Menyoal Copyright Buku
Menyesal Tanpa Hak Cipta
Bagi Sadasiva, somasi KPG adalah tuntutan hukum pertama selama kiprah penerbit ini yang belum genap dua tahun. "Mungkin ini somasi pertama antar sesama penerbit," kata Zulkarnaen Ishak, 28 tahun, Direktur Sadasiva. Persoalan bermula dari diterbitkannya 2.000 eksemplar Veronika, terjemahan karya Paulo Caelho, Januari lalu. Belum sebulan, Zulkarnaen ditelepon pihak KPG.
"Intinya, kami diminta menarik peredaran buku dalam waktu satu minggu," katanya. Kontak itu diikuti kiriman bukti surat perjanjian tanggal 15 Juni 2002 yang dikeluarkan pihak Paulo Caelho lewat agennya, Sant Jordi Asociados, Barcelona, Spanyol. Isinya memberikan hak kepada KPG untuk menerbitkan Veronika Decides to Die.
Mulanya Zulkarnaen ragu, karena di sana ada aturan, jika dalam satu tahun buku itu tak diterbitkan, maka lisensi akan ditarik lagi. "Kan, KPG baru menerbitkannya tahun 2005," ujarnya. Keesokan harinya, Zulkarnaen bertanya langsung ke agen Paulo Caelho. "Ternyata benar KPG pemilik lisensinya," katanya. Saat itu juga, menurut Zulkarnaen, buku yang beredar di Yogya langsung ditarik, lalu berangsur-angsur buku di luar kota.
Penarikan dipercepat setelah Sadasiva didatangi pengacara KPG, akhir April lalu. Pada kesempatan itu, Sadasiva diminta menarik dan menghancurkan semua buku Veronika. Selain itu, Zulkarnaen juga diminta menyampaikan maaf ke pembaca dan KPG di media nasional.
Zulkarnaen mengaku menyesal tak membeli hak cipta buku itu, "Melihat bukunya laku, seharusnya kami membeli hak ciptanya," tuturnya. Buku seharga Rp 29.000 itu memang laris. Baru sebulan saja sudah terjual separonya. Kalau penerbit hanya mendapat 40%-50% dari harga banderol, maka uang yang masuk sekitar Rp 11 juta. "Ini berarti kami nombok Rp 4 juta, karena untuk biaya cetak menghabiskan Rp 15 juta," katanya.
Bagi KPG, tindakan menyomasi Sadasiva adalah langkah untuk melindungi kepentingan hukum dan usahanya, serta hak penulis atas copyright buku itu. Menurut R. Aris Suwartono, Manajer Pemasaran KPG, pada mulanya Sadasiva keberatan dengan isi somasi. Argumentasi Sadasiva, menurut Aris, mengapa hanya dia yang disomasi, tidak dengan penerbit lain yang juga membajak.
"Kami pun menegaskan bahwa copyright buku itu milik KPG, dan kami tak mengurusi pembajakan yang lain," kata Aris kepada Rosmiyati Dewi Kandi dari Gatra. Selain itu, Aris menyesalkan Veronika Sadasiva yang telanjur dibeli publik. "Karena terjemahannya berbeda, maka artinya jadi aneh dan lucu, sehingga pembaca rugi," katanya.
Aris menambahkan, awalnya KPG mau mencetak 5.000 eksemplar. Namun, karena ada persoalan itu, KPG hanya mencetak 3.000. Kerugian KPG, menurut Aris, sekitar Rp 50 juta. "Itu dari potensi pasar KPG yang hilang," ujarnya.
Syarat Bebas Tanpa Copyright
Perseteruan Penerbit Sadasiva, Yogyakarta, dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, mengenai copyright buku Veronika karya Paulo Caelho memunculkan banyak tanggapan pro dan kontra. Kesediaan Sadasiva memasang iklan permintaan maaf, ukuran 8,5 cm x 6 cm di harian Republika, 3 Mei lalu, disayangkan beberapa kalangan. Salah satunya Muhidin M. Dahlan, penulis yang kini mukim di Yogyakarta.
