Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Industri Perbukuan di Tengah Peradaban Global

Peradaban Global
Di tengah kesibukan kita bekerja sehari-hari, kita terbiasa mengajukan pertanyaan model “how/bagaimana?” Pertanyaan sekitar “bagaimana” mencerminkan kondisi kritis dan kita cenderung lebih memperhatikan proses keputusan yang harus segera diambil bersama. Keputusan kolektif mendesak agar segera dilaksanakan dalam rencana tindakan dan program aksi sekarang juga.

Dalam komunitas media yang terbiasa berhadapan dengan masyarakat dengan segala krisis yang dihadapinva, kebijakan editorial yang digariskan lebih pada urusan mengembangkan pertanyaan “bagaimana” dan mendalami jawaban atas “bagaimana” itu. Surat kabar, majalah, radio atau televisi serta internet adalah media-media dengan label “bagaimana” serta “jawaban konkret di lapangan”.

Melalui media-media dengan keunggulan “bagaimana” itu, sulit sekali mengembangkan budaya pertanyaan “mengapa” dan jawaban dari sana, yang berasal dari budaya media know-how itu. Kita membutuhkan media know-why sebelumnya, yang mempermasalahkan duduk persoalan sesungguhnya, kesadaran tentang masalah-masalah laten, yang harus diterobos dari soal-soal how itu. Majalah ini lebih berorientasi pada pertanyaan know-why. Jawabannya penting untuk pertanyaan know-how.

Kesulitan saya untuk memulai karangan tentang industri perbukuan di tengah peradaban global, bertolak dari persoalan memilih pokok pertanyaannya. Pertanyaan pertama adalah bagaimana industri perbukuan di tengah peradaban global? jawaban pertanyaan itu bisa dikonsultasikan dengan pakar ilmu manajemen modern yang merasa paling berkompeten untuk menjawab pertanyaan know-how untuk industri perbukuan dengan dimensi peradaban globalnya. Pameran-pameran buku internasional, seperti Frankfurt Bookfair menjadi sebuah pentasan global dari ilmu manajemen modern yang diaplikasikan dalam industri perbukuan saat ini di seluruh dunia. Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah pameran-pameran buku bertaraf internasional seperti Frankfurt Bookfair itu menjadi sebuah gejala peradaban, gejala civilization? Saya harus mulai bertanya dengan konsep “mengapa”?

Pragmatisme adalah sikap budaya yang mendewakan pertanyaan how. Legitimasi dari sikap pragmatisme dibangun oleh perkembangan ilmu manajemen modern, ilmu suci dari lingkungan pasar, perusahaan, dan golongan profesional. Lingkungan ilmu manajemen modern sangat berkompeten dan meyakinkan bila mengembangkan budaya how dan sikap kerja ilmiah, estetis dan praktis sebagai jawaban dari pertanyaan how itu. Ilmu manajemen modern memberdayakan secara utilitarian beberapa faktor kebudayaan, seperti pemberdayaan tenaga listrik (elektrifikasi) untuk infrastruktur fisik pekerjaannya, pemberdayaan edukasi untuk infrastruktur ilmu pengetahuan alam dan sosial serta teknologinya dan pemberdayaan ilmu manajemen modern untuk dunia kerja teknis sehari-hari, Pengembangan sumber daya manusia dilihat dalam kelengkapan sistem ilmu manajemen modern, yakni edukasi dan penguasaan ilmu manajemen untuk pekerjaan sehari-hari, vang didukung oleh tenaga listrik dengan segala perkembangannya (seperti komputerisasi dan internet). Hampir seluruh penjelasan tentang industri perbukuan dewasa ini berasal dari konteks dan lingkungan ilmu manajemen modern dengan pragmatismenya.

