Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seks, Kekuatan Tema Novel Ayu Utami?

Saman adalah tokoh laki-laki luar biasa. Begitu kesan yang muncul di lantai diskusi bertajuk "Saman, der manliche Protagonist" (Saman, tokoh utama yang maskulin), yang digelar Lembaga Persahabatan Indonesia-Jerman Hamburg (Deutsch Indonesische Gesellschaft eV Hamburg), pada 24 Januari lalu di Institut Asia Afrika Universitas Hamburg, Jerman.

Karakter sang tokoh dalam novel Saman karya Ayu Utami itu terbentuk dari gambaran ibu ideal masa kecil yang dibawanya seumur hidupnya. "Ini yang menjadi motivasi dalam kehidupan sosial Saman selanjutnya," kata Dr. Martina Heinschke, 54, dosen dan pengamat sastra modern Indonesia di Universitas Hamburg, yang menjadi pembicara utama dalam diskusi itu.

Di era Orde Baru, kata Martina, yang di era 1970-an pernah tinggal di Indonesia, profil perempuan banyak dipengaruhi Dharma Wanita, yang disadari atau tidak amat berperan dalam tatanan moral dan etika wanita.

"Generasi muda tidak setuju, tetapi juga tidak berani mengkonfrontasikannya langsung dengan generasi tua. Ini yang membuat seseorang punya pacar gelap atau main serong," kata Martina, ibu dari seorang anak, yang fasih berbahasa Indonesia itu.

Ayu Utami, kata Martina, jeli melihat fenomena ini dan mengangkatnya ke permukaan bahwa diakui atau tidak nilai-nilai etika dan moral wanita Indonesia sudah berubah. Wanita tak lagi cuma berpikir menjadi pendamping suami, tetapi bahkan membiarkan pikiran dan hasratnya bertualang.

Hal itulah yang kemudian menjadi sorotan diskusi ini. "Apakah tulisan Ayu tidak kelewat jauh ke depan?" tanya seorang peserta. Apalagi, di Indonesia tema seks belum bisa menjadi pembicaraan umum.

Namun, menurut Martina, justru itu yang membuat Ayu berbeda dengan penulis-penulis wanita sebelumnya, seperti Marga T misalnya, yang umumnya berkisah seputar konflik rumah tangga, perempuan dan cinta.

Akan halnya NH Dini, kata dia, meskipun juga menulis sosok wanita modern yang mandiri, namun konfliknya kurang teraba, "Karena Dini tinggal di Prancis. Ia tidak terlibat langsung dengan moralitas umum di Indonesia. Akibatnya tulisan-tulisannya pun berjarak dengan etika yang berlaku," kata Martina.

Adapun Ayu, menurutnya, berhasil menerobos batas itu dan menjadi pionir bagi penulisan bertema wanita selanjutnya, yang tidak lagi cuma berbicara soal cinta dan rumah tangga, tetapi juga konflik seks, seperti pelecehan atau kekerasan seksual.

Selama ini tema seks masih dimonopoli pengarang pria. "Tengoklah Rivai Apin yang menulis tentang 'menghamili seratus perempuan', atau Asrul Sani yang menyebut 'tinggalkan kalau sudah hamil'. Berapa banyak pula sajak pengarang laki-laki yang menulis tentang senggama, tapi tak ada protes, kan?" kata Martina seraya tertawa.

Namun, kekuatan buku Ayu, menurut doktor bidang sastra Indonesia itu, sebetulnya bukan terletak pada tema seks, tetapi lebih pada tema sosial yang sangat baik digarap. Bagaimana Saman hilang, diciduk, dipenjarakan. Bagaimana Saman ingin menjadi pastor yang berguna buat orang lain, seperti dulu ibunya mengabdi kepada keluarga.

Tema sosial seperti ini, kata Martina, yang menarik jadi bahan diskusi, bukan tema seks seperti yang banyak bermunculan dalam diskusi-diskusi buku tersebut di Indonesia. "Ini aneh menurut saya," ujarnya.

Dalam diskusi itu Martina didampingi Dyah Narang-Huth, wanita asal Banyuwangi yang meraih magister jurusan Sprachlehrforschung (penelitian bahasa Jerman) Universitas Hamburg. Para dosen, mahasiswa dan peminat buku Indonesia itu menikmati diskusi yang berlangsung lebih dari tiga jam itu.