"Mestinya tidak menyerah begitu saja. Kalau mau jadi martir, pasti akan banyak yang mendukung," kata Muhidin, yang telah menulis sembilan buku. Apalagi, tambah Gus Muh -demikian ia biasa disapa- Sadavisa bersedia menarik buku Veronika yang diterbitkannya, lalu memusnahkannya.
Dalam kacamata Gus Muh, konflik yang tak berujung ke meja hijau itu dapat menjadi momen tepat untuk melawan hegemoni pengetahuan lewat rezim "copyright" yang dilakukan Barat dan penerbit besar. Dia menyebut perlawanan terhadap copyright itu adalah gerakan copyleft. Istilah pelesetan ini sempat laris disebut-sebut oleh masyarakat perbukuan di Yogya untuk menolak hegemoni copyright.
Secara simbolis, copyleft ditandai dengan simbol (c) yang ditulis terbalik. Menurut Muhidin, institusi copyright hanya akan menjadikan pengetahuan milik perusahaan besar yang punya duit. Dia melihat soal perbukuan bukan hanya pengetahuan, melainkan juga soal penghargaan pada penulis dan bisnis penerbitan, sehingga copyright ada. Namun, dalam hal penerjemahan, dia berpendapat, pengetahuanlah yang harus dikedepankan.
Muhidin mengingatkan, booming buku yang kini terjadi di Tanah Air tak lepas dari kreativitas dan keberanian aktivis perbukuan Yogya dalam menerbitkan buku-buku asing. Kisah penerjemahan buku di Yogya mengingatkan pada upaya besar-besaran menerjemahkan karya filsuf Yunani yang dilakukan Arab pada masa kejayaannya. Kemajuan Jepang pun tak lepas dari upaya penerjemahan secara bebas khazanah ilmu pengetahuan dari luar negeri.
Maka, menurut Muhidin, buku dari luar bisa diterbitkan siapa pun. Tapi, untuk buku dari dalam negeri, perlu copyright untuk menghargai jerih payah seseorang. Adapun Taufik Rahzen, aktivis kebudayaan, prihatin atas kasus yang menimpa Sadavisa. "Mereka salah strategi, bukan teledor," katanya.
Seharusnya, menurut Taufik, mereka menerjemahkan buku yang sudah berumur 15 tahun lebih. "Karena, kalau buku baru, kelihatan sekali sisi komersialnya," ujarnya. Taufik sendiri setuju dengan penerjemahan bebas tanpa copyright. Tapi dengan beberapa syarat. "Selain buku itu sudah berusia lebih dari 15 tahun, penerbitan buku itu bukan untuk tujuan komersial atau setengah komersial," katanya.
Taufik bercerita bahwa UNESCO pada 1970-an pernah memiliki program memberikan kebebasan pada negara dunia ketiga untuk menerjemahkan buku secara bebas tanpa copyright. Malaysia adalah salah satu yang memanfaatkan tawaran itu dan meminta waktu delapan tahun untuk bebas menerjemahkan buku-buku luar negeri. Tapi Indonesia tak memanfaatkan celah itu.
Untuk kepentingan pengetahuan dan kebudayaan, Taufik tertarik untuk merintis Asia-Africa Academy. Salah satu yang ingin diperjuangkan lewat lembaga ini adalah kebebasan mentransfer atau menerjemahkan pengetahuan dari luar. "Kini dalam proses," katanya. Di samping itu, menurut Taufik, saat ini perlu juga dibangun literary agent (agen naskah) yang tak berorientasi profit, sehingga masyarakat lebih bisa diuntungkan.
Bagi dunia penerbitan buku di ''kota gudeg'', kasus Sadasiva versus KPG itu bak vitamin bagi kesadaran untuk memperhatikan copyright. Belakangan ini, banyak penerbit makin merasa perlu memegang copyright. "Alasannya tak hanya agar belakangan hari tidak mendapatkan masalah, melainkan juga menghormati penulisnya," kata Gangsar Sukrisno, 39 tahun, Manajer Umum Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta.
