Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Biografi Karen Armstrong Penulis "Sejarah Tuhan"

Banyak intelektual dari kalangan Islam, Kristen, ataupun Yahudi mengakui kehebatan perempuan penulis setengah baya ini. Seorang Yahudi, Rabi Yulia Neuberger, misalnya, tak segan-segan melontarkan pujian setelah membaca buku The History of God. "Buku yang sangat menantang secara intelektual. Cara yang memesona dalam mendekati subjeknya," tulis dia.

Begitupun pengarang buku Jesus: A Life, tak sungkan-sungkan mengakui kejeniusan Karen Armstrong setelah membaca Holy War: The Crusades and Their Impact on Today's World. Dan, senada dengan itu, M.M. Ali, guru besar di Universitas Columbia, mengakui keberhasilan Karen memberikan gambaran dan pemahaman yang benar tentang Islam dan kenabian Muhammad kepada dunia Barat.

Di samping menulis buku, perempuan ini pun tercatat sebagai penulis artikel untuk berbagai media cetak di Inggris. Tuangan pemikirannya kerap mengisi kolom-kolom surat kabar The Sunday Times, The New York Times, The New Statesman, The Observer, dan The Daily Telegraph.

Di tahun 1981, ia menulis sebuah buku yang cukup menggegerkan: Through the Narrow Gate. Buku itu mengisahkan sebagian besar kehidupannya sebagai biarawati, menguak seluruh pernik kehidupan dalam biara Katolik yang ia jalani selama tujuh tahun, sampai keputusannya berhenti menjadi biarawati. Menggegerkan, karena buku itu justru ditulis setelah ia memutuskan keluar dari gereja Katolik dan menjadi seorang monoteis bebas (freelance monotheist). Ia memutuskan tak terikat lagi pada satu agama apa pun, tetapi tetap meyakini keesaan Sang Pencipta.

Kenang-kenangan di Masa Kecil
Lahir di kota kecil Wildmoor, sekitar 15 kilometer dari Birmingham, Inggris, pada 14 November 1945, Karen Armstrong dibesarkan oleh ayah-ibunya yang sama-sama penganut Katolik-Roma. Walau kedua orangtuanya bukan termasuk penganut agama yang saleh, ia dibesarkan dalam tradisi Katolik-Roma yang kemudian begitu merasuki jiwanya.

Masa kecil di Wildmoor merupakan saat-saat yang indah dan membahagiakan. Tiada anak kecil seusia dia di kota yang kini telah punah tergilas oleh pembangunan dan perluasan kota Birmingam itu. Perhatian sebagian orang dewasa di sana banyak tercurah kepada dirinya. Ayahnya, yang sehari-hari sibuk sebagai pedagang besi bekas di Birmingham, selalu menyisihkan waktu mengajaknya berjalan-jalan ke taman sepulang dari gereja pada Minggu pagi.

Perhatian ayah-ibunya sepenuhnya tercurah pada dirinya. Setiap hari, dongeng anak-anak yang dibacakan ibunya dari berbagai buku --kebanyakan fabel-- mengisi waktunya menjelang tidur siang. Malam hari, giliran ayahnya yang membacakan cerita anak-anak. Mendengar beragam cerita fabel yang menerbitkan fantasi anak-anak memang sebuah pengantar tidur yang ia rasakan sangat menyenangkan. Kebiasaan ini belakangan menumbuhkan kecintaannya pada buku dan kesenangannya membaca.

Masa-masa indah di tengah keluarga itu dirasakannya berakhir saat mulai masuk sekolah di Birmingham. Sebaliknya, pada tahun-tahun awal, sekolah Katolik khusus putri itu telah memberi dia pengenalan agama yang tak ia peroleh dari ayah-ibunya. Kedua orangtuanya itu hanyalah penganut Katolik sedari lahir yang tak pernah betah berlama-lama di dalam gereja. Irama kalender gereja dengan beragam kegiatan di sekolah berhasil membentuk pandangan hidup keagamaannya di usia muda.

