Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Keputusan Sesat Perkara Antasari Azhar

Judul: Keputusan Sesat Perkara Antasari Azhar
Penulis: Maqdir Ismail
Penerbit: Verbum Publishing, 2012
Tebal: 272 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Satu kasus dunia hukum dan peradilan Tanah Air yang mencuri perhatian publik, setidaknya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir tak bisa dilepaskan dari sosok Antasari Azhar.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini didakwa bersalah dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Saat kejadian tersebut, Antasari tercatat masih aktif berdinas di KPK.

Perkara Antasari kian rumit, kala elemen hukum dan peradilan saling tuduh. Kasus “Cicak vs Buaya” misalnya, membawa sejumlah nama perwira tinggi kepolisian terlibat dalam permainan kotor dalam penanganan kasus korupsi.

Apa yang menimpa pria kelahiran Pangkal Pjnang ini seakan membuka tabir karut marut hukum di Indonesia. Hukum di negara ini disesaki dengan rekayasa yang penuh kepentingan kelompok tertentu.

Tuduhan keterlibatan Antasari dalam pembunuhan Nasrudin, membuat dirinya harus mendekap di bui selama 18 tahun.

Vonis itu tidak menyurutkan perjuangan Antasari, keluarga besar, maupun pengacaranya. Sejak diketok palu bersalah, Antasari mencoba memperjuangkan nasibnya. Dia yakin benar dirinya tidak bersalah dalam proses hukum yang ditengarai penuh kecurangan.

Kisah inilah yang coba dirangkai dalam sebuah buku testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan Keadilan.

Berada di balik jeruji besi, tidak menyurutkan niat Antasari berbagi kisah cerita serta membuka tabir gelap kasus yang menimpa dirinya dan mungkin tidak pernah diketahui publik.

Buku ini terbagi dalam 28 bab yang sebagian besar berisi pandangan dan buah pikir Antasari terhadap kondisi hukum dan peradilan Indonesia.

Bagian awal buku ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assidhiqie mengantar pendapatnya mengenai kondisi hukum dan peradilan Tanah Air. Secara khusus, Jimly menilai kasus yang menimpa Antasari tidak bisa diterima dengan akal sehat.

Bahkan dalam paragraf awal, Jimly menyebutkan proses peradilan yang menimpa Antasari merupakan peradilan sesat.

Kasus Antasari bukanlah satu-satunya, masih banyak lagi proses hukum di Indonesia, baik yang melibatkan tokoh besar maupun rakyat kecil yang penuh dengan rekayasa.

Hukum dinilainya sebagai seonggok kata-kata tanpa jiwa, peraturan yang ditegakkan tanpa cita rasa, alhasil penegak hukum hanya sebagai penegak peraturan bukan penegak keadilan.

Sebagai sosok yang berkecimpung hampir 30 tahun di dunia hukum Tanah Air, Antasari merasakan manis getirnya penegakan hukum dalam negeri.

Itu sebabnya, di awal bab buku ini dirinya menceritakan pergumulan hatinya dalam menangani sejumlah kasus yang melibatkan sejumlah tokoh besar Tanah Air.

Kisah yang membawa dirinya ke kursi pesakitan, praktis hanya terbagi dalam lima bab. Sebagain besar dari lima bab yang diceritakan Antasari dalam buku ini memang sudah banyak terkuliti pengakuannya dalam peradilan.

Namun, catatan menarik tersaji pada bab 25 yang mengupas Misteri Kasus Anggoro Widjojo. Anggoro Widjojo yang saat ini tercatat sebagai buronan kepolisian merupakan kakak kandung Anggodo Widjojo.

Adapun Anggodo kini meringkuk di dalam penjara atas keterlibatannya merekayasa kasus yang melibatkan kakaknya tersebut.

Terlepas dari persoalan itu, dalam buku ini Antasari mencoba mengungkapkan fakta yang tak pernah menjadi sorotan penegak hukum atau publik secara umum.

Soal pertemuan Antasai dengan Anggoro Widjojo pada 2008 di Singapura, hanya diketahui sebagai tindakan yang melanggar etika karena sejatinya ketua KPK tidak diperkenankan bertemu dengan pihak berperkara.

Antasari membeberkan pertemuan dengan Anggoro dalam rangka mengetahui duduk persoalan kasus suap yang melibatkan oknum KPK. Antasari mengaku pertemuan itu dapat dibuktikan dalam rekaman berdurasi 17 menit 23 detik.

Antasari menyayangkan rekaman itu tidak pernah dibuka secara transparan, meski hasil dalam rekaman itu juga pernah disampaikan Antasari dalam bentuk testimoni tertulis.

Menurutnya ada ketidaksesuaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap oknum KPK yang diduga menerima suap dari Anggoro.

Sebagaimana yang dipublikasikan, oknum yang diduga menerima suap yakni dua pejabat pimpinan KPK, Bibit S. Riyanto dan Chandra Hamzah.

Padahal, berdasar pengakuan Anggoro saat bertemu dengan Antasari di Singapura, oknum yang dimaksud bukan dua nama orang tersebut.

Melalui testimoni di dalam buku ini Antasari mencoba membeberkan siapa oknum yang disangka oleh Anggoro tersebut. Atas ketidakterbukaan proses itulah, dirinya merasa hanya menjadi korban lingkaran mafia peradilan.

Catatan lain tentu menyangkut proses peninjauan kembali (PK) yang diajukan kubu Antasari menyangkut pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

Berbagai bukti baru yang diajukan Antasari dalam sidang PK memang sudah banyak dibeberkan oleh media massa nasional.

Antasari memang tidak pernah berhenti melawan ketidakadilan. Salah satu prinsip yang selalu dia pegang teguh selama masih aktif berdinas sebagai penegak hukum.

Dalam pandangan dirinya, aparat penegak hukum selalu dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, bekerja profesional, amanah sesuai hukum, tetapi bertabrakan dengan sistem kekuasaan dan risiko.

Pilihan kedua, aparat penegak hukum yang bekerja tidak profesional, amanah tetapi loyal kepada sistem kekuasaan. Antasari memang memilih yang pertama, terlepas dari berbagai kontroversi yang pernah menghujaninya.