Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kahlil Gibran Mengangkat Nasib Penerbit Bentang Budaya

Dunia penerbitan buku Indonesia boleh melenguh karena naiknya biaya komponen cetak. Masyarakat pembaca juga tak kalah gigih menggugat mahalnya harga kitab. Namun karya-karya Kahlil Gibran, pujangga Lebanon yang wafat di New York, Amerika Serikat, 10 April 1931, melenggang riang di tengah panorama kepustakaan Nusantara.

Coba: empat bulan terakhir ini saja tak kurang dari empat karya Gibran meluncur. Antara lain, Orang-Orang Tercinta, merupakan cetakan pertama. Lalu, Air Mata dan Senyuman, dicetak pertama kali pada Desember 1998, kemudian Februari dan Maret 1999 dicetak ulang kedua dan ketiga.

"Saya tak menyangka buku-buku Kahlil Gibran laku keras belakangan ini," kata Agus Susilo, 39 tahun, pengelola Toko Buku Gramedia di kawasan perbelanjaan Blok M, Jakarta Selatan. Agus menyebut buku-buku karya Gibran cukup menjanjikan. "Jauh berbeda dengan buku-buku sejenis yang lain," katanya kepada Aditya Wicaksono dari Gatra. Dan tingkat kelarisan itu meliputi semua judul.

Dalam dua pekan terakhir ini saja, Agus menambahkan, lebih dari 10 judul buku Gibran laris di tokonya. Hal yang sama terjadi di Toko Buku Gramedia, Jalan Jenderal Sudirman, Yogyakarta. "Paling tidak, dalam sepekan kami bisa menjual 50 eksemplar buku Gibran," kata Anung Subagio, penyelia di toko buku itu, kepada Joko Syahban dari Gatra.

Gibran, yang lahir di Bsharri, Lebanon, 6 Januari 1883, memang bukan nama baru di dunia bacaan Indonesia. Sejak 1950-an, atau yang disebut "zaman Balai Pustaka", karya-karya Gibran, terutama puisi dan renungan, sudah menjadi santapan para intelektual kita. Karya-karya itu umumnya mencapai masyarakat pembaca melalui terjemahan, paling banyak dari bahasa Inggris.

Memasuki dasawarsa 1990-an, Pustaka Jaya, Jakarta, termasuk yang giat menerbitkan karya Gibran. Paling tidak, lima judul terbit dalam waktu berdekatan: Suara Penyair (1988), Surat-Surat Cinta Kepada May Ziadah (1988), Lagu Gelombang (1989), dan Sang Pralambang (1989). Hanya Lagu Gelombang yang dicetak ulang empat kali. Yang lain lima kali. Kebetulan, Pustaka Jaya punya penerjemah bagus untuk karya-karya Gibran, yaitu Sugiarta Sriwibawa dan Sri Kusdyantinah.

Yang merasa paling terangkat nasibnya oleh karya-karya Gibran adalah Bentang Budaya, Yogyakarta. Penerbit ini berdiri pada 1992, pernah "mati suri" pada 1997 hingga April 1998. Pendiri dan direkturnya, Buldanul Khuri, sempat pindah usaha, berjualan kaktus di Bundaran Bulaksumur, Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogya. Sebelumnya, Bentang pernah menerbitkan karya Seno Gumira Adjidarma, Emha Ainun Nadjib, Kuntowijoyo, Y.B. Mangunwijaya, Yudhistira ANM Massardi, Amien Rais, Ahmad Sobari, Garin Nugroho, dan Afrizal Malna.

Kebetulan, November 1997, menjelang mandek itu, Bentang menerbitkan karya Gibran, Cinta, Keindahan, Kesunyian. Pada awal 1998, Buldan yang ayah dua anak itu iseng ke toko buku. Cinta ternyata habis. Buldan, kelahiran Kota Gede, Yogya, 34 tahun lalu, melihat peluang. Ia segera menerbitkan cetakan kedua. Hingga Maret tahun ini, Cinta sudah dicetak enam kali, dengan oplah total 16.000 eksemplar.

Sampai saat ini, Bentang paling tidak sudah menerbitkan delapan karya Gibran. Di antaranya Kematian Sebuah Bangsa, Suara Sang Guru, Air Mata dan Senyuman, Orang-orang Tercinta, Yesus Sang Anak Manusia, Renungan-Renungan Spiritual, dan Dewi Khayalan. Dengan harga rata-rata Rp 15.000 per eksemplar, semua sudah cetak ulang. "Target kami paling tidak 20 judul," kata Buldan, lulusan Desain Komunikasi Visual, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Apa yang membuat pamor karya Gibran berkibar lagi? "Barangkali orang sudah bosan menghadapi persoalan politik yang simpang siur," kata Buldan. Dalam situasi itu, kalangan menengah, yang masih punya daya beli lumayan bagus, berpaling pada karya-karya literer yang teduh dan menawarkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Nah, untuk jenis itu, Gibran memang "pawang"-nya.

Di dalam karya-karya Gibran, kita seperti hanyut melalui bahasa yang hening, renungan yang jernih, dan lambang-lambang yang multimakna. Simak, misalnya, "Sanggarku adalah kuilku, museumku, sorgaku, dan nerakaku -bagaikan hutan, di dalamnya hidup ini merindukan hidup, dan laksana gurun- aku berdiri di tengah-tengah gurun, yang tampak hanya lautan pasir dan samudra udara" (Surat-Surat Cinta Kepada May Ziadah, Pustaka Jaya, 1988-1997).

Gibran menuangkan ke dalam karya-karyanya renungan tentang cinta, kematian, alam, dan kerinduan pada tanah air. Kerinduan ini tak pernah pupus sampai akhir hayatnya, sehingga jenazahnya harus diterbangkan dari Amerika untuk dimakamkan di Lebanon, tanah tumpah darahnya. Renungan-renungan itulah, agaknya, yang tetap relevan dalam suasana masa kini yang penuh kebingungan.

Lian Tanjung
Majalah Gatra 19 April 1999