Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesuksesan Qisthi Press Menerbitkan Buku La Tahzan

Negeri kalian adalah negeri surga yang bisa menghilangkan segala kesedihan. "Saya ke Indonesia untuk mengucapkan kepada kalian, 'La tahzan!' (Jangan bersedih!)," kata Aidh bin Abdullah al-Qarni, pria asal Riyadh, Arab Saudi.

Negeri ini dikaruniai: air yang melimpah, pemandangan yang hijau, dan wajah-wajah yang baik. "Kalau pulang nanti," Aidh menambahkan, "Saya ingin katakan kepada orang-orang Saudi, 'Kalau sedih, datanglah ke Indonesia, niscaya kesedihanmu akan sirna!'"

Petuah Aidh, penulis buku superlaris, La Tahzan, itu diungkapkan dalam dialog di sela Islamic Book Fair di Istora Senayan, Jakarta, 4 Maret silam. Kata-kata Aidh itu disambut tawa dan sebagian senyum getir peserta dialog. Tapi Aidh tampaknya tidak tahu, kata-katanya itu terdengar pahit bagi telinga rakyat Indonesia yang terus diimpit persoalan ekonomi. Sepanjang dialog malam itu, Aidh tetap tampil ekspresif dan ceria.

Kehadirannya seakan menjadi keranjang ''curhat'' ribuan pembaca buku Islam di Indonesia. Ia menerima hampir semua jenis pertanyaan. Mulai isu pornografi-pornoaksi, TKW di Arab Saudi, konflik Israel-Palestina, stigma terorisme, posisi perempuan dalam Islam, sampai bagaimana ia menulis La Tahzan.

Dikenal sebagai penulis produktif sekaligus ulama moderat tapi kritis terhadap Pemerintah Arab Saudi, buku-buku Aidh banyak menggugah hati orang. Sampai usianya yang mendekati 47 tahun, Aidh telah menulis lebih dari 80 judul buku. Tak kurang dari 20 di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dari semua karyanya, La Tahzan-lah buku paling fenomenal. Sejak pertama diterbitkan (2001), buku jenis pemompa motivasi ini telah diterjemahkan ke dalam 29 bahasa dan dicetak lebih dari 1,5 juta copy. Aidh mengaku mendapatkan inspirasi untuk menulis La Tahzan ketika dipenjara selama 10 bulan oleh Pemerintah Arab Saudi karena sikapnya yang kritis (baca: Dale Carnegie Ala Arab).

Judul La Tahzan sendiri diambil dari sabda Nabi Muhammad SAW kepada sahabatnya, Abubakar, yang sangat ketakutan ketika bersembunyi di Gua Tsur karena dikejar-kejar kaum kafir Quraish. "La tahzan, innallah ma'anaa (Jangan bersedih, sesungguhnya Allah selalu bersama kita)" (At-Taubah: 40), demikian sabda Nabi pada Abubakar.

Kelebihan La Tahzan terletak pada kemampuannya menyentuh bagian paling sensitif dan rapuh pada diri manusia: kalbu. Dalam bahasa Dina, 27 tahun, karyawan swasta yang mengunjungi Islamic Book Fair, La Tahzan ibarat suplemen makanan dalam hidup.

Kalau rasa sedih, cemas, bingung, putus asa, marah, atau kesusahan hidup datang mendera, membaca La Tahzan seakan mendapat vitamin untuk keluar dari itu semua. "Tiap kali terkena musibah, saya akan membacanya. Buku ini ngangenin. Nggak bisa sekali baca," katanya.

Imam Qoyyin, 31 tahun, aktivis masjid yang juga mengunjungi Islamic Book Fair, mengaku terpikat oleh La Tahzan karena gaya tulisannya sederhana dengan bahasa indah. "Isinya spiritual tapi aplikatif. Bisa mengajak orang untuk berkontemplasi," ujarnya.

Dalam pandangan Anis Maftukhin, editor La Tahzan di Qisthi Press, La Tahzan merupakan genre baru buku Arab-Islam di Timur Tengah. Daya tariknya terletak pada keberhasilannya meramu ayat-ayat Quran, hadis, dan kata-kata bijak, baik dari orang Barat maupun Timur. Kemudian diikat dengan motivasi dan pengalaman hidup Aidh al-Qarni sendiri atas berbagai persoalan hidup yang diderita setiap orang.

"Sebelumnya take ada penulis Arab yang bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Aidh. Ia telah menyeberangi arus. Sebuah lompatan dalam dunia perbukuan Arab," kata Anis.