Semasa sekolah dasar, sosok Suster Katherine yang ramah dan tak pernah tampak merasa susah memberi pengaruh mendalam pada dirinya. Ia pun melihat fakta bahwa ayah-ibunya tak berkutik setiap kali berhadapan dengan ucapan lembut tapi tegas perempuan berdarah Irlandia itu. Dan, berkat nasihat kepala sekolah khusus putri di Birmingham itu pula kelak ayah-ibunya dengan berat hati menyetujui keputusannya menjadi biarawati.

Masa Remaja yang Tersisih
Karen Armstrong mengakui, masa-masa remaja yang ia lalui tidaklah seperti layaknya remaja putri lainnya. Ia lebih mencintai buku dibandingkan dengan hubungan-hubungan pertemanan, apalagi hubungan khusus dengan lawan jenis. Ia tidak mudah bergaul seperti adiknya, Lindsey, yang terpaut tiga tahun usianya. Ia hanya punya seorang sahabat bernama Suzie, yang tabiatnya justru bertentangan dengannya. Suzie sangat luwes bergaul dengan anak laki-laki, sementara ia untuk sekadar bercakap-cakap saja sudah sulit rasanya.

Bukan hanya itu. Secara fisik ia pun merasa tak menarik. Berbeda dengan Lindsey ataupun Suzie, perawakannya kecil dan tak berisi. Wajahnya pun dihiasi oleh gigi-gigi yang ekstra besar. "Yang tampak menyolok memang tubuhku tidak pas dengan kepalaku. Aku rasa, aku tidak pernah terlihat sebagai ciptaan yang sempurna, bagian demi bagian," tulis dia dalam Through the Narrow Gate.

Memburuknya persahabatan dengan Suzie membawa kenangan tersendiri pada dirinya. Suzie, yang menarik dan pandai bergaul, telah menodai persahabatan mereka. Pada suatu hari, sang sahabat tertangkap basah sedang bersebadan dengan Anthony, sepupu Karen, di ruang keluarga. Ia merasa jijik menyaksikan adegan itu. Seks pranikah di matanya adalah sebuah dosa besar. Walau tak melahirkan pertengkaran, hubungan mereka pun mendingin dan akhirnya putus sama sekali.

Peristiwa itu membekas cukup dalam di hatinya, bahwa bukan pemenuhan hasrat seks seperti itu yang ia inginkan dan akan ia kejar. Lebih-lebih, ia merasa, tak akan ada laki-laki yang mau berbuat seperti itu dengannya. Peristiwa itu pun membuat ibunya teramat berang, sampai akhirnya ia harus memutuskan hubungan dengan Suzie yang dianggap dapat membawa pengaruh buruk kepadanya. Setelah putus hubungannya dengan Suzie, ia merasa kian tersisih dari pergaulan sesama remaja.

Keputusan yang Mengagetkan
Suatu hari di tahun 1961, setahun sebelum ia menamatkan sekolah menengah, muncul dorongan-dorongan yang kuat dari dalam dirinya. Selepas sekolah ini, ia harus masuk biara dan menjadi biarawati. Dorongan itu makin kuat saja, apalagi kala ia ingat janjinya dahulu saat ia masih berusia 12 tahun. Ia memang pernah berjanji kepada Tuhan, kelak ia akan menjadi biarawati.

Janji yang pernah ia ucapkan itu memang bukan tanpa latar belakang. Waktu itu, ia merasa sangat sedih karena Lindsey jatuh sakit. Suhu tubuhnya tinggi dan tak turun-turun. Menurut dokter, ia terkena difteri cukup parah. Penyakit itu sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa adiknya itu. Ia merasa sangat berdosa karena ia sering bertengkar dengan adik yang diam-diam sangat disayanginya itu. Ia pun berdoa di kamarnya, memohon kepada Tuhan untuk kesembuhanan Lindsey.

