Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KITLV: Penerbit Buku Sejarah Langka Bernilai Tinggi

Bagi yang belum pernah berkunjung, tak mudah menemukan kantor perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Indonesia. Mata harus jeli menyigi tiap rumah di jalan Taman Widya Chandra, Kompleks Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta Pusat. Kalaupun ketemu, bisa ragu-ragu.

Tanda-tanda lazimnya sebuah kantor tidak tampak. Yang ada cuma sejengkal papan bertuliskan "KITLV", tersandar di sudut jendela. Tapi, dari kantor sederhana inilah mencuat berbagai karya sejarah dan budaya Indonesia, dalam bentuk pustaka. Antara lain, buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (1988), yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung di masa Orde Baru.

Karya Dr. Harry Poeze, pimpinan redaksi KITLV di Leiden, Belanda, ini mendapat Hadiah Profesor Teeuw pada 1994. Padahal, sebelum itu pun, sudah puluhan buku telaah terbit dan beredar di Indonesia, dengan prakarsa KITLV. Lembaga ini didirikan di Delft, Negeri Belanda, pada 4 Juni 1851. Pemrakarsanya adalah Jean Chretien Baud, seorang negarawan, Taco Roorda, guru besar bahasa-bahasa Asia, dan Gerrit Simons, seorang ahli fisika.

Sebenarnya, arti harfiah KITLV adalah "Lembaga Kerajaan (Belanda -Red.) untuk Ilmu Bahasa, Bangsa, dan Negeri". Tapi, "Kami bukan lembaga kerajaan dalam arti sesungguhnya," kata Jaap Erkelens, ketua perwakilan KITLV di Indonesia. "Itu gelar kehormatan dari Raja Williem III," Erkelens menambahkan. Namun, peran KITLV untuk Kerajaan Belanda tentulah tak bisa diabaikan. Terutama di bidang pemahaman antarbangsa melalui penyebaran studi antropologi dan kesejarahan.

Awalnya, lembaga ini boleh dikatakan menjadi pemasok utama informasi budaya dan sosial negara-negara jajahan pada Kerajaan Belanda. Terutama di Hindia-Belanda, Karibia, dan Suriname. Setiap calon pamong praja yang akan dikirim ke negeri jajahan mendapat banyak ilmu dari lembaga ini. Ketika era dekolonisasi tiba, pada 1945, KITLV mengubah orientasinya.

Batas-batas wilayah dihilangkan. Komunikasi kolonial yang satu arah diubah menjadi dua arah yang setara. Kini, KITLV berkembang dengan enam "anak organisasi": perpustakaan, redaksi atau penerbitan, dokumentasi sejarah, bagian Karibia, dan penelitian. Terakhir adalah bagian perwakilan di Indonesia, yang didirikan pada 1969.

Bagian perpustakaannya kini memiliki setidaknya 450 anggota. Pelanggannya mulai Pramoedya Ananta Toer, Nyonya Fuad Hassan, Marsilam Simanjuntak, sampai berbagai lembaga kebudayaan, antara lain Lembaga Javanologi. Jaap Erkelens sendiri memimpin KITLV Indonesia sejak 1978. "Di sini kita lebih menekankan pengadaan buku," kata pria 61 tahun kelahiran Sumba, Nusa Tenggara Timur itu.

"KITLV berusaha mengalihkan ilmu yang diserap Belanda pada masa penjajahan kepada Indonesia," kata Jaap, yang fasih berbahasa Indonesia. "Serapan" itu tersimpan rapi di perpustakaan KITLV di Leiden, yang terdiri dari berbagai buku dan terbitan berkala, sepanjang empat kilometer! Sekitar 65% kandungan koleksi itu bertalian dengan Indonesia.

Karena bukan penerbit, KITLV bekerja sama dengan penerbit buku. "Kami memang banyak dibantu KITLV menerbitkan buku-buku langka," kata Syarifudin, Direktur PT Djambatan, satu dari sekitar 10 penerbit yang pernah bekerja sama dengan KITLV. Tapi, Syarifudin mengaku usaha ini tidak mudah. Walaupun bernilai tinggi, belum tentu semua karya yang tersimpan di KITLV bakal laris di pasar.

Tapi, tak mengapa. "KITLV memasok dana sehingga buku itu bisa murah," kata Syarifudin. Untuk tiap penerbitan, KITLV rata-rata membantu ongkos cetak sekitar 40%. "Kami cuma dapat royalti sekitar 3% dari penjualan. Nilainya kecil, simbolis saja," kata Jaap, sambil tertawa. Ia lebih suka menyebut kegiatan itu sebagai "dekolonisasi ilmu pengetahuan".

Nur Hidayat dan Irwan Andri Atmanto
Majalah Gatra, 22 Mei 2000