Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Frankfurt Book Fair: Bila Editor Nonfiksi Tersesat di Surga

Frankfurt seperti Glodok di Jakarta pada Oktober di mana penjual dan pembeli produk kultural (buku) bertemu dan melakukan komunikasi komersial dan negosiasi harga jual copyright dalam US$.

1. Daily Investor Edisi 23 Juli 2005
Salah satu koran Jakarta, Daily Investor, menurunkan berita tentang kegiatan perbukuan pada bulan Juli, yang mengarahkan perhatian pembaca ke dunia paket buku sekolah karena anak-anak mulai bersekolah kembali. Yang menarik adalah di dalam rubrik itu wartawan surat kabar menyampaikan profil kota Frankfurt di Jerman. Judul berita yang diturunkan adalah “Frankfurt Surga bagi Penerbit.” Apa artinya judul itu? Tidak diberitakan tentang pengertian surga yang menjadi pergulatan reflektif ahli teologi yang ada urusan kehadiran dan kediaman Ilahi. Kesibukan dalam proses berkesinambungan dan berkelanjutan dengan beatific vision, penglihatan yang membahagiakan manusia ketika “melihat” Tuhan.

Wartawan menggambarkan sekilas “kebahagiaan” penerbit-penerbit Indonesia sejak 1970-an sampai sekarang dan akan berkelanjutan di masa datang. Penerbit-penerbit kesulitan dalam aliran naskah untuk dicetak menjadi produk baru dari komunitas pengarang lokal.

Di tengah kesulitan itu, ternyata ada “surga” memberi solusi dan kemelutnya. Ada pintu bendungan lain yang dapat dibuka sehingga aliran naskah berkelimpahan. Pintu itu adalah terjemahan hasil karya pengarang dari wilayah di luar wilayah bahasa Indonesia. Seperti pengarang-pengarang yang dibesarkan di wilayah bahasa Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, Portugis, Rusia, Arab, Mandarin, Jepang, India, dan bahasa-bahasa lain dengan tradisi kebahasaannya, kepengarangannya, dan kesusastraannya.


Penerjemah di Indonesia melalui arena Frankfurt menjadi pasukan cadangan strategis, semacam konstrad di TNI, menjadi pengarang bayaran dari produk pilihan penerbit, yang tetap bingung dengan produktivitas yang tidak stabil dari pengarang Melayu. Frankfurt memang “surga” para penerbit; “surga” para penerjemah, yang menunggu dan penerbit kerja proyek berikutnya, setiap tahun.

Selama puluhan tahun terakhir ini Frankfurt menarik perhatian penerbit Indonesia, yang tidak berkiblat ke proyek paket buku sekolah Pusbuk Depdiknas. Sekitar 60% buku baru di Indonesia adalah hasil “perburuan naskah” para editor fiksi dan nonfiksi di Frankfurt.

Frankfurt seperti Glodok di Jakarta pada Oktober di mana penjual dan pembeli produk kultural (buku) bertemu dan melakukan komunikasi komersial dan negosiasi harga jual copyright dalam US$. Di Frankfurt terjadi kesibukan pengembangan produk baru tahun bisnis berikutnya. Pulang dari Frankfurt terjadi kegiatan menerjemahkan, menerbitkan, menjual dan membayar royalti ke penerbit di luar negeri. Kita mengimpor terjemahan. Kita mengekspor dolar Amerika dari hasil penjualan rupiah di selunih tanah air. Apakah benar Frankfurt surga bagi editor?

2. Bila Editor Nonfiksi ke Frankfurt
Mungkin ada benarnya pernyataan dan wartawan Daily Investor itu. Saya ingin berbagi pengalaman “masuk surga di Frankfurt” dan “kembali ke dunia” untuk bekerja lagi. Ketika mahasiswa jurusan filsafat, saya sudah mengenal Frankfurt.

Dosen filsafat sosial dalam kuliah-kuliahnya memperkenalkan Mazhab Frankfurt. Di kota itu ada sebuah lembaga untuk penelitian sosial, yang tidak mau berada di bawah otoritas Universitas Frankfurt. Tokoh-tokoh PKI di Indonesia, yang dihabiskan nyawanya oleh rezim militer Orde Baru, pasti akrab dengan pengelola lembaga penelitian sosial itu. Beberapa peneliti dari lembaga ini adalah anggota partai komunis Jerman. Sebagian lagi tertarik dengan filsafat sosial Karl Marx dari Jerman yang hijrah ke London, Inggris. Para mahasiswa yang tertarik dengan pemikiran kekiri-kirian itu menanakan institut ini Cafe Marx (warung kopi Marx). Marx sepertinya tetap hidup dan berbicara di Cafe itu.