"Malam itu di atas pembaringan," tulis dia dalam Through the Narrow Gate, "aku merasa tidak dapat memejamkan mata. 'Ya, Tuhan,' aku berdoa sebelum tidur, 'jika Kau sembuhkan Lindsey, aku janji akan selalu bersikap baik kepadanya. Ya, Tuhan, jika Lindsey sembuh, kurasa aku ingin menjadi seorang biarawati.''

Janji itu, berikut sejumlah peristiwa lainnya sampai ia remaja, terus menyesaki benaknya. Persahabatannya yang hancur dengan Suzie, juga rontoknya hubungan persahabatan ayahnya, membawa dia pada satu kesimpulan: hanya persahabatan dengan Tuhan yang tak akan pernah berakhir. Begitu pula keputusan seorang gurunya, Bu Jackson yang baik hati itu, menjadi biarawati sungguh menguatkan keinginannya menjadi biarawati seperti Suster Katherine. Tambahan lagi, bisikan untuk mengabdikan diri bagi Tuhan semakin kuat terdengar di telinganya saat berada di kapel sekolah.

Namun, di lain pihak, ia harus menghadapi ayah-ibunya yang jelas-jelas akan menentang pilihannya itu. Orangtua mana yang mau anaknya menjadi biarawati, apalagi biarawati Ordo yang sangat keras seperti yang menaungi Suster Katherine. Ayah dan ibunya jauh-jauh hari sudah menyatakan keinginan mereka agar putri tertua mereka yang cerdas dan kutu buku ini masuk ke Universitas Oxford. Apalagi, dalam keluarga besar mereka belum satu pun yang tercatat masuk universitas terkemuka itu.

Berhari-hari, kala itu, kecemasan tak menentu memenuhi benaknya. Ia takut sekali menyampaikan keinginannya kepada ayah-ibunya. Ia khawatir mereka kecewa dan gusar bila hal itu ia sampaikan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyampaikan niatnya itu kepada Suster Katherine. Kepada biarawati inilah ia dapat mencurahkan perasaan dan semua hal yang mengganggu pikirannya. Suster Katherine orang yang ia anggap tepat untuk mencari jalan keluar terbaik.

Tanpa ia duga, Suster Katherine pun ternyata tak dapat menyembunyikan rasa kagetnya yang ditutupi dengan senyum manis. Biarawati yang ia kagumi itu membeberkan dengan panjang lebar berbagai risiko menjadi seorang biarawati. Bahwa ia harus melupakan ikatan-ikatan duniawi, bahkan hubungan keluarga sekalipun. Ia harus meninggalkan berbagai kesenangan duniawi. Ia merasa siap menjalani semua itu.

Perbincangan panjang lebar dengan Suster Katherine melahirkan keberaniannya menyampaikan keinginan itu kepada ayah-ibunya. Seperti telah diduga, keduanya terkejut. Mereka tetap berkeras agar ia melanjutkan studi ke Oxford. Mereka baru luluh setelah Suster Katherine meyakinkan mereka. Suster itu mengatakan, Karena pasti tidak tahan menjalani masa pendidikan biarawati kalau memang itu bukan panggilan Tuhan. "Biarlah waktu yang akan mengujinya." Kalimat itulah yang meluluhkan hati kedua orangtuanya.

Dalam Dinding Keterbatasan Biara
September 1962, kala usianya belum genap 17 tahun, Karen menjejakkan kaki di biara di Tripton, tempat pendidikan calon biarawati dari turunan Ordo Caritas di Inggris. Di sana ia bersama sembilan perempuan lainnya mulai menjalani masa-masa sebagai postulan --calon biarawati yang belum masuk dalam pendidikan resmi-- selama sembilan bulan. Di sana pula ia menjalani masa-masa sebagai novis --calon biarawati yang menjalani pendidikan resmi-- selama dua tahun.

