Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Satu Judul Buku Bisa Diterbitkan Beberapa Penerbit

Selasa sore pekan lalu, Ahmad Azis berkunjung ke toko buku di Jalan Gejayan, Yogyakarta. Di suatu sudut toko itu, matanya teroleh pada buku Covering Islam, karya Edward W. Said. Soalnya, tiga pekan sebelumnya, Ahmad membeli buku dengan judul dan penulis yang sama, dengan harga Rp 37.500.

Ahmad, 23 tahun, mahasiswa perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu, lalu mengamati dengan saksama. Ternyata, meski judul dan penulisnya sama, eh... penerbit dan formatnya beda. Buku yang dibeli Ahmad diterbitkan Jendela, sedangkan buku yang dilihatnya di toko buku itu terbitan Ikon Teralitera. Formatnya lebih kecil, dijual dengan harga Rp 30.000. Baik Jendela maupun Ikon adalah penerbit yang berdomisili di Yogyakarta. "Kok, bisa begini?" Ahmad bingung.

Covering Islam karya Edward W. Said ini untuk pertama kalinya diterbitkan pada 1981 oleh Pantheon Books, New York, Amerika Serikat. Dan yang terjadi pada Covering Islam hanyalah satu di antara beberapa kasus. Sebelumnya, karya-karya Kahlil Gibran dan Imam Ghazali juga diterbitkan banyak penerbit --yang sama-sama tak memegang hak cipta!

"Kami memang belum punya copyright-nya," kata Anas Syahrul Alimi, Direktur Jendela. Itu sebabnya, Anas tak keberatan kalau pihak Ikon juga menerbitkan buku yang sama. "Yang menentukan di pasaran adalah kualitas bukunya," kata Anas, yang mengaku mencetak Covering Islam sebanyak 2.000 eksemplar. "Buku ini cukup laris di pasaran," Anas menambahkan.

Lain lagi alasan Ady Amar, Direktur Ikon Teralitera. "Biasanya, kalau sudah lebih dari 20 tahun dari penerbitan pertama, buku itu sudah menjadi public domain," kata Ady. Karena itu, Ady punya anggapan, buku Covering Islam tak perlu mendapat copyright, baik dari penulis maupun penerbitnya.

Buldanul Khuri, Direktur Penerbit Bentang, Yogyakarta, berpendapat bahwa untuk penerbitan buku, negara kita belum memiliki peraturan mengenai copyright. Kalau hukum internasional menghendaki penghormatan terhadap hak cipta, menurut Buldan, mestinya negaralah yang membeli hak cipta tersebut.

Kalau pemerintah tak mau membelinya, masih kata Buldan, biar saja para penerbit mencetak buku-buku terjemahan tersebut. "Tak perlu terlalu diatur-atur," katanya. "Yang penting, masyarakat bisa mendapat buku-buku yang bermutu."

Kisah tentang penerbitan ganda memang jamak terjadi di republik ini. Dan umumya, buku-buku yang "ditembak" adalah buku yang cukup laku, atau yang penulisnya terkenal. Menurut Amar Faisal, Manajer Promosi dan Komunkiasi Penerbit Mizan, Bandung, Jawa Barat, sedikitnya delapan buku yang diterbitkan grup Mizan juga diterbitkan penerbit lain. "Padahal, kami yang mendapat copyright-nya," kata Amar.

"Bahkan, ada yang masih dalam proses penerjemahan sudah diterbitkan oleh penerbit lain," tutur Amar. Tapi Mizan, menurut Amar, tak hendak membawa kasus itu ke pengadilan. "Ibarat kehilangan sapi, malah kehilangan rumah," Amar memberi ilustrasi. Maksudnya, kalau kasus-kasus tersebut dibawa ke pengadilan, hanya akan menguras dana.

Tapi, bukan berarti Mizan pasrah belaka. Ada dua langkah yang ditempuh. Pertama, bekerja sama dengan toko-toko buku, agar tidak menjual buku-buku sejenis yang copyright-nya dipegang Mizan. Kedua, bila kualitas buku dan terjemahannya bagus, dilakukan kerjasama.

Pendekatan kedua itu, antara lain, terjadi pada kasus buku Karen Armstrong, Battle for God, tahun lalu. Waktu itu, Mizan sedang menerjemahkannya, tapi karya Armstrong itu sudah beredar dengan judul Berperang Demi Tuhan, yang diterbitkan Serambi, Jakarta. "Akhirnya kami ambil jalan tengah, buku itu menjadi terbitan bersama," tutur Amar.

Bagaimanapun, tentu ada pihak yang dirugikan oleh penerbitan ganda ini. Bisa pengarangnya, bisa pula penerbit yang memperoleh copyright dari penulis atau penerbit asal. Padahal, mengurus copyright untuk satu judul buku memerlukan dana sekitar Rp 3 juta sampai Rp 10 juta.

Bisa jadi, langkah yang ditempuh Mizan cukup ampuh. Soalnya, menurut Arselan Harahap, Ketua Ikatan Penerbit Indonesia Pusat, sejauh ini belum ada kasus pelanggaran copyright yang melibatkan anggotanya sampai ke meja hijau. "Kalaupun ada, sengketa klaim itu masih dapat diselesaikan secara intern," kata Arselan kepada Feri Sanjaya dari Gatra.

Bentuknya, masih kata Arselan, berupa penarikan buku oleh penerbit yang tak punya copyright. Rupanya, di arena perbukuan, jalan damai masih ampuh dibandingkan dengan jalan ngotot-ngototan. Syukurlah.

Herry Mohammad dan Sawariyanto
Majalah Gatra, 44 / VIII 21 September 2002