Saya tidak membayangkan ketika di ruang kuliah jurusan filsafat bahwa Frankfurt itu pusat kapitalisme Jerman dengan kegiatan industrialnya memamerkan begitu banyak produk komersial hampir setiap bulan. Pusat kapitalismenya tergambar dari arsitek kompleks pameran yang sepuluh kali lebih besar dari tempat Pesta Buku Jakarta di Senayan. Ada Cafe Marx, tetapi ditenggelamkan oleh Cafe Adam Smith, yang tertarik dengan the wealth of nation daripada the poverty of nation model Marx.

Sekitar awal 1980-an, sesudah beberapa tahun saya bekerja di Penerbit PT. Gramedia (induk dari segala penerbit Gramedia sekarang) saya ditugaskan “berburu naskah terjemahan” di Frankfurt. Sebelumnya Adisubrata hampir setiap tahun ke Frankfurt untuk memantapkan proyek terjemahan fiksi dan nonfiksi di Penerbit PT. Gramedia. Editor pertama yang mendampingi Adisubrata adalah Haryono (alm.), editor buku kamus dan referensi. Sesudah Haryono, Gabriel Soegiyanto, editor nonfiksi; berikutnya Listiana, editor fiksi yang kini seperti “masuk surga setiap tahun” di Frankfurt.

Tidak mengherankan apabila kepergian saya ke Frankfurt pertama kali sebagai editor nonfiksi, mendapat titipan appointment dengan relasi-relasi Adisubrata, Haryono, Gabriel Sugianto, dan Listiana. Saya ikut rombongan Ikapi. Pemandu kami selama di Frankfurt adalah Elisabeth Suprapto, yang pada waktu itu menjadi editor di Penerbit Sinar Harapan (sebelum mendirikan sendiri Penerbit Katalis). Rombongan kami itu terdiri dari Ibu Upi, Bapak dan Ibu Oemar (orang tua Firdaus dan Fahmi Umar), Conny Damian dari Alumni, Rozali Usma dari Rosda, Jus Rusamsi dari Pustaka Jaya dan beberapa rekan lain. Rombongan ini sesudah pameran berkunjung ke Belanda, antara lain mengunjungi dan magang di VNY tentang online sistem di Universitas Erasmus di Roterdam. Saya sendiri sesudah ke Belanda kembali ke Jerman karena ingin mengunjungi kota Berlin Timur, yang masih di bawah rezim pemerintahan komunis untuk menghirup Filsafat marxisme dalam praktik ekonomi dan politik serta keamanan/pertahanan.

Saya masih ingat appointment yang paling banyak adalah relasi Listiana. Dia sudah punya proyek terjemahan buku anak dan novel dari penerbit Amerika Serikat, penerbit di Skandinavia (tradisi Hans Andersen), penerbit Prancis dan penerbit Inggris. Dari Haryono, saya ke stan BBC London karena ada kerja sama pelajaran bahasa Inggris dan stan Cornel University Press, soal penerbitan buku kamus Indonesia-Inggris. Dari Gabriel, saya ke stan Longman dari Inggris karena kami berdua sedang menerbitkan eksiklopedia untuk SD (Pustaka Dasar). Kemudian seri ini dibeli oleh Depdiknas ratusan ribu eksemplar tanpa lobi intensif dengan pejabat-pejabat di sana (tangan saya pada waktu itu masih bersih; kotor ketika di Grasindo awal 1990-an).

Dari relasi Adisubrata, saya ke stan Elsevier dan stan VNU Grup dengan Prisma Boek-nya dari Negeri Belanda. Kapan giliran rekan non-redaksi ke Frankfurt?

3. Bila Exhibitor ke Frankfurt
Sesudah kepergian saya, menyusul teman-teman dari pemasaran, terutama Aris Buntarman. Aris melihat Frankfurt bukan dari mata editor dengan tugas pokok “memburu naskah” (tradisi itu sampai sekarang tetap dirawat dan dipertahankan). Aris yang sudah terbiasa mengadakan “pameran di dalam negeri” berinisiatif (akhirnya juga disetujui oleh manajemen Gramedia) untuk menjadi exhibitor di samping rombongan “profesional visitor” seperti editor nonfiksi dan fiksi.