Persoalan yang saya hadapi untuk mengisi rubrik sebuah media perbukuan, yang dikelola oleh sekumpulan orang yang ingin mengajukan pertanyaan why sebelum pertanyaan how, bertolak dari mainstream sikap budaya industri perbukuan kontemporer itu sendiri. Pragmatisme yang merasuk iklim kerja industri perbukuan saat ini menyulitkan kelompok budaya alternatif untuk menarik perhatian aliran how untuk lebih memperhatikan keprihatinan “kultural” dari aliran alternatif, yakni aliran why itu. Bukan hanya menarik perhatian, melainkan juga memperlihatkan sesuatu yang bermakna dari jawaban atas pertanyaan why. lnilah kesulitan “epistemologi” antara kubu how dan kubu why untuk memahami gejala dan hakikat industri perbukuan di tengah peradaban global. Apakah hakikat peradaban dapat dijumpai dalam industri perbukuan? Apakah hakikat peradaban dicari dan ditemukan di lingkungan pengarang, penerbit, editor, pencetak, distributor, atau masyarakat pembacanya? Mengapa harus dicari dimensi peradaban itu? Apakah dimensi itu sudah memudar atau hilang ditelan gerakan pragmatisme dan utilitarian sesaat? Atau masih dikonservasi dengan tekun oleh segelintir konservator peradaban?

Sebuah Studi Kasus: Leksikograf dengan Istilah “Civilization”
Pragmatisme kultural juga tercermin dalam kebingungan leksikograf untuk memahami dan menjelaskan apa itu peradaban. Sebelum menyusun karangan ini, saya mencoba membandingkan tiga tim leksikograf, yang menyusun: (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, (2) The New American Desk Encyclopedia, 1993, (3) Heinemann Australian Dictionary, 1992. Tiga tim leksikograf ini memperkenalkan istilah civilization (bahasa Inggris) dan peradaban (bahasa Indonesia kontemporer). Dari perbandingan pengertian civilization dan peradaban di lingkungan leksikograf, sebagai salah satu jenis profesi linguistik di seluruh dunia, kita bisa mcnarik sebuah pernyataan umum (general statement) bahwa terdapat gap pemahaman substansif antara arti civilization dan peradaban,

Civilization:
1. The achievement of a culture that is complex enough to sustain a heterogenity of people and ideas, able both to perserve its past and to sponsor inovation, transmission of its style and values as well as the unity of the people who comprise that.
(sumber: The New American Desk Encyclopedia, p. 272)
2.1. (a) A society of any period or place unified by language and having distinctive legal system, customs, art style and governing powers.
(b) The process in a society which brings about such a unity.
2.2. An advanced stage of society and culture, embodied in a high level of art, science and government.
(sumber: Heinemann Australian Dictionary, p. 194)

Peradaban:
1. kemajuan (kecerdasan, kebudayaan) lahir batin;
2. hal yang menyangkut sopan santun, budi bahasa dan kebudayaan suatu bangsa;
3. keadaban, ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin, kebaikan budi pekerti (budi bahasa, dan sebagainya).
(sumber: KBBI hlm. 6)

Leksikograf dalam masyarakat berbahasa Inggris sebagai bahasa ibu (mother language) memiliki beberapa asumsi dasar bila memperkenalkan istilah civilization. Asumsi-asumsi dasar Itu antara lain ada hukum perkembangan yang terus bekerja di lingkungan kebudayaan yang berciri pluralistik, majemuk, heterogen, baik sccara rasial maupun secara pemikiran. Hukum perkembangan itu tampak pada kerja kebudayaan dalam masyarakat tertentu vang terbagi dua kegiatan pokok. Pertama, kerja konservasi, memelihara sejarah dan adat-istiadat warisan masa lampaunya, Kedua, kerja eksplorasi dengan visi ke masa depan, mensponsori pembaruan kebudavaan lokal vang kuno, kolot, dan irasional, serta menghambat ruang kebebasan individu dengan segala hak asasinya dari alam dan menghasilkan reformasi kebudayaan dalam wujud style kehidupan, nilai-nilai kehidupan, ataupun pengelolaan untuk memelihara solidaritas di pelbagai jaringan sosial yang pluralistik itu.

Reformasi kebudayaan sebagai agenda civilization kelihatan pada kesibukan kerja masyarakat sehari-hari di lingkungan sistem hukum yang tidak diskriminatif (rasial, agama, dan bahasa), adat-istiadat yang terbuka pada toleransi publik yang pluralistik, sistem kesenian, kombinasi seni sakral dan seni profan, kekuasaan pemerintahan negara yang bebas dari ikatan agama tertentu demi memprioritaskan persatuan dalam kemajemukan kultural, serta tingkat penguasaan seni, ilmu, dan politik pada tahap advanced.