Semenjak manajemennya diambil alih Mizan, Bandung, tahun lalu, Bentang selalu memperhatikan perlunya copyright, baik buku penulis lokal maupun internasional. Tapi, untuk memperbanyak buku yang usianya lebih dari 15 tahun, seperti karya Khahlil Gibran, tak lagi perlu izin sang penulis. Setahu Gangsar, biaya copyright bervariasi, US$ 200 sampai US$ 1.000.
Gangsar mencontohkan Fateless karya Imre Kartesz. Novel ini hak ciptanya dibeli US$ 450. "Pembelian copyright itu adalah etika yang harus dipenuhi," katanya. Hampir sama dengan Bentang, penerbit Insist Press juga berusaha minta izin penulis sebelum menerbitkan. Namun, menurut Bonar Saragih, 45 tahun, Direktur Insist, untuk buku yang sifatnya akademik tak diperlukan adanya hak cipta.
Pasalnya, buku yang kini muncul biasanya perkembangan yang terdahulu. "Makanya, saya kira tak ada ide-ide yang orisinal," ujarnya. Cukup menghubungi penulisnya. Menurut Bonar, alasan Insist sekadar memberitahu sang pemilik atau penulis adalah masalah etika.
Kadang memang tak butuh bayaran untuk mendapat izin dari penulis. Karena untuk menerbitkan di Indonesia, ada penulis yang tak perlu dibayar. Misalnya buku-buku keluaran Heperian Foundation. Karena itulah, Insist punya kebijakan untuk tak melarang orang lain memfotokopi buku terbitannya. "Yang penting sumbernya ditulis," katanya.
Soal pentingnya copyright juga dipahami benar oleh penerbit LKiS, Yogyakarta. Menurut Akhmad Fikri, Direktur LKiS, bila dihitung, harga hak cipta tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan ongkos produksi untuk mencetak buku. Misalnya harga copyright berkisar Rp 2 juta. Menurut Akhmad, ongkos copyright sebesar itu relatif tak besar karena hanya 10%-20% dari total biaya produksi. Jadi, tak ada salahnya penerbit membeli hak cipta atas buku luar terbaru yang memang laris.
Majalah Gatra, Edisi 31 / XI 18 Juni 2005
Bagi Sadasiva, somasi KPG adalah tuntutan hukum pertama selama kiprah penerbit ini yang belum genap dua tahun. "Mungkin ini somasi pertama antar sesama penerbit," kata Zulkarnaen Ishak, 28 tahun, Direktur Sadasiva. Persoalan bermula dari diterbitkannya 2.000 eksemplar Veronika, terjemahan karya Paulo Caelho, Januari lalu. Belum sebulan, Zulkarnaen ditelepon pihak KPG.
"Intinya, kami diminta menarik peredaran buku dalam waktu satu minggu," katanya. Kontak itu diikuti kiriman bukti surat perjanjian tanggal 15 Juni 2002 yang dikeluarkan pihak Paulo Caelho lewat agennya, Sant Jordi Asociados, Barcelona, Spanyol. Isinya memberikan hak kepada KPG untuk menerbitkan Veronika Decides to Die.
Mulanya Zulkarnaen ragu, karena di sana ada aturan, jika dalam satu tahun buku itu tak diterbitkan, maka lisensi akan ditarik lagi. "Kan, KPG baru menerbitkannya tahun 2005," ujarnya. Keesokan harinya, Zulkarnaen bertanya langsung ke agen Paulo Caelho. "Ternyata benar KPG pemilik lisensinya," katanya. Saat itu juga, menurut Zulkarnaen, buku yang beredar di Yogya langsung ditarik, lalu berangsur-angsur buku di luar kota.
Penarikan dipercepat setelah Sadasiva didatangi pengacara KPG, akhir April lalu. Pada kesempatan itu, Sadasiva diminta menarik dan menghancurkan semua buku Veronika. Selain itu, Zulkarnaen juga diminta menyampaikan maaf ke pembaca dan KPG di media nasional.