Pada kunjungan 1990-an (sebelum krismon 1997) dengan usaha Aris yang sulit ditaklukkan (compulsiveness) berhasil menampilkan stan Kompas-Gramedia. Rombongan ke Frankfurt terbagi dua, pemburu naskah yang sibuk dari stan ke stan dengan appointment yang ketat. Pengelola stan, seperti seksi Humas KKG di Indonesia untuk publik internasional. Bedanya Humas KKG tidak sampai ke negosiasi proyek terjemahan. Pengelolaan stan juga menguasai syarat-syarat kerja sama penerjemahan (membeli terjemahan yang ditawarkan langsung di stan Gramedia). Beberapa penerbit seperti Kanisius, Nusa Indah, CSIS, Balai Pustaka (kini Obor dan Yayasan Lontar) membuka stan sendiri-sendiri. Setiap dua tahun sekali ada stan Ikapi.

Pembukaan stan-stan sebagai exhibitor menimbulkan gejolak perasaan khas. Perasaan “kecil,” minder, cemburu, iri hati karena melihat pengelolaan stan-stan dan negara-negara tetangga ASEAN dan Asia Timur lainnya (Jepang, Korea, Taiwan, RRC, dan lain-lain). Stan dan lingkungan industri buku Indonesia mirip-mirip “pedagang kaki lima” di pinggir mal-mal raksasa. Ditelan gemerlapan stan-stan bergengsi dari Singpura, Malaysia, Muangthai dan Filipina. Image Indonesia yang katanya “bangsa besar,” negara besar, stabilisator di Asia Tenggara seperti dikhianati oleh penampilan seperti pedagang kaki lima di tengah komunitas industrialis perbukuan tingkat global. Kita seperti tidak punya apa-apa di tengah kondisi kultural dan peradaban industrial kontemporer. Ada salah urus di antara kita ketika kita “masuk surga di sana?” Perasaan “bahagia” di tengah firdaus buku-buku dinodai dan dirusak oleh perasaan “tertekan, malu, bodoh, terbelakang” di sana.

Stan Gramedia bersama stan Indonesia lainnya seperti “menghilang” dari surga buku-buku dunia sejak 1997 sampai 2001-2002. Krisis besar di tanah air tercermin juga pada menghilangnya stan Indonesia dan Gramedia selama bertahun-tahun vivere periculoso, hidup di antara krisis multidimensi yang tidak menentu arah dan tujuan.

4. Bila Literary Agent Pergi ke Frankfurt
Pameran buku di Frankfurt memang tetap akan berpesona ke depan bagi masyarakat perbukuan Indonesia. Sejak 2001 sedang berproses perubahan manajemen pengelolaan stan Indonesia di Frankfurt. Proses rehabilitasi dan normalisasi kondisi objektif domestik Indonesia tercermin dalam terbentuknya tim pameran yang baru di bawah koordinasi dan sponsor Dewan Buku Nasional dengan persepsi tentang literary agent. Stan berfungsi bukan sebatas humas dan periklanan serta publisitas. Stan juga berfungsi seperti Glodok mini di Jakarta di panggung internasional.

Bila editor “memburu dan membeli terjemahan”; bila penerbit terobsesi dengan minimnya aliran naskah penulis domestik yang ditunggu-tunggu pembaca, maka muncul pengelola stan mengkombinasikan obsesi penerbit, obsesi editor dan obsesi rights manajer yang mengandalkan penjualan terjemahan naskah bahasa Inggris (istilah Richard Oh, bahan mentah universal untuk memasuki gerbang segala bahasa dunia) dari naskah asli bahasa Melayu Indonesia.

Penerbit Jepang hampir frustrasi karena usaha menjual copyright ke bahasa lain pada awalnya hampir tidak ada hasil komersialnya. Kini sesudah musim kemarau datanglah musim hujan dan musim semi untuk menemukan masa panen raya. Penerbit Indonesia juga akan mengalami jalan kering sebelum tiba ke jalan basah. Kini dia bergelimang “air mata” sebelum menemukan “mata air” dalam keuntungannya.

Pada Oktober 2005 yang akan datang sudah dikelola oleh manajemen baru 10 stan, yang akan memamerkan sekitar 500 buku dari dan tentang Indonesia. Semangat memamerkan mulai merambat ke semangat Glodok, jualan. Penerbit Mizan dan Penerbit Gramedia mulai menghadirkan Glodok di Frankfurt. Ternyata surga itu mulai dan Glodok, surga untuk menjual. Ribuan penerbit dunia belum mengenal Indonesia. Untung ada tsunami di Aceh, membuat Indonesia selama berbulan-bulan awal 2005 menjadi sumber belaskasih dunia. Indonesia bukan saja bangsa yang ramah, murah senyum tetapi gampang membunuh sesama, mulai belajar bergaul secara internasional. Mulai belajar konversasi yang beradab, yakni thank you atas atas segala atensi dan kebaikan yang dialami setiap saat. Thank you menjadi ritual tetap untuk penjual sekaligus budayawan.