Berbeda sekali dengan leksikograf dalam masyarakat berbahasa Indonesia (Melayu modern) yang melihat civilization itu pada tingkat advanced penguasaan kebahasaan (bukan bahasa ilmu pengetahuan vang sudah pada tingkat elaborated, tetapi. pada tahap bahasa sebagai sarana pergaulan dengan tipe bahasa elite, seperti istana-istana di Jawa, yakni sopan santun bahasa, budi bahasa sebagai cermin dari martabat sebuah kebudayaan). Keinsafan etis terwujud dalam budi bahasa atau sopan santun bahasa, Produksi kebudayaan dipersempit menjadi produksi bahasa “elite”, bahasa “tinggi” dengan model etikanya. Peradaban seolah-olah sebuah reinkarnasi kebudayaan feodalisme masa silam.

Kesimpulan sementara yang juga sekaligus sebuah general statement (yang masih perlu diverifikasi dan diklarifikasi lebih lanjut), bahwa saya lebih cenderung menerima paham civilization dari kalangan leksikograf masyarakat berbahasa Inggris, yang mensponsori gerakan civilization di seluruh dunia dengan pengalaman sejarahnya yang sangat kaya untuk toleran terhadap pluralisme kebudavaan seantero dunia. Saya kurang bisa menerima paham civilization (terjemahan peradaban dalam masyarakat Melayu modern, sekarang) yang hanya berfokus pada gejala linguistik semata-mata.

Persoalan “Civilization” Kalangan Perbukuan
Kalangan perbukuan di Indonesia menunjukkan sebuab gejala peradaban pluralistik. Kalangan perbukuan itu terdiri atas beberapa pihak yang selalu mengklaim dirinya sebagai gejala perbukuan nasional dan sekaligus hakikat perbukuan nasional. Terdapat beberapa komponen penting yang menjadi bagian dunia perbukuan dan industri perbukuan saat ini. Komponen pertama, komunitas penulis dan pengarang (writer and author community). Mereka bergerak dalam istana Olimpus (tradisi pengetahuan Yunani) dengan segala corak pemikirannya dari abstrak sampai konkret, dari induktif sampai deduktif, dari riil sampai spekulatif). Komponen kedua, komunitas penyunting (editor community) yang bekerja di berbagai jenis penerbitan (general dan special) yang menjadi partner penulis dan pengarang untuk berkomunikasi dengan pembaca khususnya. Komponen ketiga, penerbit, yang berani mengeluarkan uangnya untuk berbisnis kultural dengan penulis dan pengarang.

Penerbit ini sekaligus berfungsi sebagai maecenas untuk seniman dan kapitalis yang mendorong seniman dan pengarang sibuk bekerja dengan hukum-hukum pasar modern. Budaya finansial adalah gejala dominan penerbit dan sekaligus memperlibatkan gejala poverty culture (kelompok intelektual dan seniman). Komponen keempat, lembaga distributor seperti pencetak dan distributor. Komponen kelima, pembaca atau konsumen produk kultural dan produk civilization dari industri perbukuan.

Kondisi “keraguan atau dubium” di kalangan leksikograf juga menjalar masuk ke kalangan industri perbukuan. Kalangan industri perbukuan juga sedang menderita dalam penafsiran yang lengkap tentang apa artinva civilization itu, baik visi, misi, maupun strategi kerja jangka pendek, menengah, dan panjang.

Kesadaran tentang persoalan menghayati makna civilization kalangan perbukuan terus dipelihara dan dieksploitasikan. Sejak Januari-Mei 2002, ada sekelompok tokoh dari industri perbukuan nasional sibuk mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak dan kalangan. Mereka ingin membentuk sebuah Dewan Buku Nasional dengan sebuah misi perjuangannya.

Kebetulan penulis rubrik ini masuk dalam kesibukan aneh itu, Kelompok perbukuan ini akhirnya menunjuk beberapa orang dari kelompok mereka untuk merumuskan lebih lanjut visi, misi dan strategi kerja Dewan Buku yang diharapkan dibentuk dalam waktu dekat ini.

