Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Perjalanan Australia: dari Bazar, Buku Loak, sampai Brosur Iklan

Yogya Malioboro, dan segerombolan seniman muda. Waktu itu, Mal Malioboro belum berdiri megah, dan sepanjang emperan toko masih bagus untuk ber-kongkow, dari obrolan ringan, debat kusir, sampai diskusi serius. Sesekali, dari situ muncul ide-ide kreatif. Tidak lebih dari itu, paling tidak, seliweran informasi dari mulut ke mulut menjadi barang berharga. Lebih mewah lagi: suburnya asah-mengasah elan kreatif. Atau sekadar romantisme kecil secangkir teh dan berkepul asap kretek, karya-karya baru, sampai buku sederhana.

Beberapa tahun (mungkin belasan tahun kemudian) setelah saya tidak tinggal di Yogya lagi, suatu kali, saya berkunjung ke Australia. Tak pelak, suasana “romantik” seperti itu begitu saja masuk dalam angan-angan dan harapan saya. Maklum saja, saya juga sama sekali belum mengenal negeri itu. Sebagai penulis, saya membayangkan, barangkali saya nanti juga bisa bertemu dengan mereka, para penulis Australia. Barangkali ada ajang, tempat rendezvous para penulis.

Maka, ketika Melbourne Writers Festival digelar saat itu, saya pun melangkahkan kaki datang ke tempat penyelenggaraan acara itu. Namun, ternyata tak ada suasana guyub antar penulis yang saya temukan di sana. Festival itu benar-benar sekadar ajang para penulis berpesta, di mana rata-rata mereka membacakan karya mereka masing-masing, tapi sesudah itu, mereka bubar sendiri-sendiri. Padahal, justru acara sesudah pesta itulah yang saya bayangkan akan lebih eksotik. Bagi kami, para penulis di Indonesia, acara sesudah acara utama itu acapkali justru menjadi ajang diskusi yang bahkan bisa jadi lebih menarik dan berbobot dibanding acara di dalam ruang diskusi itu sendiri. Maka ketika mereka masing-masing bubar saya melongo saja. Saya berpikir —yang ada kemungkinan benar— jangan-jangan mereka bahkan tidak mengenal (secara pribadi) satu penulis dengan penulis lainnya. Entahlah. Hanya satu yang saya tahu, buku menjadi penting di sini. Sebab mereka saling mengenal dan membaca karya penulis lain melulu hanya melalui buku-buku yang diterbitkan.

Saya mulai paham, rupanya toko buku menjadi “terminal” penting para penulis di sana —dan saya kira juga di banyak kota-kota maju di dunia lainnya, kalau tak ingin mengatakan satu-satunya tempat rendezvous para pengarang. Toko buku atau tempat-tempat penjualan buku menjadi tempat yang penting bagi para penulis Australia. Berbeda dengan di Indonesia yang saya tahu, begitu banyak orang begitu cerdik berbicara, tetapi mungkin mereka masih memandang buku sebagai makhluk langka nan aneh.

Di Australia, saya sempat berkunjung ke banyak universitas yang beradadi kota-kota Melbourne, Sydney, Perth, dan Launceston (Tasmania). Ada dua hal yang saya kagumi dari sana, Yang pertama, hampir semua kampus menggelar pasar murah saban minggu sekali di pelataran kampus masing-masing.

