Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Sukses Buku LKS Kunti

Murid sekolah dasar (SD) tentu tak asing dengan Kunti. Buku bersosok majalah untuk murid kelas satu sampai enam SD itu, sejak akhir 1980-an lalu, telah akrab dengan mereka. Boleh dibilang, inilah lembar kerja yang memacu keaktifan murid dalam menerima pelajaran. Buku setebal 32 halaman yang terbit sebulan sekali itu berisikan soal-soal dan petunjuk bereksperimen berbagai pelajaran SD, yang tentunya sudah disesuaikan dengan kurikulum terbaru. Setiap bulan buku itu dicetak tak kurang dari satu juta eksemplar dan telah menerobos murid SD di seluruh pelosok Tanah Air.

Sosok di balik kesuksesan Kunti itu adalah Agung Sasongko. Pria berusia 49 tahun ini bukan seorang guru atau pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dia bukan pula seorang ahli pendidikan yang berpengalaman. Lelaki kelahiran Wonogiri, Jawa Tengah, ini adalah Direktur Utama PT. Pabelan, Solo, penerbit sekaligus penggagas munculnya buku Tekun dan Teliti, yang disingkat Kunti.

Ide Sasongko menerbitkan Kunti muncul dari keprihatinannya akan kondisi dan tugas guru SD, yang sarat beban, gaji kecil, dan sedikit kesempatan. Menurut pria yang mengaku akrab dengan guru ini, kondisi itu mengakibatkan banyak guru harus melakukan kerja sambilan. Sehingga mereka tak cukup waktu untuk membuat soal-soal bermutu yang dapat merangsang aktivitas siswa. "Kunti dibuat untuk memperingan tugas guru. Mereka tak perlu lagi bekerja keras untuk membuat soal-soal bermutu. Kalau guru-guru harus rapat, murid-murid tak perlu dipulangkan. Berikan saja Kunti," ujar Sasongko berpromosi.

Ia memang bukan orang baru di bisnis percetakan. Sejak 1960-an Sasongko telah menerbitkan buku-buku sastra Jawa karya Anjar Any, Sakdani, Widi Widayat, dan Sudarmo KD. Hasilnya lumayan, karena saat itu cerpen dan novel berbahasa Jawa cukup banyak penggemar. Pada 1971, bersama Arswendo Atmowiloto, Anjar, dan Sakdani, Sasongko menerbitkan Dharmo Nyoto. Kegiatan koran mingguan berbahasa Jawa ini dipusatkan di rumahnya yang sederhana di Kampung Makam Bergolo, Solo.

Baru pada 1983, berbekal modal Rp 20 juta, Sasongko nekat mendirikan PT Pabelan. Dari kantor sekaligus pabriknya yang terletak di Jalan Raya Pajang-Kartosuro, Surakarta, itulah hoki Sasongko menanjak. Hingga Oktober 1996 ini perusahaannya telah menerbitkan 1.449 judul buku pelajaran untuk SD hingga sekolah menengah umum (SMU). Aset usahanya melompat hingga Rp 100 milyar, dengan 53 kantor cabang termasuk 1.600 karyawan yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia. "Dibanding dengan bisnis lainnya, menggarap buku sekolah aturannya sudah jelas," demikian alasannya menggeluti buku pelajaran.

Sukses Sasongko, diakuinya, tak lepas dari keterkaitannya dengan orang-orang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. "Kami bekerja sama, dalam arti yang positif, sehingga mengetahui kebijaksanaan di bidang pendidikan," kata Ketua Ikatan Penerbit Indonesia Cabang Jawa Tengah ini. Karena dekat dengan kalangan Departemen P dan K itulah Sasongko bisa lebih cepat mengetahui rencana kerja departemen itu. Dari situlah, jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Saraswati, Solo, ini menangkap kesempatan dan mengantongi proyek.

Proyek yang sudah di tangan itu bukannya gampang dikerjakan. Proses penerbitan sebuah buku tidak dapat dilakukan serampangan. Aturan dan kriterianya ketat. Untunglah, Departemen P dan K juga memberikan pembinaan. Sasongko menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan sekadar pada menjual buku sebanyak-banyaknya, melainkan juga mendidik. Kriteria itulah yang juga diterapkan pada Kunti. Tak heran jika Kunti tercatat melibatkan 33 guru untuk penyusunan naskahnya. Gajinya lumayan. Seorang editor bergaji sekitar Rp 300 ribu sampai dengan Rp 750 ribu per bulan. Sementara pengarangnya dibayar dengan sistem royalti.

Namun, dengan semua kesulitan itu pun akhirnya jalan juga. Kunti yang dijual dengan harga langganan Rp 10.000 per tahun ini mampu menerobos murid SD di seluruh pelosok Indonesia dengan menggunakan 1.000 tenaga penjualan yang aktif datang ke sekolah. Untuk pemasaran jarak dekat, perusahaannya melibatkan 65 buah mobil boks dan 55 sepeda motor untuk para salesman. Dan dengan dukungan manajemen yang baik, penjualan produk perusahaannya makin lancar.

Cuma, sudah dari sono-nya Sasongko tak mudah puas. Selain berusaha dalam bidang penerbitan, dia juga mempunyai usaha di bidang real estate, pakaian jadi, rotan, dan mesin pemecah batu. Semua kegiatan ini melengkapi kesuksesan dalam bidang cetak-mencetak buku. Alasannya, investasi memang seharusnya beragam untuk mengurangi risiko.

Dan semua kesuksesan serta jerih payahnya kini dinikmati sepenuhnya oleh bapak empat anak itu. Rumahnya berlantai dua dengan gaya arsitektur campuran Jawa, Cina, dan Eropa, cukup mewah dan bergengsi buat istirahat ataupun untuk mengundang mitra bisnisnya. Ketika memulai usahanya dulu Sasongko harus mengayuh sepeda untuk menghubungi para pengarang, kini setelah sukses ke mana-mana ia mengendarai sedan Mercedez E-320 warna hitam keluaran terbaru. Di saat-saat istirahat, Sasongko bersama istrinya menikmati hobinya berenang di rumahnya. Seorang anaknya pun kini telah menempuh pendidikan bisnis di Australia. Sasongko mengaku bahwa semuanya itu diraih lewat perjalanan panjang.

Kukuh Karsadi dan Kastoyo Ramelan
Majalah Gatra, 4 November 1996