Karen mengungkapkan dengan lugas, hari-hari pertama ia sebagai postulan sungguh di luar dugaan sama sekali. Betapa aturan yang sangat ketat sampai hal-hal yang kecil mengungkung dirinya dalam bangunan bergaya Abad Pertengahan itu. Mulai dari cara sampai dengan siapa saja boleh bicara diatur dengan ketat. Tidak boleh menitikkan air mata. Berjalan pun mempunyai aturannya sendiri. Demikian pula ada ''pemenjaraan mata'' yang berarti ia harus membatasi penglihatan. Semua harus menjadi kebiasaan yang dapat menjaga kehormatan agar bisa menjadi seorang novis.

Yang paling terasa menyesakkan baginya adalah larangan membaca apa pun dan aturan makan. Ia dijauhkan sama sekali dari kegemaran membaca buku, selain Kitab Injil. Ia tidak boleh pula menolak apa pun makanan yang disediakan biara. Tidak ada kata tidak suka ini-itu dalam kamus biara. Padahal, ternyata, ia sering harus menelan keju makaroni --makanan yang dapat membuat ia muntah. Sebelumnya, ia tak pernah membayangkan soal makanan ini bisa menjadi persoalan besar. Tapi, apa boleh buat, keputusan telah diambil, ia pun harus mampu melalui semua rintangan menuju cita-cita menjadi biarawati. Ketaatan pada semua aturan dilakukan atas nama kehidupan religius.

Sembilan bulan persis, ia lolos menjalani masa sebagai postulan. Mulai Juni 1963, ia memasuki gerbang sebagai novis yang ternyata menerapkan aturan yang jauh lebih keras lagi. Sejurus dengan itu, ia mendapat nama baru pilihannya sendiri: Suster Martha. Pemenjaraan mata masih berlangsung, malah lebih ketat. Berbicara pun kian dibatasi. Di masa-masa ini, tak bisa kurang dari lima jam dalam sehari waktu yang dihabiskan untuk berdoa. Hanya untuk berdoa.

Dalam soal berbicara, ia sempat mendapat pengalaman sangat tidak mengenakkan. Suatu ketika, ayah-ibunya bersama Lindsey datang menjenguk. Ia hanya bisa bicara sepatah-sepatah. Ia merasa sangat rikuh. Hatinya ingn berbicara banyak, tapi peraturan biara melarangnya bicara dengan orang-orang sekuler --sebutan untuk kalangan luar biara. Ia sungguh tak sampai hati menyebut orang-orang yang dikasihinya ini dengan kata sekuler. Walhasil, pertemuan keluarga itu hanyalah melahirkan suasana serba canggung.

Selama menjadi novis, tidak hanya soal makanan yang menyesakkan. Karen harus pula terbiasa dengan pekerjaan-pekerjaan dapur karena ia mendapat giliran melayani makan penghuni biara pada setiap hari Rabu. Ia harus pula terbiasa menjahit --sesuatu yang tidak pernah ia lakukan di rumah. Yang cukup menggembirakan, selama menjadi novis, ia diperkenankan membaca buku, walau itu sebatas sejarah gereja, misalnya. Ia juga mulai diperbolehkan menuliskan pikiran-pikirannya.

Selama menjalani masa sebagai postulan dan novis, satu demi satu saudari --demikian sebutan bagi sesama mereka-- berguguran. Ada yang memang tidak tahan dengan ketatnya aturan latihan calon biarawati, ada pula yang terpaksa kembali ke pangkuan orangtuanya yang jatuh sakit. Karen adalah seorang dari empat novis yang ditahbiskan, yang artinya sudah boleh mengenakan pakaian biarawati dan resmi menjadi mempelai Kristus, pada 25 Juni 1965.

Masuk Universitas Oxford
Selepas menjalani masa pelatihan sebagai novis, ia masuk ke jenjang yang lebih tinggi lagi sebagai biarawati pelajar, Skolastikat, di London. Di sini, selama dua tahun ia ditempa kembali dalam pelatihan rohani sambil belajar secara profesional menjalankan pekerjaan-pekerjaan Ordo. Ia harus sudah siap menerima apa pun tugas yang dibebankan Ordo kepadanya. Pintu untuk dunia luar pun mulai terbuka untuk dia, setidaknya ketika mengajar di sekolah yang dikelola Ordo.