Yang namanya pasar murah ya pasti harganya benar-benar murah karena barang yang dijual rata-rata barang sudah dipakai. Namun, jenis barang yang dijual cukup komplet. Mulai dari pakaian tren terbaru, jaket, celana jins, pernik-pernik gelang kalung, jam, kacamata, sampai berbagai makanan penghangat, juga kopi. Dan yang tak pernah ketinggalan selalu ada bazar buku. Hah pelaksanaan pasar ini tidak sama di setiap kampus. Karena itu, mereka yang masuk dalam kategori sebagai kolektor buku atau pecinta buku, biasanya hafal (atau menghafal) hari-hari penting itu. Tentu saja, sebab buku-buku yang dijual di sana benar-benar sangat murah. Dan biasanya buku-buku langka bisa kita temukan dari sini. Namun sebenarnya di luar itu, ada lagi yang menarik lainnya. Semua kampus itu mempunyai sebuah toko buku yang menjual buku-buku bekas alias buku loak. Bedanya, kalau yang ini pastilah dibuka tiap hari. Tapi jangan dulu membayangkan buku loak yang dijual itu sudah lapuk, kotor, dan tua. Buku-buku itu sebagian besar masih dalam kondisi bagus.

Ketika saya tanyakan mengapa begitu pada salah seorang penjaga toko, mereka mengatakan buku-buku itu adalah koleksi mahasiswa dan para dosen yang sudah selesai dibaca. Mereka sudah membeli buku baru lainnya, rak sudah sesak dan memang ingin memberi kesempatan orang lain untuk membaca buku miliknya. Itu alasannya.

Kebanyakan toko buku di kampus-kampus ini rata-rata menjual jenis buku yang cukup komplet. Mereka juga menatanya dengan rapi, layaknya toko buku umum di luar kampus. Dengan demikian para pengunjung bisa dengan mudah mendapatkan buku yang dicarinya. Dan tetap saja, tentu, dengan harga miring.

Soal buku loak ini,  ternyata ada buku loak lain yang bisa saya temukan dengan mudah di luar kampus. Memang bagi pendatang baru, tak mudah menemukan toko buku seperti itu, Sebab tokonya —sebagaimana toko-toko lainnya juga— tak dipasangi papan nama besar apalagi iklan atau spanduk dengan tulisan diskon besar-besar, sebagaimana banyak kita jumpai di sini. Toko itu seperti rumah biasa saja. Namun, karena saya kenal dengan penduduk setempat di kota-kota yang saya kunjungi itu, maka dengan mudah mereka dapat menunjukkan toko buku macam itu pada saya.

Toko buku loak “umum” —maksud saya yang berada di luar kampus— ternyata malah memajang lebih banyak lagi (dan komplet lagi) buku-buku bagus. Penataannya juga, tentu saja, rapi jali. Pelayanan pada pembeli juga memuaskan.

Mengetahui saya dari suatu negeri bernama Indonesia, beberapa teman yang tinggal di Australia, dengan bangga “menyombongkan” bahwa di Australia (tepatnya di Melbourne) ada toko buku khusus yang menyediakan buku-buku berbahasa Indonesia. Hati saya berbunga, “nasionalisme” saya bangkit. Apalagi saya memang punya minat besar di dunia penerbitan, Saya ingin tahu, buku macam apakah yang dijual di sana? Maka, suatu hari, saya mencari di mana gerangan toko buku khusus itu berada.

Toko itu bernama “Nusantara”. Letaknya di daerah yang tak terlampau strategis, kalau tak ingin mengatakan di daerah sepi, dan bukan masuk di wilayah “bisnis” perbukuan. Agak di pinggir kota. Tepatnya di Maroondah Highway, Saya kemudian masuk. Tokonya tak terlalu luas. Kira-kira selebar lima kali lima meter. Hanya ada toko itu saja di wilayah tersebut. Lalu saya mulai periksa koleksi buku-buku yang dipajang di sana.

Ternyata kebanyakan adalah buku-buku pelajaran bahasa Indonesia. Olala! Saya salah ternyata. Tadinya, saya berpikir, toko ini menjual buku-buku terbitan Indonesia, terlebih buku-buku terbitan terbaru, yang berisi isu-isu baru. Ternyata lebih banyak memajang buku-buku terbitan Australia yang (memang) isinya hal-ihwal mengenai Indonesia. Misalnya budaya, pariwisata dan...ini yang terbanyak: bahasa —rupanya, tempat ini lebih sebagai toko yang menyediakan bahan-bahan bagi para pengajar (pelajaran) bahasa Indonesia. Sayang banyak materi dalam buku tersebut yang sudah tidak relevan dan kurang up to date lagi di sini. Jadi, banyak buku yang saya kira perlu direvisi.

