Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tapak Dara Penerbit Hasta Mitra Bernama Joesoef Isak

Lamat-lamat ia menuju panggung Teater Kecil, TIM Jakarta, 13 Juli 2008 silam. Hadirin bertepuk tangan. Itulah Joesoef Isak yang masih awet muda, ganteng dengan kumisnya yang tebal walau usianya pada 15 Juli 2008 genap 80 tahun. Diminta memotong nasi tumpeng, ia gagap. “Setua ini belum pernah HUT-ku dirayakan,” katanya. Hadirin tertawa. Nasi tumpeng adalah tradisi Jawa padahal Joesoef beretnis Minang. Toh tumpeng dipotong dan Joesoef memberikannya kepada Rosihan Anwar yang juga Minang. “Beliau senior saya,” kata Joesoef. Jika Adam Malik, B.M. Diah, dan Mochtar Lubis masih hidup, dan ikut hadir, agaknya lengkaplah “reuni” para wartawan era 1940-an itu.

Hari itu sebuah buku bertajuk Liber Amicorum: 80 tahun Joesoef Isak Seorang Wartawan, Penulis dan Penerbit diluncurkan. Buku ditulis 21 penulis dalam dan luar negeri, di antaranya budayawan Goenawan Mohamad. Ada juga sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, pengusaha Eddie Lembong dan pendiri Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), sejarawan Hilmar Farid kelahiran Bonn Jerman, sejarawan Jaap Erekelens dari Belanda, Sylvia Tiwon dari Unversitas Berkeley, atau Umar Said, yang menetap di Paris, dan rekannya, Ibrahim Isa dari Belanda. Keduanya adalah sedikit dari kaum eksil yang terpaksa menetap di luar negeri karena dilarang pulang ke Indonesia sejak 1965.

Jika saya ikut diminta sebagai penulis dalam buku itu, mungkin karena saya sempat berurusan dengan meja hijau, karena mengutip tulisan dan ucapan Joeoef yang dianggap menyinggung instansi Kejaksaan Agung.

Bukan kebetulan Joesoef yang lahir di Ketapang, Jakarta, dulu dikenal sebagai markas anak-anak Stovia, sumber pertama gerakan nasionalisme Indonesia. Di antaranya adalah Soetomo, Mohammad Jamin, dan Azis Saleh. Ayahnya, Isak, bekerja di kantor telegram Inggris, sehingga Joesoef bisa memasuki sekolah elite mulai dari sekolah dasar hingga lanjutan. Jepang pergi, Joesoef bekerja di surat kabar Berita Indonesia yang didirikan oleh S. Taskin, S. Tasrif, Mohammad Sa’af, dan Haris (paman Joesoef).

Joesoef bisa berbahasa Inggris dan Belanda, tapi hanya bisa bahasa Melayu Pasaran. Bahasa Indonesia dipelajarinya belakangan, termasuk melahap literatur dunia, seperti karya Shakespeare, Marx, Freud, Bernard Shaw, hingga lagu-lagu klasik karya Mozart, Bach, dan Bethoven.

Tatkala B.M. Diah menggabungkan Berita Indonesia (1945) dan surat kabar Merdeka (1945) pada 1949, Joesoef menjadi redaktur Merdeka. Di sini ia pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi, Pemimpin Redaksi dan, Pemimpin Umum.

Nama Joesoef semakin berkibar karena ia bergabung dengan Yayasan Penerbitan Hasta Mitra yang menerbitkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, seperti Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia di masa Orde Baru.

Hot Cakes
Saya tiba-tiba teringat bunga Tapak Dara. Bunga ini tidak tumbuh di tanah subur menghijau. Tetapi mencuat dari celah tembok semen tua. Rupanya, sang benihnya berjuang mendesak tunasnya, hatta menghirup udara merdeka dan sinar surya, dan kemudian berbunga.

Bunga ini tidak manja. Dalam kegersangan tembok bisa survive, seperti orang Jepang yang merenggut teknologi walau alamnya miskin. Inilah need for achievment berpadu dengan elan vital dan struggle for life.

Elan vital itulah yang dilintasi Joesoef bersama Hasta Mitra, penerbit karya Pramoedya Ananta Toer di masa Orde Baru. Dicekam oleh sensor dan intimidasi, Hasta Mitra tabah meyakini bahwa kebebasan menulis dan menerbitkan adalah benar, sonder menadah tangan kepada pemerintah sebagai hadiah belaka.

Hukum alam terjadi. Makin dilarang makin laris. Bahkan pelarangan, interograsi, dan intimidasi atas upaya Hasta Mitra itu menjadi iklan luar biasa. Berita pelarangan itu mengakibatkan penjualan dan pendistribusian yang luar biasa terhadap karya Pram. Tentu saja, kualitas karya sastra Pram berperan sangat besar.

 
Joesoef bebas dari penjara pada 1977 setelah 10 tahun di Salemba. Suatu hari, Hasyim Rahman dan Pram bertandang ke rumah Joesoef dan lahirlah ide penerbitan Hastra Mitra. Hasyim adalah editor dari koran Bintang Timur. Hasyim dan Pram telah bebas dari penjara selama satu bulan dan tidak pernah bertemu selama 14 tahun. Disepakatilah penerbitan novel Pram, dan Bumi Manusia pun diterbitkan.