Namun "bintang" sesungguhnya dalam acara "temu penulis" malam itu bukanlah Aidh al-Qarni. Melainkan laki-laki keturunan Arab bernama Rusdy Mahdamy, 34 tahun. Mungkin tidak semua orang tahu, tapi dialah pemilik Qisthi Press, penerbit anyar yang mendapatkan "durian runtuh" dari larisnya La Tahzan.

Sejak awal 2005, Qisthi mencetak La Tahzan versi Indonesia sebanyak 150.000 ekslempar, dijual dengan harga Rp 65.000 per buku (sebelum diskon). Cetakan pertama La Tahzan (September 2003) hanya 2.000 ekslempar dan habis terjual dalam waktu dua minggu di pasaran. Namun pemasarannya baru meledak sejak awal tahun lalu.

Kalau dihitung dari awal 2005 saja, keuntungan yang diraup Qisthi, menurut Rusdy, bisa mencapai Rp 2 milyar. Ini angka yang sangat bombastis untuk penerbit kecil yang baru berdiri. Karena itu, tak mengherankan jika malam itu, Rusdy yang mengenakan hem warna kuning (ciri khas penerbit Qisthi) berbinar-binar sumringah.

Ia sangat menikmati berjubelnya pengunjung dan kehadiran Aidh. "Saya sangat bahagia, seneng banget," ungkapnya kepada Gatra. Apalagi, selama pameran berlangsung, penjualan La Tahzan di gerai Qisthi mencapai 1.000 eksemplar. Buku-buku lainnya pun cukup banyak diserbu pembeli.

Kebahagiaan itu kiranya setimpal dengan kerja keras Rusdy selama ini. Merintis Qisthi sejak tahun 2000, Rusdy mengembangkan bisnisnya dari nol. Mula-mula ia hanya dibantu dua editor. Sedangkan untuk penerjemahan buku-buku Islam Timur Tengah, ia mengandalkan tenaga lepas.

Di awal-awal berdiri, seperti penerbit kecil lainnya, produksi buku Qisthi juga lelet. Tahun pertama, ia hanya menghasilkan dua-tiga buku. La Tahzan adalah buku kesembilan Qisthi yang diterbitkan pertama kali pada September 2003. Kini Qisthi sudah menerbitkan 62 judul dengan 120 naskah yang siap diterbitkan. Semua itu berkah sukses La Tahzan.

Kantor Qisthi pun berubah. Tiga tahun lalu, ketika Gatra mengunjunginya di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur, kantor Qisthi merangkap rumah tinggal keluarga Rusdy. Tapi, sejak penjualan La Tahzan meningkat, Rusdy memindahkan keluarganya ke sebuah rumah baru. Karyawan Qisthi pun bertambah: empat editor, dua tenaga pemasaran, dua orang bagian umum, plus dua akuntan. Di setiap sudut markas Qisthi, rumah tipe 75, kini penuh sesak dengan buku.

Yang menarik, buku pertama Qisthi adalah karya Aidh al-Qarni. Judulnya Benteng Akidah (kini diganti menjadi Inilah Akidahku). Buku itu tak selaris La Tahzan. Ini menunjukkan, kata Rusdy, larisnya La Tahzan tidak semata karena buku itu menjadi best seller di negeri asalnya. Faktor pemasaran dan distribusi yang jitu memegang peran tidak kecil.

Dengan cerdik, sejak dua tahun lalu, Rusdy memilih memasang iklan di dua majalah Islam yang jaringan distribusinya dikenal luas dan fanatik, yaitu majalah Hidayatullah dan Gontor. Karena itu, pemesanan buku La Tahzan pun datang dari berbagai penjuru Nusantara langsung ke kantor Qisthi.

Rusdy sadar benar tidak bisa mengandalkan penjualan hanya di toko-toko buku. Ia menciptakan jalur distribusi sendiri. Lulusan Teknik Kimia Institut Teknologi Nasional Malang ini juga sangat diuntungkan dengan jaringan komunitas keturunan Arab yang luas dan latar belakang keluarga yang kental dengan dunia penerbitan. Pamannya, Mustafa Mahdamy, adalah pemilik penerbit Mantiq, sedangkan saudara jauhnya, Thohir, adalah pemilik penerbit Al-Kautsar.

Keberuntungan yang sangat disyukuri Rusdy, tentu saja, mendapatkan hak cipta La Tahzan. Ketika mengetahui La Tahzan meledak di Timur Tengah, Rusdy segera menghubungi Ahmad Mohammad Bawazier, saudaranya yang tinggal di Arab Saudi, untuk mengurus hak cipta La Tahzan. Instingnya mengatakan, buku ini bakal laris jika diterbitkan di Indonesia. "Yang tidak saya duga, buku ini bukan sekadar laris, melainkan sangat laris," ujarnya sambil tertawa.

