Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kejutan Super Imajinatif dari Novel Supernova

Pada pertengahan 1990-an, para kritikus sastra (terutama sastrawan Budi Darma) mengeluhkan fenomena dunia sastra Indonesia yang mengalami krisis kualitas dari karya-karya sastra yang terbit. Tiba- tiba muncul novel Ayu Utami, Saman, yang dianggap begitu fenomenal. Krisis itu pun terobati. Katakanlah, Saman telah menggoreskan tinta emas bagi sastra Indonesia abad ke-20.

Kini, sastra Indonesia rupanya harus siap menyambut lagi sebuah kejutan. Sebuah kejutan pada awal abad ke-21. Artinya, para kritikus sastra tidak perlu khawatir menunggu selang waktu yang panjang setelah Saman berjaya. Atau seperti dulu mereka acapkali gemas menunggu: setelah STA, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Umar Kayam, N.H. Dini, lalu siapa lagi?

Kejutan dalam dunia sastra Indonesia yang membuka abad ini ialah munculnya sebuah novel yang ditulis Dee (nama asli: Dewi Lestari) berjudul Supernova, Ksatria Putri dan Bintang Jatuh. Nama penulis novel ini sebenarnya sudah cukup dikenal khalayak sebagai penyanyi pop yang tergabung dalam trio vokal "Rida, Sita, Dewi" (asal Bandung), dan ini adalah novelnya yang pertama.

Supernova adalah sebuah novel super-imajinatif. Sungguh tidak lazim bagi dunia sastra Indonesia. Ditulis dengan gaya pop, tapi sarat dengan problem filsafat dan teori-teori ilmiah. Ini pertama kalinya dalam sastra Indonesia, seorang penulis sanggup mengisahkan labirin kehidupan kontemporer secara eksperimentatif dengan gaya yang hampir science-fiction.

Supernova memaparkan sebuah horizon kehidupan hasil kecemerlangan pikiran manusia yang telah menerobos lorong waktu peradaban yang sangat panjang. Dahsyatnya, bagaimana horizon yang lebih dikenal atau ditemukan dalam ruang-ruang yang sangat serius, seperti di laboratorium dan perpustakaan, itu diramu sedemikian rupa dengan masalah "kehidupan sehari-hari" (life world, meminjam istilah filsuf pendiri aliran filsafat fenomenologi, Edmund Husserl).

Dunia transendental, logika, bentuk-bentuk murni lainnya dari "otak" para saintis dan filsuf dunia yang seringkali terkesan demikian menyeramkan bisa di-make up Dewi menjadi wajah yang kelihatan ramah bersentuhan dengan unsur-unsur empati, emosi, ekspresi, dan keputusan-keputusan eksistensial dalam keseharian hidup manusia.

"Dunia kehidupan" tampak sebagai sebuah "fenomen" baru. Suatu hal, membaca Supernova memang haruslah dengan perhatian ekstra. Ia kelihatannya akan sulit akrab bagi mereka yang terbiasa membaca novel tanpa perlu mengernyitkan dahi. Tapi, bagaimanapun, paling tidak dengan menilik gaya tutur lewat kalimat-kalimat yang lancar mengalir, rangkaian dialog yang gesit, pembaca seperti ini masih bisa mendapatkan sesuatu.

Sebagai karya fiksi, Supernova adalah sebuah imajinasi intelektual yang sangat liar dan menantang. Ia menerawang dalam dunia hyperreality. Ia membawa kita ke wilayah yang demikian lentur dan mendobrak pagar-pagar dikotomistik kehidupan hitam-putih, sebagaimana pada logika either/or modernisme.

Karena berbau science-fiction, tak mengherankan bila sang penulis merasa perlu memberikan catatan-catatan kaki tentang teori-teori ilmiah. Dari sini pula kita bisa membayangkan betapa seriusnya sang penulis menyiapkan novel ini. Serius dengan penguasaan materi dasar teori-teori ilmu alam modern dan kontemporer, teori-teori sosial, dan menyentil nama-nama filsuf seperti Adam Smith, Hegel, Kant, Marx, dan Habermas.

Sebut saja Supernova sebagai sebuah esai yang bercerita tentang "persetubuhan" antara dunia imajiner dan sains lewat tokoh-tokoh fiktif yang memiliki karakter-karakter unik. Ada tokoh gay, model, dan pelacur yang menguasai ilmu, wartawan yang sedari kecil mulai bertanya siapakah Tuhan sebenarnya, dosen yang suka main pelacur, dan beberapa lagi tokoh menarik lainnya. Membaca Supernova sungguh akan banyak gunanya bagi isi agasi (otak) kita.

Tommy F. Awuy
Majalah Gatra edisi  15 / VII, 3 Maret 2001