Saya meluangkan waktu di dalam rapat-rapat itu karena saya sedang mengajukan pertanyaan, mengapa dewan ini perlu dibentuk? Mengapa industri buku di Indonesia mesti diberi kembali visi baru dan misi perjuangan baru? Saya ingin mendapat jawaban dari “mengapa” itu. Pasti jawabannya tidak saya temukan dari buku-buku Peter Drueker dan kawan-kawannya dari disiplin ilmu manajemen modern yang melihat gejala kultural dan civilization dari aspek mismanagement, baik di lingkungan konservasi maupun di lingkungan eksploitasinya. Saya ingin menemukan duduk persoalan dan usaha jawaban dari pertanyaan “mengapa” dari lingkungan kebahasaan (linguistik dengan leksikografnya), dari lingkungan pedagogi modern (kelompok pedagog vang mengandalkan psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang sibuk di sekolah-sekolah dari jenjang dasar sampai jenjang tertier); dan dari lingkungan industri perbukuan sendiri yang semakin berinteraksi dan berintegrasi dengan kebiasaan mengcmbangkan pameran, baik itu book-exhibition maupun bookfair.

Alfons Taryadi vang diberi tugas menjadi koordinator tim kecil yang dipercayai oleh penggagas Dewan Buku Nasional sedang berupaya keras memahami arti peradaban dalam kesibukan mendalami pertanyaan “mengapa harus dibentuk Dewan Buku Nasional dalam waktu dekat ini?” Upava intelektual ini untuk sementara mendapat kerangka pemikiran untuk mendefinisikan perbukuan secara lebih ilmiah, rasional, kritis, dan bisa diaplikasikan untuk pekerjaan kebudayaan selanjutnya. Kami masih berusaha membuat peta persoalan perbukuan yang agak komprehensif, mengakomodasikan dan mengintegrasikan konsep-konsep aktual yang bekerja di kalangan dunia industri perbukuan.

Space dasarnya sudah dilihat untuk kepentingan konstruksi konsep-konsep lebih lanjut. Space dasarnya harus merupakan sebuah simpul dari tali-temali, sebuah meeting-point dari sebuah lokasi pertemuan arus kesibukan perjalanan berbagai kepentingan, seperti kesibukan di airport, baik di ruang keberangkatan maupun di ruang kedatangan. Peradaban global yang menjadi fokus industri perbukuan bergerak seputar dan sekitar dunia kebahasaan, dunia pengajaran ilmu, seni dan olahraga sekolahan, dan dunia aplikasi kerja ilmu manajemen modern di lingkungan kerja buku, mulai dari ide, produksi, manufaktur, administrasi bisnis, penjualan, dan pembelian dari pembaca. Semua kesibukan ilmu manajemen modern itu bermuara secara ritual dalam kegiatan pameran baik skala lokal, nasional, internasional, maupun global. Semua kegiatan ritual baik di lingkungan agama maupun lingkungan profan bertujuan: latihan untuk penghayatan, training for intenalization of values.

Rubrik ini mungkin masih bersifat abstrak. Bila pembaca belum tertarik dengan persoalan yang diangkat dalam rubrik ini, itu tandanya dia masih jauh dari peradaban. Salah satu ciri yang menonjol dalam peradaban adalah kemampuan memahami masalah-masalah abstrak, khususnya pengetahuan yang dihasilkan dari pertanyaan “mengapa”. Kebanyakan kita hanya terbiasa dengan pengetahuan operasional, teknis, artistik, dan finansial hasil dari pertanyaan “bagaimana”. Perbukuan menantang kita memasuki horison pengetahuan “mengapa”, supaya kita dapat memahami dan menjelaskan dunia perbukuan yang tidak sebatas guru berbicara tentang kecerdasan siswa sekolahan, melainkan perbukuan sebagai wujud dan mesin kerja produksi kebudayaan, yang sering digugat oleh Dr. Ignas Kleden, bila dia melihat persoalan dunia perbukuan.

Bila kita ingin menjadi manusia yang adil dan beradab, biasakanlah berpikir abstrak dengan mengembangkan pertanyaan “mengapa”. Hanya dunia perbukuan yang mendapat kepercayaan publik berurusan dengan pertanyaan “mengapa”. Lembaga komunikasi ini berbeda secara kultural dengan lembaga media komunikasi lain vang terbiasa dengan pertanyaan dan pengetahuan tentang “bagaimana”. Kemampuan refleksi menjadi bekal untuk mengembangkan pertanyaan “mengapa” dan perbukuan menjadi sarana untuk kemampuan reflektif itu. Itulah makna buku sebagai produksi kebudayaan dan peradaban.

Frans M. Parera
Majalah Mata Baca Vol. 1 No. 1 / Agustus 2002