Namun, sesungguhnya saya tetaplah mesti lega. Sebab toh ada satu-dua buku lainnya dari Indonesia dipajang juga di sana, Tapi, yaaa... kecewa lagi, buku-buku itu adalah buku-buku yang melulu berkaitan dengan urusan politik. Kalau tidak, ya tak terpajang. Sebagai contoh, buku-buku sastra yang terpampang itu adalah buku yang punya riwayat politik khusus, misalnya, buku Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (lantaran buku ini pernah dilarang beredar di Indonesia), buku Harimau-Harimau karya Mochtar Lubis (sebagaimana Pram, pengarang ini juga pernah dipenjarakan), Saksi Mata (katakanlah, ia adalah semacam saksi peristiwa Timor Timur).

Sementara itu, buku-buku bagus lainnya, baik dari pengarang yang sama maupun dari pengarang Indonesia lainnya, tak saya lihat terpajang di rak toko ini —pengecualian buku Pram edisi bahasa Inggris yang tersedia cukup komplet.

Yang juga unik, saya sempat masuk ke beberapa toko yang menjual barang-barang antik. Ada jam, sepatu, aneka barang-barang rumah tangga, dan sebagainya. Lalu terselip di antara benda-benda kuno itu: buku-buku, yang memang masuk kategori buku kuno. Kalau ini sih benar-benar loak. Tapi yang loak kan tidak mesti harus disingkirkan.

Saya sempat juga berkunjung ke beberapa toko buku besar. Yang saya maksud adalah toko buku besar macam Gramedia kalau di sini. Waduh, saya berdecak kagum. Kita bisa dengan mudah mendapatkan buku-buku sampai pengelompokan terkecil yang kita inginkan. Misalnya di deretan sastra, ada puisi dan prosa. Di bagian puisi, masih bisa dibedakan lagi, mau puisi yang membicarakan cinta, atau apa. Cinta bisa dibedakan lagi pada birahi dan seksual —ini sekadar contoh.

Dan yang paling mengagumkan, tentu saja, kualitas buku-buku itu, maksud saya kualitas fisik dan artistiknya rata-rata buku itu bagus-bagus semua. Kualitas cetaknya tentu saja prima. Lalu harganya, ini yang agak mengherankan saya, antara buku hard cover dan buku soft cover, kok tidak terpaut banyak? Kalau di sini bisa jadi tujuh atau sepuluh kali Iipat bedanya.

Tak seperti di negeri kita, di Australia urusan kertas, urusan cetak mencetak agaknya tak menjadi soal benar. Bukti mudah saja, setiap hari, di setiap rumah-rumah penduduk Australia kita dapat temukan berbagai brosur yang mengiklankan suatu produk.

Kertas-kertas itu demikian berjubel memenuhi kotak surat setiap rumah. Ia datang setiap hari, tanpa permisi. Lalu (kebanyakan) tanpa mesti dibaca pula, si empunya kotak surat akan langsung membuangnya ke tong sampah, atau paling banter melihat-lihatnya semenit dua menit. Lalu brosur baru, iklan-iklan baru akan datang lagi esok harinya....

Saya berpikir, brosur iklan itu, tentu saja, dicetak di atas kertas. Selesai ia dicetak, selesai ia dibagikan ke rumah-rumah, sayang sekali kertas-kertas malang itu hanya jadi penghuni sampah saja. Ah! Coba saja tak usah membuat advertensi banyak-banyak. Lalu kertas-kertasnya dibuat untuk mencetak sebuah buku, wah, sudah ada berapa buku bisa diterbitkan....

Dorothea Rosa Herliany
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 2/ September 2002