Buku Pram menjadi populer dan dibeli oleh berbagai kalangan masyarakat, orang biasa, pelajar, wartawan, artis, ibu rumah tangga, bahkan para pegawai pemerintah mencari bukunya secara rahasia. Bahkan, Wakil Presiden Adam Malik yang mengundang Pram, Hasyim, dan Joesoef ke kantornya, berkata bahwa buku itu pantas menjadi bacaan wajib para pelajar. Menakjubkan.

Saya kira inilah sang Tapak Dara kendati Pram adalah mantan tahanan politik yang baru saja keluar dari Pulau Buru. Bukunya terjual seperti hot cakes pada 1981, dalam istilah Joesoef, ketika berbicara di Fordham University pada 1999 di New York.

Tatkala tiba cetakan keenam Bumi Manusia dan cetakan pertama Anak Semua Bangsa, Kejaksaan Agung melarang kedua buku itu. Eh, malah menuai black market, dan makin laris manis.

Lawan Balik
Benarkah ada propaganda Marxisme yang tersembunyi di dalam karya-karya Pram? Jika merunut jawaban Joesoef saat berpidato di New York (1999), tidak ada jawaban rasional yang dapat diterima. Larangan ini sangat jelas merupakan kombinasi dari Kekuasaan dan Kebodohan. Sebuah kombinasi akan hantu ketakutan yang mereka ciptakan sendiri.

Hasyim dan Joesoef diinterograsi selama sebulan. Suatu waktu Joesoef mengusulkan supaya diselenggarakan sebuah simposium untuk membahas/mendiskusikan dengan tujuan membuktikan apakah ada propaganda Marxisme di dalam buku-buku Pram. Tapi ditolak. Para penginterograsi lebih paham daripada orang lain dan yakin bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa adalah ajaran Marxisme. Simposium tidak perlu.

Dengan pelarangan itu, kemungkinan sang Tapak Dara bertumbuh menjadi kembang yang indah, dan mungkin dapat pindah ke “Taman Bunga” menjadi gagal. Syahdan, Joesoef sempat berfantasi bahwa Hasta Mitra yang bermarkas di garasi rumahnya, dengan buku-buku Pramoedya yang best-sellers, tak mustahil bisa pindah ke kantor yang lebih besar. Pada saatnya mungkin Pram mampu membeli sebuah mobil dengan royaltinya. Kira-kira, tak mustahil Hasta Mitra akan sebesar Gramedia?

Rezim Orde Baru tidak pernah mengalahkan Hasta Mitra secara politik. Tapi mampu membuat Hasta Mitra rugi secara ekonomi. Siapa yang bisa bertahan jika buku-bukunya dilarang? Lalu, dua pekan sebelum ulang tahun Pram ke 70 pada 1995, Pram berkata kepada Joesoef: “Terbitkan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (The Mutes Soliloquy).

Hasyim merasa risikonya dahsyat. Tidak hanya bukunya yang dicekal tapi juga perusahaan yang menerbitkannya. Gagallah Hasta Mitra menerbitkannya. Lalu diputuskan bahwa Lentera sebagai penerbit buku tersebut. Naskah Nyanyi Sunyi pun segera di-print oleh Joesoef setelah dieditnya selama tujuh tahun, dan hingga kini masih tersimpan di hard disk komputernya.

Ternyata, lima hari sebelum ulang tahun Pram, percetakan mengembalikan naskah itu kepada Joesoef. Mereka takut menerbitkannya. Di dalam situasi yang sulit itulah, Joesoef menerima bantuan dari para jurnalis muda, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang berjanji menerbitkan buku itu. Buku itu dikirim tepat ketika sejumlah tamu berdatangan ke rumah Pram.

Kualitas cetakannya tidak terlalu bagus. Kertasnya berharga murah. Beberapa halaman tercetak rusak. Tapi semua orang sangat senang melihat buku itu. Banyak yang tahu bahwa buku itu diterbitkan di Belanda tapi itu pertama kalinya ada kesempatan membacanya dalam bahasa Indonesia.

Hasta Mita sudah mencetak 80 judul buku, tapi sang Tapak Dara gagal secara bisnis. Toh, Joesoef dan Hasta Mitra meraih penghargaan Jeri Laber International Freedom to Publish Award di New York pada 2004. Juga Wertheim Award dari Belanda dan PEN Kenealy Award dari Astralia pada 2005. Prancis menganeugerahkan Chevalier dans I’Ordre des Arts et des Lettres atas perjuangannya untuk kebebasan berekspresi di Indonesia pada 2006. Mungkin pemerintah Indonesia kelak memberi apresiasi sejenis. Siapa tahu.

Toh, Joesoef rendah hati saja. “Saya ragu apakah saya sehebat itu,” katanya, dalam pidatonya di TIM. “Saya bekerja, dan itu tugas yang biasa saja,” katanya. Hadirin kembali bertepuk tangan.

Di tengah iklim kebebasan berekspresi yang belakangan ini kembali terusik, kita bolehlah mengingat pesan Nyai Ontosoroh kepada Minke dalam roman Bumi Manusia, “Kita lawan balik, anakku, sebaik dan dengan seterhormat mungkin!”

Oleh: Bersihar Lubis, Wartawan tinggal di Depok
Sumber: Ruang Baca Koran Tempo edisi 28 Juli 2008