran dan tindakannya dengan hal-hal yang berkaitan dengan korupsi.
Rasa ketagihan untuk terus korupsi tampaknya mempunyai nuansa “tidak berani kembali ke jalan yang lurus”. Tokoh Bakir yang korup berkata:
“Rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali.”
“... bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia, hanya saja aku tidak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua akan menjadi tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri.”
Pengaruh rasa ketagihan dan ketidakberanian pelaku korup kembali ke jalan yang jujur, telah pula memunculkan rasa tidak aman bagi si pelaku. Tokoh Bakir yang korup di atas juga mengalami rasa tidak aman.
“Di atas mobil kegelisahanku menjadi. Dahulu, kalau ada kuasa, semua orang yang ada di jalan akan kusuruh melihat diriku dalam mobil baruku. Kini aku mati ketakutan kalau orang tahu ini mobilku sendiri. Dahulu besar hatiku apabila bertemu dengan kawan lama, tapi kini adalah sebaliknya. Mereka juga biang keladi yang bisa menjejaki semua-muanya.....Ah banyak orang tiba-tiba merupakan musuhku. Ribuan orang seakan-akan mengintip segala tingkah lakuku. Dan mungkin dengan tidak setahuku mata-mata polisi atau garong telah membuntuti daku ke mana pun juga aku pergi.”
Rasa tidak aman dan ketakutan mengakibatkan tindakan drastis dilakukan oleh Bakir.
“Barang ke mana aku pergi dalam kantongku tersimpan pisau. Aku tak mau ditangkap mentah-mentah dan jadi tontonan orang banyak. Aku pun tak akan sanggup dapat melihat keruntuhanku sendiri.”
Efek psikosentris dapat membelokkan perhatian dan kewajiban, membuat orang lalai dan memacetkan berbagai fungsi orang yang bersangkutan, baik fungsi dalam pekerjaannya di kantor ataupun fungsinya sebagai bapak keluarga. Dalam novel Korupsi, tokoh Sirad sebagai asisten telah menuding Bakir atasannya, bertindak lalai.
“Aku sering datang ke rumah, dan Ibu bilang, sudah lama Bapak tak pulang, lebih setahun katanya. Bapak terlalu sering mengabaikan kantor. Pekerjaan menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan keluhan keterlambatan pesanan.”
Orang yang korup dilukiskan sulit memusatkan perhatian dan tugasnya.
3. Efek Klimatis
Yang dimaksud dengan efek klimatis ialah pengaruh yang dialami oleh lingkungan masyarakat orang korup. Melemahnya semangat orang-orang yang tidak mengambil manfaat dari korupsi, meluasnya sikap masa bodoh dan sikap menerima yang pada gilirannya dipakai sebagai alasan pembenar bagi korupsi.
Pramoedya lewat novel Korupsi menggambarkan keluarga Bakir yang mengalami akibat tindakan Bakir yang korup. Istri Bakir dilukiskan demikian:
“Tiba-tiba ia bangkit dengan mata berieleran air dan dengan tegas ia hadapi aku. Dari mulutnya terdengar: Engkau mengerti semuanya. Dan aku tak sudi ikut bertanggung jawab.”
Bakir yang korup juga menyebabkan kesuraman bagi suasana keluarganya:
“Kegirangan anak-anakku yang berhasil dalam pelajarannya tidak nampak lagi sebagai kemarin dahulu, Basirah yang selalu kumanjakan tergulung sebagai topo tua. Kegesitannya dan kekenesannya lenyap dan seperti akan lenyap untuk selama-lamanya.... Aku mengerti, bahwa semua itu merupakan goncangan dahsyat atas jiwa mereka, juga goncangan atas kepercayaan mereka atas teguhnya kedaulatan orang tuanya.”
4. Efek Ekonomis
Pencurian perbendaharaan pemerintah oleh para pejabat yang korup sama artinya dengan pemaksaan terhadap pemerintah untuk membelanjakan uang sebanyak mungkin melebihi anggaran yang semestinya. Efek ekonomis yang dialami oleh masyarakat berupa naiknya harga barang-barang oleh karena suap atau pemerasan dimasukkan ke dalam perhitungan biaya.
Pramoedya memberikan gambaran tentang efek ekonomis dari korupsi demikian:
“Jadi Tuan ambil untuk Tuan sendiri lima rupiah satu setel. Tapi susuh juga Tuan. Harganya terlalu tinggi jadinya. Kalau biasanya harga besar-besaran menjadi delapan puluh rupiah satu setel, aku harus turunkan jadi tujuh puluh lima rupiah. Ah, Tuan, tidak ada keuntungan bagi kami. Sekali pun tidak sebanding dengan ongkosnya, dengan tenaga dan urusannya.
Kan bisa Tuan jual delapan puluh lima rupiah. Yang lima buat aku?
Jadi dimahalkan?
Ya, tentu saja dimahalkan. Yang bayar kan bukan taoke? yang bayar negara.
5. Efek Sosialisasi
Korupsi dapat mempengaruhi proses sosialisasi generasi muda ke arah yang negatif. Efek ini menunjuk pada cara berpikir, cara pandang, tindakan orang-orang muda dalam menanggapi bentuk-bentuk korupsi di masyarakat.
Efek sosial ke arah negatif tampak pada orang-orang muda yang dekat pada pelaku korupsi. Ada yang melakukan korupsi lebih hebat daripada pendahulunya. Ada yang menganggap bahwa korupsi merupakan tindakan yang dibenarkan dan dapat ditiru.
Sisi lain dari efek sosial yang negatif adalah efek positif yang berupa reaksi keras menentang tindakan korupsi. Orang-orang yang berpikir positif akan menilai bahwa korupsi harus diberantas, dan menganggap korupsi merugikan negara. Tokoh Sirad menentang Bakir setegas dalam novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer.
“Aku sering berpikir-pikir, ... kalau saja aku berkuasa .... aku gantungi semua mereka itu.”
“Kalau hanya kekurangan belanja. mereka bisa cari kerja lain yang lebih menguntungkan dan tidak menjadi tikus. Tikus! Tikus yang terus-menerus merusak sampai akhirnya datang kucing menerkamnya.”
Tampak bahwa efek sosial inimembayangi pertumbuhan generasi muda. Mereka akan lebih hebat lagi melakukan korupsi daripada pendahulunya, dengan teknik yang berbeda, namun juga sebagian dari mereka akan tetap berkembang dengan idealismenya menentang setiap bentuk korupsi di masyarakatnya.
Penutup
Novel di atas menekankan efek lebih jauh dari sikap pamer. Pramoedya mengaitkan pengaruh pamer dengan pelanggaran kesusilaan. Pengaruh psikologis yang berupa rasa tidak aman, ketagihan, dan lalai kewajiban, secara detail disajikan oleh Pramoedya. Anak, istri, keluarga, dan rekan sekerja mengalami ketidakadilan, melemahnya semangat hidup, karena tindak korupsi, atasan, atau kawan. Pramoedya menempatkan orang-orang muda sebagai penentang korupsi.
St. Kartono
Majalah Mata Baca Vol. 1/ No. 2 / September 2002
Acuan:
Alatas, Syed Husein, 1982, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, terj, Al Ghozie Usman, Jakarta: Penerbit LP3ES.