Namun, ada kejutan pada hari-hari pertama ia berada di Skolastikat. Ia kini tidak harus menelan keju makaroni yang dihidangkan. Ia bisa memilih makanan lainnya. Yang lebih mengejutkan, Suster Bianca, pengawas Skolastikat, malah menawarinya menempuh pendidikan di Universitas Oxford, di jurusan sastra Inggris. Tawaran yang tentu saja tak akan ia tolak, apalagi di jurusan yang memang sangat menarik minatnya.

Ia mulai mendapat kebebasan mempersiapkan diri masuk Oxford. Ia diperkenankan menulis esai. Tapi sejurus dengan itu, ia mulai merasakan pikirannya bekerja dengan dua cara. Dalam sastra, ia mulai latihan berpikir dan mengikuti ke mana saja pikirannya mengalir. Jadi, bila dibiarkan terbang ke mana saja, pikirannya pun akan membawa dia menjauh dari Tuhan. Di pihak lain, pikirannya pun harus dikurung dalam ketaatan yang benar, tanpa reserve, kepada Allah.

Tiga tahun menjalani pendidikan di Oxford adalah masa-masanya ia mengalami dunia yang terus mendua. Pikiran kritisnya mulai muncul kembali setelah sekian tahun terpenjara. Dengan pikiran kritis itu ia bahkan kerap berselisih pendapat dengan kepala biara. Di Oxford berkali-kali ia mendapat pujian atas karya-karya tulisnya yang didiskusikan bersama mahasiswa lain, yang menimbulkan rasa senang dan bangga sehingga membuat wajahnya bersemu. Padahal, rasa senang dan kebanggaan tak layak diperlihatkan oleh seorang biarawati pelajar.

Dunia yang mendua ini, sadar atau tidak, sangat mempengaruhi jiwanya. Pendidikan di lembaga pendidikan umum itu membuka mata dan kesadaran baru pada dirinya. Di masa-masa ini, ia mengalami semacam krisis kejiwaan. Ia mulai mempertanyakan makna di balik keimanan yang diterimanya sejak kecil. Ia merasa, keyakinan yang tertanam sejak masa kecil itu lebih merupakan sebuah kepercayaan yang menakutkan. "Aku mulai menyadari, aku tak sanggup bertahan memenuhi tuntutan kehidupan biarawati yang dulu kupilih," tulisnya.

Apalagi, sebuah pengalaman pahit pernah menimpanya ketika berada dalam naungan biara Skolastikat. Seorang pastor tua berusaha memeluk dan menciumnya dengan penuh berahi. Seks yang sudah lama dimusuhinya kian membuat dia jijik, apalagi itu dilakukan seorang pastor. Karena memutuskan meninggalkan biara dan melepas atribut kebiarawatian. Ia lulus sebagai sarjana muda pada 1969.

Menjadi Monoteis Bebas
Bermodal ijazah sarjana muda dari Oxford, ia pernah menjadi asisten dosen di Universitas London, khusus untuk mata kuliah sastra abad ke-19 dan ke-20. Sambil mengajar, ia pun melanjutkan pendidikan untuk meraih doktor. Gagal meraih gelar doktor, ia otomatis tak dapat mengajar di universitas. Kemudian, ia bekerja sebagai kepala sekolah di sebuah kolese khusus perempuan di London. Di kolese ini ia mengajar pelajaran kekristenan.

Di tahun 1980-an, ia sempat juga mengajar mata pelajaran kajian tentang Yahudi di Kolese Leo Baeck di London itu. Saat mengajar di kolese itu pulalah ia meraih kesempatan berkenalan dan memperdalam ihwal Yahudi. Tapi, pada 1982, ia angkat kaki dari lembaga pendidikan itu untuk kemudian mulai bekerja membuat film dokumenter untuk stasiun televisi.