Zulkarnaen mengaku menyesal tak membeli hak cipta buku itu, "Melihat bukunya laku, seharusnya kami membeli hak ciptanya," tuturnya. Buku seharga Rp 29.000 itu memang laris. Baru sebulan saja sudah terjual separonya. Kalau penerbit hanya mendapat 40%-50% dari harga banderol, maka uang yang masuk sekitar Rp 11 juta. "Ini berarti kami nombok Rp 4 juta, karena untuk biaya cetak menghabiskan Rp 15 juta," katanya.
Bagi KPG, tindakan menyomasi Sadasiva adalah langkah untuk melindungi kepentingan hukum dan usahanya, serta hak penulis atas copyright buku itu. Menurut R. Aris Suwartono, Manajer Pemasaran KPG, pada mulanya Sadasiva keberatan dengan isi somasi. Argumentasi Sadasiva, menurut Aris, mengapa hanya dia yang disomasi, tidak dengan penerbit lain yang juga membajak.
"Kami pun menegaskan bahwa copyright buku itu milik KPG, dan kami tak mengurusi pembajakan yang lain," kata Aris kepada Rosmiyati Dewi Kandi dari Gatra. Selain itu, Aris menyesalkan Veronika Sadasiva yang telanjur dibeli publik. "Karena terjemahannya berbeda, maka artinya jadi aneh dan lucu, sehingga pembaca rugi," katanya.
Aris menambahkan, awalnya KPG mau mencetak 5.000 eksemplar. Namun, karena ada persoalan itu, KPG hanya mencetak 3.000. Kerugian KPG, menurut Aris, sekitar Rp 50 juta. "Itu dari potensi pasar KPG yang hilang," ujarnya.
Syarat Bebas Tanpa Copyright
Perseteruan Penerbit Sadasiva, Yogyakarta, dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, mengenai copyright buku Veronika karya Paulo Caelho memunculkan banyak tanggapan pro dan kontra. Kesediaan Sadasiva memasang iklan permintaan maaf, ukuran 8,5 cm x 6 cm di harian Republika, 3 Mei lalu, disayangkan beberapa kalangan. Salah satunya Muhidin M. Dahlan, penulis yang kini mukim di Yogyakarta.
"Mestinya tidak menyerah begitu saja. Kalau mau jadi martir, pasti akan banyak yang mendukung," kata Muhidin, yang telah menulis sembilan buku. Apalagi, tambah Gus Muh -demikian ia biasa disapa- Sadavisa bersedia menarik buku Veronika yang diterbitkannya, lalu memusnahkannya.
Dalam kacamata Gus Muh, konflik yang tak berujung ke meja hijau itu dapat menjadi momen tepat untuk melawan hegemoni pengetahuan lewat rezim "copyright" yang dilakukan Barat dan penerbit besar. Dia menyebut perlawanan terhadap copyright itu adalah gerakan copyleft. Istilah pelesetan ini sempat laris disebut-sebut oleh masyarakat perbukuan di Yogya untuk menolak hegemoni copyright.
Secara simbolis, copyleft ditandai dengan simbol (c) yang ditulis terbalik. Menurut Muhidin, institusi copyright hanya akan menjadikan pengetahuan milik perusahaan besar yang punya duit. Dia melihat soal perbukuan bukan hanya pengetahuan, melainkan juga soal penghargaan pada penulis dan bisnis penerbitan, sehingga copyright ada. Namun, dalam hal penerjemahan, dia berpendapat, pengetahuanlah yang harus dikedepankan.
Muhidin mengingatkan, booming buku yang kini terjadi di Tanah Air tak lepas dari kreativitas dan keberanian aktivis perbukuan Yogya dalam menerbitkan buku-buku asing. Kisah penerjemahan buku di Yogya mengingatkan pada upaya besar-besaran menerjemahkan karya filsuf Yunani yang dilakukan Arab pada masa kejayaannya. Kemajuan Jepang pun tak lepas dari upaya penerjemahan secara bebas khazanah ilmu pengetahuan dari luar negeri.
Maka, menurut Muhidin, buku dari luar bisa diterbitkan siapa pun. Tapi, untuk buku dari dalam negeri, perlu copyright untuk menghargai jerih payah seseorang. Adapun Taufik Rahzen, aktivis kebudayaan, prihatin atas kasus yang menimpa Sadavisa. "Mereka salah strategi, bukan teledor," katanya.
