Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil Penerbit Kanisius

Ibarat sebuah kapal, Kanisius bukanlah kapal pesiar mewah dan kapal dagang megah, hanya perahu layar kecil." Begitulah Emanuel Surono, Direktur Utama Penerbitan-Percetakan Kanisius, mengawali pidatonya, Kamis siang pekan lalu. Acara syukuran 80 tahun Kanisius itu digelar di ruang sidang perusahaan itu di Kampung Deresan, Yogyakarta.

Surono, 58 tahun, memang boleh saja merendah. Namun, perusahaan penerbitan dan percetakan berlogo perahu dengan layar terkembang ini tak pelak lagi telah menguji prestasinya Layar Terkembang Sepuluh Windu bertahan selama 10 windu di tengah ketatnya persaingan bisnis buku. Resep awet itu, katanya: "Harus bekerja keras untuk menjadi sesuatu, bukan memiliki sesuatu."

Dengan kata lain, "Lebih baik to be daripada to have," Surono bak berfilsafat. Demikianlah Kanisius, yang berdiri pada 26 Januari 1922 dengan nama Canisius Drukkerij. Istilah "Kanisius" diambil dari nama orang suci di kalangan Katolik, Petrus Canisius. Perusahaan ini milik Yayasan Kanisius, di bawah payung Keuskupan Agung Semarang, Jawa Tengah.

Pendirinya, antara lain, Bruder Bellinus, Bertinus, Baldewinus, Jacobus, dan Pater J. Lampe, SJ. Ketika itu, sebagai penerbitan dan percetakan, produksinya khusus melayani kebutuhan gereja dan sekolah-sekolah Katolik. Misalnya buku doa, nyanyian rohani, katekismus atau petunjuk peribadatan, dalam bahasa Melayu, Belanda, dan Jawa.

Sempat juga menerbitkan majalah berbahasa Jawa, Tamtama Dalem (Tentara Tuhan), Swaratama (Suara Tuhan), dan Patriot. Namun, ketiganya tak bertahan lama. Karena percetakan Kanisius dianggap bermutu, Pemerintah RI juga pernah mempercayainya mencetak Oeang Repoeblik Indonesia (ORI), pada akhir 1945.

Dari jejak langkah ini, jelaslah Kanisius bukan penerbit karbitan, yang muncul karena jatah proyek dari pemerintah. "Kami justru memilih tidak ikut berebut proyek," kata Surono kepada Gatra. Ketika bantuan keuangan dari Bank Dunia mulai mengalir ke Indonesia untuk pengadaan buku pelajaran sekolah, awal 1970, lalu menjamurlah "penerbit orderan", Kanisius memilih mundur, tidak menerbitkan buku pelajaran.

Padahal sebelumnya, menurut Surono, Kanisius sudah menerbitkan buku pelajaran dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas. Satu di antara terbitan Kanisius dari jenis ini adalah buku Sari Ilmu Hayat, yang sempat dicetak sampai 1,5 juta eksemplar pada 1950.

Kanisius lalu lebih berkonsentrasi memproduksi buku-buku rohani, filsafat, humaniora, politik, sosial, budaya, pertanian, serta peternakan, yang kemudian dikembangkan menjadi buku teknologi tepat guna. Misalnya: cara menanam jagung dan beternak ayam.

Ternyata, pilihan jalur itu tak salah. Dengan ini, sekaligus pula dihilangkan "stempel" Kanisius sebagai hanya penerbit Katolik. Kanisius membuktikannya dengan menerbitkan 60% buku-buku umum, dan sisanya keagamaan. Maka, tak aneh jika kemudian bermunculan tulisan- tulisan Y.B. Mangunwijaya, Franz Magnis-Suseno -yang terkenal dengan buku filsafat Etika Dasar-nya- dan Sri Sultan Hamengku Buwono X (Bercermin di Kalbu Rakyat).

Berangsur-angsur, "fisik" perusahaan ini pun terus berkembang. Pabrik dan kantornya, yang semula di Jalan Senopati, Yogyakarta, dianggap tak memadai lagi. Sejak 1988, Kanisius pindah ke Jalan Cempaka, Kampung Deresan, dengan menempati areal seluas dua hektare. Selain itu, Kanisius juga membuka kantor cabang sekaligus toko buku di Jakarta dan Surabaya. Jumlah karyawannya sekarang mencapai 312 orang.

Hingga awal 2002 ini, aset Kanisius terhitung lebih dari Rp 18 milyar. "Itu murni usaha Kanisius. Kami tak pernah menerima bantuan dari luar, termasuk pemerintah," kata Surono.

Rata-rata setiap buku dicetak 1.000 sampai 4.000 eksemplar. Lebih dari itu, Kanisius sekarang ini juga ikut membantu mengelola keuangan dan administrasi penerbitan majalah Basis, Utusan, dan Rohani. Sementara itu, mengomentari keawetan Kanisius menjalankan roda usahanya, Pemimpin Redaksi Basis, Dr. Sindhunata, mengakui, ketahanan penerbit ini memang luar biasa. "Saya salut pada manajemennya yang sebenarnya sederhana," katanya.

Joko Syahban dan Sujoko (Yogyakarta)
Majalah Gatra, 11 / VIII 2 Februari 2002