Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kitab Karya Ulama Nusantara Dibajak Penerbit Timur Tengah

Pada saat peringatan Maulid, tiga tahun silam, sejumlah pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam bertandang enam hari ke Mali, Afrika Barat. Antara lain, Said Agil Siradj (Nahdatul Ulama), Dahlan Rais (Muhammadiyah), dan Tuty Alawiyah (Majelis Ulama Indonesia). Mereka mendatangi Timbuktu, kota pusat studi Islam dan sentra bisnis, di negara berpenduduk 90% muslim itu.

Suatu petang, Said Agil berpisah dari rombongan. Berkelana sendiri, berziarah ke kuburan para tokoh perintis Islam setempat. Doktor tasawuf lulusan Universitas Ummul Qura, Mekah, ini juga berdialog dengan penduduk sekitar untuk menyelami tradisi keagamaan yang berkembang.

Perhatiannya tiba-tiba tersedot pada aktivitas pengajian kitab kuning di masjid terdekat. Yang bikin Said Agil merinding, materi pengajian mingguan itu adalah kitab tasawuf, Sirajut Thalibin (lentera kaum pelajar). Said amat mengenal kitab setebal seribuan halaman dan terbagi dua jilid itu.

Usai pengajian, Said bertanya pada pengajar pengajian, "Tahukah Anda, siapa pengarang kitab ini?" Tentu gampang dijawab. Penulisnya tertera jelas di sampul kitab: "Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampasi Al-Kadiri". "Melihat namanya, beliau mungkin dari Irak, keturunan Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, tokoh Tarekat Qadiriyah," kata imam masjid itu.

Sembari tersenyum, Said meluruskan, "Al-Kadiri itu nama kota di Indonesia. Aslinya Kediri, di Jawa Timur." Said sendiri pernah nyantri ke Kediri, di Pesantren Lirboyo. Ulama Mali itu pun terkesima, ternyata ada kitab terkemuka yang disusun ulama dari luar Timur Tengah.

***

Tidak hanya di Afrika Barat, kitab itu juga kondang di Timur Tengah. Seperti pusat pendidikan di Mesir dan Arab Saudi. Sirajut Thalibin adalah elaborasi (syarah) atas Kitab Minhajul Abidin (panduan ahli ibadah), karya ulama ternama Al-Ghazali.

Di Mali, kitab Sirajut Thalibin masih tertulis dengan pengarang Ihsan Jampes (1901-1952). Di Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, kitab itu selama puluhan tahun juga dikenal sebagai karya Ihsan Jampes.

Tapi dalam versi terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah (DKI), Beirut, Lebanon, tahun 2006, kitab yang sama dicantumkan pengarang berbeda. Yakni, Syeikh Ahmad bin Zaini Dahlan (1816-1886), ulama terkenal di Mekah, guru Syeikh Nawawi Banten (1813-1897).

Bukan hanya nama pengarang diganti, kata pengantar dari KH Hasyim Asy'ari (1875-1947), pendiri Nahdatul Ulama, juga dihilangkan. Manipulasi kekayaan intelektual itu jadi bahasan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Senin, 7 September lalu, berlangsung rapat khusus dipimpin Rais Syuriyah PBNU, KH Hafidz Usman. Dihadiri keluarga Ihsan Jampes: KH Irfan Masruchin (cucu), KH Amin (menantu), dan Hj. Nusoiziyah Ihsan (putri bungsu). Keluarga menyerahkan mandat pada PBNU untuk menyelesaikan.

Keberadaan Kiai Hasyim sebagai pengantar memiliki latar sejarah tersendiri. Menurut Irfan Masruchin, awalnya, Kiai Hasyim juga menulis syarah atas karya Al-Ghazali, Minhajul Abidin, dalam rangka sayembara yang diselenggarakan Raja Mesir.

Ketika menyelesaikan satu bab, Kiai Hasyim mengetahui, Ihsan Jampes --yang lebih muda 26 tahun-- telah menyelesaikan tuntas satu kitab. Ihsan diajak pula ikut sayembara, tapi menolak.

''Beliau tulus ingin membuat kitab untuk pendidikan," kata Irfan Masruchin, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Jefira Valianti. Sebagai penghargaan, Kiai Hasyim menuliskan pengantar singat atas karya Ihsan. Dalam pengantarnya, Kiai Hasyim memaparkan ilmu tasawuf sebagai ilmu pokok. Dan ilmu lainnya hanya cabang.

''Kitab ini salah satu karya terbaik di bidang tasawuf,'' tulis Kiai Hasyim saat memuji karya Ihsan Jampes, yang ia gelari sebagai ulama berwawasan luas dalam bagai lautan (bahrul fahamah).

Sirajut Thalibin terbit pertama tahun 1950 oleh Penerbit Nabhan, Surabaya. Tahun 1955, diterbitkan Al-Babi Al-Halabi, Mesir. Kedua penerbit itu mendapat izin Ihsan Jampes.

Empat dasawarsa berikutnya, 1990-an, kitab itu diterbitkan Darul Fikr, Lebanon. Kali ini tanpa izin Ihsan atau ahli warisnya. Tahun 2006, bukan hanya izin penerbitan yang diabaikan DKI, nama pengarangnya pun diganti.

''Kami tidak menuntut sepeser pun royalti karena kami sangat menghargai niat Syekh Ihsan ketika berkarya, murni demi pendidikan,'' kata Irfan dalam rapat di PBNU. ''Kami hanya menuntut permohonan maaf serta menarik kitab dari peredaran.''