Pertanyaan-pertanyaan kepada pembicara utama terus bermunculan dari awal sampai akhir. Tak semua pertanyaan yang dilontarkan berbobot. Ada juga pertanyaan nakal, seperti "Apa iya di Indonesia, perempuan tak bisa seenaknya ngomong seks?" Bagi sebagian pengunjung, tak mudah membayangkan situasi politik dan sosial di era Orde Baru dan sesudahnya.

"Saman telah membuka tabir ketertutupan perempuan," kata Dr. Genia Findeisen, 47 tahun, sarjana politik Universitas Hamburg yang baru saja merampungkan tulisan ilmiah berjudul "Frauen in Indonesien" ("Wanita di Indonesia"), dan menjadi moderator dalam diskusi ini.

Dalam buku yang yang diterbitkan Universitas Hamburg, Auf Anderen Wegen, Bemerkenswerte Frauen in Ost und Sudostasien, yang mengutip tulisan para dosen sastra di perguruan-perguruan tinggi Jerman tentang pengarang-pengarang wanita terkenal di Asia Timur dan Tenggara, Martina membandingkan karangan wanita Indonesia di era 1970-an dan buku Ayu dalam tulisannya yang berjudul "Eigenes Terrain, eigene Wege? Indonesisches Frauenromane seit den 1970er Jahren und Ayu Utami Debutwerk : Saman (1998) und Larung (2001)".

Setelah Inggris, Belanda dan Prancis, tahun lalu Saman diterjemahkan pula ke bahasa Jerman. "Kami meluncurkan 1.500 eksemplar di cetakan pertama ini," kata Michael Adrian, Direktur Penerbit Horlemann.

Penerbit Horlemann yang berkantor di Unkel am Rhein, kota kecil di dekat kota Bonn, memang banyak menerbitkan buku-buku pilihan dari negara-negara dunia ketiga. Akan halnya Saman, yang diterjemahkan Dr. Peter Sternagel, bekas Direktur Goethe Institut Bandung, dijual dengan harga € 16,90.

Di edisi bahasa Jerman, Saman muncul dengan sampul buku bergambar wajah sang penulis. "Ayu adalah penulis wanita Indonesia berkarakter. Kesan itu yang ingin kami tawarkan kepada pembaca," kata Michael.

Kekaguman Michael tak cuma berhenti di situ. Tahun ini Horlemann sudah ancang-ancang untuk mengirim Saman ke pemilihan Liberatur Prize 2008. Inilah penghargaan bergengsi bagi buku non-Jerman terbaik di arena pameran buku terbesar dunia Frankfurt Book Fair. "Saman adalah cerminan gaya penulisan sastra Indonesia modern, yang diungkap dalam alur cerita yang sejalan dengan zamannya," katanya.

Kendati sudah memiliki penghargaan semacam itu, buku-buku fiksi non-Jerman berkualitas belum mendapat tempat istimewa di toko-toko buku besar Jerman, seperti Graff atau Thalia. "Mereka menolak menjual buku asing karena nama pengarangnya tidak dikenal," kata Nyonya Horlemann, janda Juergen Horlemann, pendiri Penerbit Horlemann pada 1990.

Biasanya jika resensi sebuah buku asing muncul di media massa, orang akan mencarinya dan toko-toko buku pun otomatis akan menyediakan barang yang dicari itu. Jika tidak ada resensi, maka kemasyhuran buku itu cuma beredar dari mulut ke mulut.

Nasib itulah yang dialami Saman. Menurut Nyonya Horlemann, toko buku seharusnya tetap melayani permintaan pengunjung yang mencari buku itu, meskipun di toko bukunya tak tersedia. Caranya, toko buku itu menghubungi pedagang buku, seperti Libri, Kochneff atau Volkmar. "Dan dalam tempo 24 jam buku itu sudah sampai ke tangan pembeli," kata Horlemann pasti.

Dan, Saman amat beruntung, karena sejak diterbitkan Oktober tahun lalu, buku itu telah terjual 320 buah di wilayah Jerman, Austria dan Swiss. "Dan, kami biasanya menghitung royalti --sekitar 7-10 persen dari harga penjualan-- setiap bulan Februari," tutur Horlemann.

Dia bahkan optimistis bahwa Saman akan dicetak ulang tahun ini, "Dengan mutu terjemahan yang lebih baik lagi," katanya. Maklum, ia sempat mendengar komentar Martina, bahwa terjemahan Saman masih terasa janggal di sana-sini.

Oleh: Sri Pudyastuti Baumeister
Sumber: Ruang Baca Koran Tempo Edisi 25 Februari 2008