5. Bila Budayawan Pergi ke Frankfurt
Bila saya melihat ke belakang, ke masa kini dan ke depan maka benar julukan wartawan Daily Investor bahwa Frankfurt itu surga bagi penerbit, bagi masyarakat penggemar buku di mana saja. Hanya pengalaman berada di surga itu yang harus diuraikan. Apakah surga itu mirip kehausan pria dalam kebutuhan biologis bertemu bidadari cantik yang siap menghilangkan rasa haus? Surga memang ada urusan dengan “santap menyantap,” “minum meminum” karena ada kelaparan dan kehausan dan cara-cara untuk menyelesaikan kebutuhan itu.

Perjalanan ke Frankfurt mungkin bermakna “masuk surga,” tetapi seperti “legenda tentang surga milik literatur Rusia” yang punya tradisi meraih hadiah Nobel; berprestasi puncak yang menggetarkan kehidupan untuk terus maju di dalam perjalanan budaya tanpa ujung.

Legenda itu mengisahkan suasana dua meja perjamuan di dua ruangan di dalam sebuah istana raja yang mahakaya, seperti raja-raja Arab dengan bisnis minyaknya dengan Amerika. Dua ruangan itu berisi puluhan tamu duduk di kursi berhadapan dengan makanan dan minuman, menu raja-raja dan aristokrat kerajaan. Kesamaan di antara mereka adalah tangan kiri mereka diikat di kursi, sedangkan gerakan tangan kanan terbatas. Tidak dapat menyuap pada mulut sendiri. Pemilik pesta mempersilakan mereka makan sepuasnya dari makanan dari meja perjamuan itu. Ruangan yang satu mencerminkan dinamika kehidupan di surga dan ruangan lain suasana sosial di neraka. Ruangan yang satu sunyi, penuh rahasia sendiri, usaha sendiri, tidak ada hasil. Makanan tetap utuh, perut mereka tetap lapar. Tidak ada tertawa dan kegirangan.

Sebaliknya, ruangan lain ramai seperti suasana pesta di mana saja. Neraka itu ditandai oleh mismanajemen. Surga itu ditandai dengan good governance and clean government. Bila tangan sendiri tidak bisa menyuap pada mulut sendiri, mengapa tangan itu tidak digunakan untuk menyuap mulut tetangga seperti tetangga bisa menyuap mulut kita sendiri. Keramaian ada pada saling menyuap untuk kesenangan bersama.

Itulah pelajaran untuk “masuk surga di Frankfurt,” saling menyuap sehingga kita semua makan sampai kenyang dan mengalami pesona bagaimana kerja sama itu. Terima kasih untuk wartawan yang memberikan makna untuk perubahan manajemen mengelola stan di Frankfurt. Berterima kasih dan saling menyuapi sampai kenyang. Kehausan dan kelaparan hilang, relasi dan koperasi muncul sebagai wacana manajemen daya saing. Itulah pameran sebagai barometer kegiatan budaya untuk para penggiat kebudayaan, yang adalah masyarakat perbukuan, The Gutenberg Society; kelahiran Jerman. Ternyata bahan suapan “kebudayaan dan peradaban” kontemporer adalah US$. Menakjubkan! Siapa yang berjasa dalam peijalanan budaya kita selanjutnya? Karl Marx dengan suguhan the poverty of nation? Ataukah Adam Smith dengan suapan the wealth of nation dengan ukuran US$?

Itu alasannya mengapa kita perlu stan di Frankfurt Book Fair setiap tahun, untuk mendalami apa artinya “kaya” dan “miskin”; dalam bayangan dan konstruksinya, yakni dolar Amerika. Apakah kita tersesat di surga? Saya menjawab, “Ya!,” sambil “mengunyah” US$, di tengah suasana HUT ke-60 bangsa Indonesia “mengisi makna kemerdekaannya.” Ternyata saya “bermimpi” tentang Frankfurt dari Palmerah Jakarta.

Oleh: Frans M. Parera
Sumber: Majalah Mata Baca edisi September 2005