Menurut Said Agil Siradj, dunia penerbitan di Lebanon sudah lama dikeluhkan para penulis. Mereka biasa menerbitkan karya tanpa izin penulis. ''Banyak orang sudah paham, bagaimana mafia penerbitan di Lebanon,'' kata Said, yang 13 tahun kuliah di Arab Saudi.

Tapi tahun ini, UNESCO menetapkan Beirut sebagai World Book Capital. Capaian itu mengikuti delapan kota lain yang mendapat penobatan serupa. Seperti Madrid (2001), Alexandria (2002), New Delhi (2003), Anterp (2004), Montreal (2005), Turin (2006), Bogota (2007), dan Amsterdam (2008).

***

Empat hari setelah pertemuan di PBNU, pada Jum'at, 11 September lalu, Ketua NU Cabang Istimewa Lebanon, Zainal Aziz, berhasi menemui Direktur DKI, Mohamed Ali Baydoun. Semula, saat ditunjukkan pemberitaan di Indonesia tentang pembajakan, Baydoun marah.

''Orang Arab memang gampang marah. Kata pembajakan dinilai berlebihan,'' kata Zainal. Baydoun menyatakan, perusahaannya selalu tanggap terhadap komplain. Tapi bila dikatakan pembajak, ia keberatan. Zainal bersikukuh, langkah penerbit ini tak bisa ditoleransi.

''Negara kami bisa bersitegang dengan tetangga hanya karena sebuah lagu tradisional kami yang tidak jelas pengarangnya diklaim,'' kata Zainal. ''Sementara kitab ini jelas pengarangnya. Ini bisa mempengaruhi hubungan bilateral,'' lanjutnya. Zainal mengingatkan, kalau kasus ini membesar, juga bisa merusak reputasi Beirut sebagai World Book Capital.

Baydoun kemudian menjelaskan asal mula penggantian nama pengarang tadi. Dikatakan, sepuluh tahunan silam, ada e-mail ke penerbit, mengoreksi Kitab Sirajut Thalibin bahwa pengarangnya bukan Ihsan Jampes, tapi Ahmad Zaini Dahlan.

Merujuk e-mail itu, penerbit mengubah nama pengarang. Zainal Aziz merasa cerita itu ganjil. ''Sebegitu mudah mengubah pengarang. Sementara Baydoun tak kenal pengirim e-mail dan apa relevansinya,'' kata Zainal.

Dengan dalih konsisten tanggap atas komplain, Baydoun mengaku sudah lebih dulu menerima e-mail dari Indonesia yang memprotes terbitan kitab ini. Ia lantas membentuk tim verifikasi. Diperoleh kesimpulan, Sirajut Thalibin memang karya Ihsan Jampes.

Maka penerbit menghentikan produksi edisi lama dan mencetak edisi revisi dengan mencatumkan nama Ihsan Jampes. Zainal Aziz diajak melihat langsung percetakan. ''Saya memang melihat, nama Syeikh Ihsan sudah dikembalikan,'' kata Zainal. ''Tapi pengantar Kiai Hasyim belum masuk.''

Zainal mendesak pengantar itu dicantumkan. Tapi staf ahli Baydoun berpendapat, pengantar itu tak penting. Zainal berang. ''Kalau Anda tahu siapa Kiai Hasyim, Anda akan sadar, pengantar itu sangat penting,'' kata Zainal. ''Beliau pendiri organisasi Islam dengan 80-an juta anggota. Bandingkan dengan penduduk Lebanon yang hanya empat juta.''

Tanpa banyak pertimbangan, Baydoun pun memerintahkan stafnya memasukkan kembali pengantar Kiai Hasyim. Baydoun lantas menulis surat permintaan maaf ke PBNU, dan berkomitmen menarik peredaran kitab yang masih memungkinkan ditarik.

Baydoun juga siap ke Indonesia, untuk minta maaf langsung pada keluarga Ihsan Jampes. ''Saya sarankan, ia datang saat Muktamar NU Januari nanti,'' kata Zainal.

Selesai urusan dengan penerbit DKI, Zainal menemukan perkara lain dengan Darul Fikr. Pada terbitan 2005, penerbit yang populer di pesantren Indonesia ini juga menerbitkan Sirajut Thalibin, menempatkan Ahmad Zaini Dahlan sebagai pengarang.

Uniknya, yang diubah hanya sampul luar. Padahal di dalamnya masih ada pengantar Kiai Hasyim yang menyebut kitab itu karya Ihsan Jampes. Di Timur Tengah, nama Ahmad Zaini Dahlan amat populer.

''Penerbit pada memakai nama dia, saya kira pertimbangan pasar,'' kata Zainal. Padahal, pada biografi singkat Ahmad Zaini Dahlan dalam pengantar Sirajut Thalibin, tak satupun menyebut ada karyanya yang berjudul Sirajut Thalibin.

Ia memang punya karya berkaitan dengan Kitab Al-Ghazali, Minhajul Abidin, bukan elaborasi (syarah) atas kitab tersebut, sebagaimana dilakukan Ihsan Jampes lewat Sirajut Thalibin. Sebaliknya, Ahmad Zaini Dahlan hanya membuat ringkasan (talkhish) atas karya Al-Ghazali itu.

Asrori S. Karni
Majalah Gatra edisi 47 / XV, 7 Oktober 2009