Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konflik Pramoedya Ananta Toer dengan Penerbit Hasta Mitra

Sastrawan Pramoedya Ananta Toer berkali-kali menuding, ada penerbit yang ingin menguasai karya-karyanya dan mencetak ulang tanpa sepengetahuan dia, seperti dilansir berbagai media massa. Hingga kini, tudingan itu masih belum jelas arahnya. Tapi, bagi penerbit karya-karya Pram, itu bisa jadi isu sensitif. Terutama penerbit paling lama, yaitu Hasta Mitra.

Joesoef Isak, 75 tahun, seorang pendiri Hasta Mitra, kepada Gatra mengaku tak pernah berseteru dengan Pram. Selama ini tak pernah ada keluhan dari Pram tentang royalti 15%. Jadi, keputusan Pram menyerahkan hak penerbitan ke penerbit lain bukan karena konflik pribadi. ''Itu hak pribadi Pram,'' kata mantan Pemimpin Redaksi Harian Merdeka ini.

Seperti Pram, Joesoef juga termasuk eks narapidana politik. Ia sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Salemba selama 10 tahun. Sebagaimana Pram, Joesoef juga dikait-kaitkan dengan urusan G-30-S/PKI. Dan seperti biasanya pula, tudingan terhadap mantan Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan ae-Asia Afrika itu tak pernah ada buktinya.

Menurut Joesoef, Hasta Mitra didirikan pada 1981. Pramoedya termasuk seorang pendirinya. Malah, ide nama itu bermula darinya, ketika masih berada di tahanan Pulau Buru. Hasta Mitra artinya tangan sahabat. Ketika Pram dibebaskan pada 1979 --setelah ditahan selama 14 tahun-- ide mendirikan penerbit ini baru bisa diwujudkan bersama dua kawan karibnya, Joesoef Isak dan Hasyim Rahman (almarhum).

Penerbit ini lahir di tengah situasi politik represif. Belum terbangun demokrasi dan kebebasan. Ketika itu, Hasta sempat berkantor di Proyek Senen lantai III, Jakarta Pusat. Karyawannya 20 orang. Namun hanya bertahan setahun. Selain buku Pram, ada 10 buku lainnya yang pernah diterbitkan Hasta. Ini pun tak berlanjut, karena modalnya makin seret.

Menurut Joesoef, karya Pram itu selalu laris manis. Misalnya, novel berjudul Bumi Manusia dicetak lebih dari 10.000 eksemplar. Tapi, modal penerbitan tak bisa diputar lagi. Penyebabnya, pemerintah melarang semua karya Pram. ''Jadi, kami tak pernah dapat untung,'' katanya.

Meski demikian, pendiri Hasta tak pernah mundur. Walaupun selalu dibredel, buku-buku Pram terus dicetak. Penyebarannya pun terbatas. ''Kami punya misi kebudayaan dan demokratisasi,'' katanya. Lebih dari 20 buku yang diterbitkan Hasta. Ketika Presiden Soeharto jatuh, kebebasan mulai dirasakan.

Saat ini, toko buku tak lagi takut memajang karya-karya Pram. Malah, permintaan makin banyak. Dalam dua-tiga bulan saja, rata-rata buku Pram ludes sekitar 3.000 eksemplar. Karena itu, Toko Buku Gramedia berani mematok komisi 20%. Padahal, umumnya toko buku meminta komisi minimal 30% dari penjualan buku.

Namun, menurut Joesoef, pihaknya tak punya lagi modal untuk cetak ulang. ''Semua modalnya sudah ludes,'' katanya. Jadi, tak mungkin bisa bersaing dengan penerbit lain. Wajar saja jika Pram memilih penerbit lain yang mungkin bisa memberi royalti lebih.

Kholis Bahtiar Bakri
Majalah Gatra edisi 18 / IX, 22 Maret 2003