Seharusnya, menurut Taufik, mereka menerjemahkan buku yang sudah berumur 15 tahun lebih. "Karena, kalau buku baru, kelihatan sekali sisi komersialnya," ujarnya. Taufik sendiri setuju dengan penerjemahan bebas tanpa copyright. Tapi dengan beberapa syarat. "Selain buku itu sudah berusia lebih dari 15 tahun, penerbitan buku itu bukan untuk tujuan komersial atau setengah komersial," katanya.
Taufik bercerita bahwa UNESCO pada 1970-an pernah memiliki program memberikan kebebasan pada negara dunia ketiga untuk menerjemahkan buku secara bebas tanpa copyright. Malaysia adalah salah satu yang memanfaatkan tawaran itu dan meminta waktu delapan tahun untuk bebas menerjemahkan buku-buku luar negeri. Tapi Indonesia tak memanfaatkan celah itu.
Untuk kepentingan pengetahuan dan kebudayaan, Taufik tertarik untuk merintis Asia-Africa Academy. Salah satu yang ingin diperjuangkan lewat lembaga ini adalah kebebasan mentransfer atau menerjemahkan pengetahuan dari luar. "Kini dalam proses," katanya. Di samping itu, menurut Taufik, saat ini perlu juga dibangun literary agent (agen naskah) yang tak berorientasi profit, sehingga masyarakat lebih bisa diuntungkan.
Bagi dunia penerbitan buku di ''kota gudeg'', kasus Sadasiva versus KPG itu bak vitamin bagi kesadaran untuk memperhatikan copyright. Belakangan ini, banyak penerbit makin merasa perlu memegang copyright. "Alasannya tak hanya agar belakangan hari tidak mendapatkan masalah, melainkan juga menghormati penulisnya," kata Gangsar Sukrisno, 39 tahun, Manajer Umum Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta.
Semenjak manajemennya diambil alih Mizan, Bandung, tahun lalu, Bentang selalu memperhatikan perlunya copyright, baik buku penulis lokal maupun internasional. Tapi, untuk memperbanyak buku yang usianya lebih dari 15 tahun, seperti karya Khahlil Gibran, tak lagi perlu izin sang penulis. Setahu Gangsar, biaya copyright bervariasi, US$ 200 sampai US$ 1.000.
Gangsar mencontohkan Fateless karya Imre Kartesz. Novel ini hak ciptanya dibeli US$ 450. "Pembelian copyright itu adalah etika yang harus dipenuhi," katanya. Hampir sama dengan Bentang, penerbit Insist Press juga berusaha minta izin penulis sebelum menerbitkan. Namun, menurut Bonar Saragih, 45 tahun, Direktur Insist, untuk buku yang sifatnya akademik tak diperlukan adanya hak cipta.
Pasalnya, buku yang kini muncul biasanya perkembangan yang terdahulu. "Makanya, saya kira tak ada ide-ide yang orisinal," ujarnya. Cukup menghubungi penulisnya. Menurut Bonar, alasan Insist sekadar memberitahu sang pemilik atau penulis adalah masalah etika.
Kadang memang tak butuh bayaran untuk mendapat izin dari penulis. Karena untuk menerbitkan di Indonesia, ada penulis yang tak perlu dibayar. Misalnya buku-buku keluaran Heperian Foundation. Karena itulah, Insist punya kebijakan untuk tak melarang orang lain memfotokopi buku terbitannya. "Yang penting sumbernya ditulis," katanya.
Soal pentingnya copyright juga dipahami benar oleh penerbit LKiS, Yogyakarta. Menurut Akhmad Fikri, Direktur LKiS, bila dihitung, harga hak cipta tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan ongkos produksi untuk mencetak buku. Misalnya harga copyright berkisar Rp 2 juta. Menurut Akhmad, ongkos copyright sebesar itu relatif tak besar karena hanya 10%-20% dari total biaya produksi. Jadi, tak ada salahnya penerbit membeli hak cipta atas buku luar terbaru yang memang laris.
Majalah Gatra, Edisi 31 / XI 18 Juni 2005