Bekerja di stasiun televisi sebagai penyiar dan pembuat film dokumenter ternyata menjadi pemicu perubahan garis kehidupannya. Pemahaman ketuhanan dan keagamaannya pun dalam kurun masa ini ikut berubah drastis. Krisis kejiwaan yang ia alami bergeser ke arah kepercayaan monoteistik yang tak terikat pada satu agama langit tertentu. Karen kini menjadi seorang monoteis bebas, freelance monotheist, meminjam istilah yang ia gunakan.

Pada 1982, untuk pertama kalinya ia berkunjung ke Yerusalem. Kunjungan singkat itu cukup membekas di benaknya karena bertepatan dengan peristiwa pembantaian warga Palestina di kamp pengungsi Sabra-Shatila. Beruntung, pada 1984, ia berkesempatan berangkat kembali ke Yerusalem untuk bermukim cukup lama. Kala itu, stasiun televisi Channel 4 London meminta dia membuat enam serial dokumenter bertema kehidupan dan karya-karya Santo Paulus.

Penugasan ini membuat dia harus berkeliling ke seluruh lokasi yang ada kaitannya dengan Santo Paulus di Yerusalem. Dengan sendirinya, dalam waktu yang cukup lama, ia jadi mengenal betul liku-liku kota suci tiga agama, Islam, Kristen, dan Yahudi, itu. Bersamaan dengan penugasan ini, di dalam dirinya pun timbul semangat menggebu untuk menulis. Ia merasa dapat kesempatan yang bagus untuk menimba sebanyak-banyaknya informasi tentang Islam dan Yahudi di Yerusalem.

Ia sempat numpang tinggal di rumah sebuah keluarga Yahudi. Saat itulah, Armstrong dapat merasakan denyut kehidupan keagamaan dan sikap orang Yahudi yang begitu membenci Islam. "Di Yerusalem inilah aku mendengar tuan rumah tempatku menginap begitu mencela orang-orang Arab dan agama Islam mereka. Ucapan Arab kotor menjadi ungkapan sehari-hari yang kudengar," katanya.

Sebaliknya, ia juga punya relasi dan sempat tinggal bersama sebuah keluarga muslim. Pergaulan dan keseharian bersama keluarga muslim sederhana ini menjadi kutub lain yang memperkaya pemahamannya tentang Islam. "Persinggahanku dalam keluarga Islam itu memberiku oleh-oleh kebenaran baru dan adanya sisi lain cerita tentang agama ini. Bahwa selama ini ada cerita dusta yang berkembang di Eropa, demikian pula di Amerika, ihwal Islam. Aku merasa cerita dusta itu harus diluruskan, ihwal Islam dan dunia Timur Tengah harus ditampilkan sebenar-benarnya," katanya.

Berlandaskan semangat itulah kemudian ia melahirkan karya-karya yang berkaitan dengan Islam, antara lain Muhammad: A Biography of the Prophet yang terbit pada 1992. Lebih jauh lagi, dengan modal sikapnya sebagai seorang freelance monotheist, Armstrong melahirkan banyak karya yang mencoba mendamaikan Islam-Kristen-Yahudi.

Khusus untuk dunia Islam, ia berusaha mengembangkan pengertian yang lebih baik kepada dunia Barat tentang ajaran Islam dan Nabi Muhammad. Terlebih soal gerakan fundamentalis Islam, ia mencuatkan pandangan yang sama sekali bertentangan dengan para pengamat Islam asal dunia Barat. Islam diyakininya sebagai sebuah agama universal yang tak membedakan antara Barat dan Timur. Sedangkan fundamentalisme dalam Islam, katanya, tumbuh justru sebagai respons terhadap berbagai ketegangan khas abad ke-20 yang muncul akibat ulah dunia Barat sendiri.

Di usianya yang kini sudah 58 tahun itu, Karen Armstrong masih terus berkarya. Artikel-artikelnya masih mengisi media-media terkemuka di Inggris. Ia berhasil memukau banyak orang dari ketiga agama langit --Yahudi, Kristen, dan Islam-- yang menjadi pusat perhatiannya bertahun-tahun.

Erwin Y. Salim
Majalah Gatra, 4 / X 13 Desember 2003