Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku yang Bercerita Tentang Buku-buku Bagus

Tak semua cucu punya kakek yang bisa bercerita dengan runtut tentang buku-buku tua, setengah tua, dan bahkan tidak tua, yang ada hubungannya dengan nilai kebangsaan. Kebetulan kakek yang satu ini, Polycarpus Swantoro, memang pemburu buku, yang senang dan suka bercerita kepada cucu-cucunya. Cerita tentang hobinya mengoleksi buku itu, dengan cara yang kerap meloncat-loncat gesit kian-kemari, sebagaimana lazimnya cara bercerita kakek-kakek, kelihatannya berejawantah dengan nyata dalam bukunya, Dari Buku ke Buku, terbitan KPG dan TeMBI.

Sebagai cerita tentang buku, buku karya Swantoro ini ibarat sebuah rumah dengan banyak jendela yang dibuka untuk menyimak pelbagai pengetahuan dasar yang telah dijala, dijaring, atau diserok. Dan, sebagai cerita seorang kakek, bisa saja kesenangan dan kesukaan yang melatari ikhtiarnya terpaksa kesat menembusi dinding bening yang menjaraki dirinya dengan cucunya, berhubung adanya realitas akan perbedaan nilai dari masing-masing generasi. Yang biasanya menonjol dalam kualitas bercerita kakek kepada cucu adalah kecenderungan mengalirkan frustrasi ataupun satisfaksi dari masa silam ke masa kini. Namun, naga-naganya memang begitulah hakikat pengajaran sejarah.

Buku Dari Buku ke Buku ini dimulai dari kisah kakek tentang sebuah buku Belanda yang sering dibukanya di masa kanak-kanak, yang tidak ada lagi, dan karenanya diburunya untuk dimilikinya kembali. Buku ini penting, sebab dalamnya memuat lengkap tentang Indonesia di zaman kolonial, yaitu Geillustreerde Encyclopedie van Nederlandsch Indie.

Setelah itu, buku ini memuat berbagai ragam bahasan kecil dan ringkas, mirip dengan resensi atau tajuk rencana yang dilakukan wartawan di surat kabar terhadap buku-buku yang pukulrata semuanya berkaitan dengan sejarah. Misalnya di halaman 11, ternyata buku pertama yang membahas PKI adalah De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indie, oleh Petrus Blumberger, yang segera diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada 1929. Di halaman 30, tersaji cerita tentang depresi ekonomi akibat Perang Dunia I, yang lazim disebut Zaman Malaise, ditandai dengan mengamuknya Merapi. Di halaman 307, cerita tentang Cultuurstelsel sampai terjadinya Perang Aceh. Di halaman 81, hadir pertanyaan: siapa yang bertanggung jawab atas Perang Jawa? Cucu yang tangkas dapat menyimpulkan keterangan di halaman 86, "Ketika De Kock mengatakan akan terjadi perang lagi kalau Diponegoro kembali ke Jawa, Diponegoro menjawab 'Apa yang ditakutkan? Bukankah yang berperang prajurit?'"

Di halaman 290, dengan mengaitkan pada biografi Soekarno karya Kamberl Gibels, dikatakan bahwa Van Heutsz sepatutnya dipandang sebagai tokoh yang melatari dasar pembentukan Indonesia lewat kebijakannya. Lalu, di halaman 182, tentang seorang cendekia muda, Van Leur, yang tewas dalam kapal Houston yang disikat Jepang di Teluk Banten, kakek menyebutnya penting, dengan memakai pendapat Wertheim, karena pikiran-pikirannya tentang Asia telah tanggal dari kecenderungan umum sarjana Barat yang disebutnya Eropa-sentris.

Di halaman 385, disajikan tentang Tan Malaka, tokoh komunis yang masyhur, yang kemudian berpaling lantas mendirikan Partai Republik Indonesia, bukan di Jakarta melainkan di Bangkok. Selanjutnya, ia menunjukkan perbedaan pendapat antara Soekarno dan Hatta di halaman 393. Dan terakhir, di halaman 401, ia menutup bukunya dengan pertanyaan "Apakah saya mengkhayal?" Di bagian ini sebetulnya kakek mengkritik pemimpin Indonesia. Ia menyatakan, presiden-presiden Indonesia dari pertama sampai keempat tidak "me-yogi", sehingga mereka jatuh dalam orientasi derajat, pangkat, dan semat.

Akhirnya, mestilah dibilang, buku ini sangat wartawan, yaitu model bahasan pendek namun faktual, aktual, sekaligus berlangsung seperti cinta kilat. Sudah sepantasnya begitu, sebab memang Swantoro yang kakek ini adalah wartawan, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas antara 1966-1987.

Remy Sylado
Majalah Gatra edisi 14 / VIII/ 23 Februari 2002