Tapi rupanya, urusan laris itu berdampak pada hal yang tidak terkirakan Rusdy. Aidh al-Qarni ternyata telah menjual-putus hak cipta La Tahzan kepada dua orang agen buku (Abdullah bin Sulaiman al-Geffari dan Fahd bin Ali al-Said). Bersama buku al-'Azhamah, Aidh hanya mendapatkan uang sebesar 500.000 riyal Arab Saudi (sekitar Rp 1,2 milyar).

Urusan hak cipta pun terjalin antara Qisthi yang diwakili Ahmad Mohammad Bawazier dan kedua agen buku tersebut. Dalam hal ini, Aidh tidak mendapatkan apa-apa dari larisnya penjualan buku La Tahzan di mana pun di seluruh dunia.

Persoalan hak cipta juga menjadi pekerjaan tambahan Rusdy saat ini. Pasalnya, selain La Tahzan miliknya, tercatat ada empat buku terjemahan La Tahzan yang beredar di Indonesia, yaitu terbitan Sahara Publishers (Jakarta), Magfiroh Pustaka, Irsyad Baitus Salam (Bandung), dan At-Tibyan (Solo). Selain cover-nya berbeda, terjemahan bukunya juga berbeda-beda. Ini belum termasuk bajakan La Tahzan versi Qisthi di pasar buku loak.

Anehnya, barangkali karena besarnya serapan pasar, tingkat penjualan La Tahzan tanpa hak cipta itu pun tidak kecil. Magfiroh Pustaka, misalnya, mencetak tujuh kali. Sedangkan Irsyad Baitus Salam mencetak sampai lima kali.

Merasa mendapatkan hak cipta langsung dari pemilik buku La Tahzan, Rusdy pun mengirim surat teguran kepada penerbit-penerbit tadi, berikut bukti kontrak Qisthi dengan pemilik hak cipta La Tahzan. Menggunakan jasa pengacara, Rusdy melaporkan persoalan ini ke pihak berwajib. Aidh al-Qarni pun didatangkan ke Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus ini.

Tapi memang tak mudah menemukan titik temu soal hak cipta La Tahzan, juga buku-buku terjemahan asal Timur Tengah lainnya. Sebab masih ada perbedaan pendapat antara kubu yang anti dan pro-hak cipta. Dalam pandangan Sumbodo, 45 tahun, pemilik Irsyad Baitus Salam, karena untuk alasan dakwah, buku-buku Islam asal Timur Tengah tidak mengenal istilah hak cipta (copyright).

Ia mengambil contoh kitab-kitab klasik --misalnya Bulughul Maram karya Ibn Hajar-- yang penulisnya sudah meninggal ratusan tahun lalu. "Ke mana harus membayar copyright-nya. Dari dulu, buku-buku Islam asal Timur Tengah tidak ada yang pakai copyright," ia menandaskan.

Karena itu, Sumbodo membuat kebijakan dan ukuran sendiri. Selama tidak ada larangan tertulis di buku aslinya agar tidak dicetak ulang atau digandakan, dirinya berani menerbitkan versi Indonesianya. "Kalau ada, saya nggak berani dan harus meminta izin," kata Sumbodo.

Alasan itulah yang membuat Sumbodo berani menerbitkan La Tahzan tanpa izin penulis maupun penerbitnya. Sebab tidak ada larangan penggandaan. Apalagi, buku asli La Tahzan yang dipakai Irsyad Baitus Salam berbeda dengan yang dipakai Qisthi. Rusdy memakai terbitan Arab Saudi (penerbit Al-Obeikan), sedangkan Sumbodo memakai terbitan Mesir (Ain Syams).

Rusdy tentu saja tidak bisa menerima pendapat itu. "Kalau semua bisa dicetak semaunya, apa jadinya dunia penerbitan kita," katanya gusar.

"Saya hanya ingin ada penghormatan terhadap hak karya orang lain. Tidak semua orang bisa mengikhlaskan," ujarnya. Bagi Rusdy, yang terpenting dalam mengurus hak cipta adalah komunikasi antara penerbit Indonesia dan pemilik buku asal, baik penulis maupun penerbitnya.

Namun, sejak kedatangan Aidh al-Qarni ke Indonesia, hampir semua cetakan La Tahzan tanpa hak cipta ditarik dari pasar. Tapi Rusdy tidak mau mundur. Upayanya mempersoalkan buku-buku La Tahzan tanpa hak cipta, baginya, merupakan preseden penting yang bisa menentukan masa depan penerbitan buku-buku Timur Tengah di Indonesia. La tahzan Rusdy, kita hidup di negeri surga, bukan?

Luqman Hakim Arifin
Majalah Gatra edisi 19 / XII, 25 Maret 2006