Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kematian: Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan

Judul: Kematian: Sebuah Risalah Tentang Eksistensi dan Ketiadaan
Penulis: Muhammad Damm
Penerbit: Kepik, 2011
Tebal: 152 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Stok kosong


Sepanjang sejarah manusia, kematian adalah sebuah misteri yang tidak bisa dipecahkan. Persoalan mati menjadi begitu akut dan kronis. Bagaimana kita bisa mengetahui sesuatu yang tidak pernah dialami oleh manusia yang masih ada bersama kita.

Akhirnya, yang kita pahami tentang kematian hanyalah sebatas emosi-emosi yang kita jejalkan kedalamnya: ketakutan, kecemasan, kehilangan, kesia-sian, dan kehampaan.

Bagi sebagian orang, justru kematian menjadi sedemikian akrabnya ketika rasa ketakutan itu menjadi keberanian, dalam artian tertentu, siap kehilangan apapun, atau setidaknya, tidak lagi mengharapkan apa-apa. Seperti yang di lakukan oleh para pahlawan kemerdekaan di medan perang.

Bagi mereka, kematian merupakan sebuah kehormatan, kebahagian, bukan penderitaan. Para pelaku bom bunuh diri juga menghayati modus eksistensi yang sama karena digerakkan oleh politik surga. Kematian tidak mati. Ia malah tumbuh dalam berbagai motif.

Inilah yang digambarkan oleh Muhammad Damm dalam buku Kematian, Sebuah Risalah tentang Eksistensi dan Ketiadaan, bahwa kematian merupakan ajang eksistensi bagi manusia, dengan catatan menggunakan paradigma filsafat yang jernih dan tajam.

Pada taraf definisi umum, kematian adalah berhentinya proses kehidupan tanpa bisa dipulihkan lagi, hilangnya kemampuan untuk berkesadaran, maupun lenyapnya kesadaran diri. Pemahaman ini berangkat dari fakta kematian berdasar hilangnya kemampuan organisme untuk mengintegrasikan fungsi dan seluruh elemen tubuhnya. Kondisi ini disebut dengan mati keseluruhan (integration head).

Lantaran kematian dianggap sebagai kondisi yang meniadakan pada manusia, maka kematian menjadi begitu sulit untuk ditafsirkan dalam wujud eksistensial. Mengapa? Sebab, kematian oleh publik dianggap sebagai sumber matinya kehidupan.

Sejuh ini, pendapat publik tidak salah karena tidak ada satupun di dunia ini yang telah mengalami kematian bisa bercerita kepada manusia yang masih hidup, sementara yang masih hidup belum punya pengalaman tentangnya. Kerena itu, tidak heran jika manusia yang masih hidup menjadikan kematian sebagai objek keterasingan.

Tidak demikian halnya dengan pandangan Damm, penulis buku ini. Berangkat dari paradigma filsafat eksistensi, dia berpandangan bahwa manusia tidak hanya memilik tubuh korperal (fisik), melainkan juga memiliki tubuh sosial.

Yang dimaksud tubuh sosial bukanlah hasil institusionalisasi tubuh korperal melalui pelekatan nilai-nilai yang di dasarkan pada norma-norma yang ada di dalam masyarakat, seperti penghormatan kepada kepala atau “penistaan”, melainkan tubuh sosial adalah hasil refleksi manusia mengenai dirinya yang dibentuk melalui bahasa. Kenapa ini terjadi? Sebab bahasalah yang menetukan manusia itu ada (Hal. 45).

Dalam konsep dunia sosial, keberadaanya dibangun dengan nilai-nilai sehingga bergantung pada bahasa. Dengan bahasalah nilai-nilai diobjektifikasi agar dapat mengkonstruksi suatu dunia. Manusia ada karena ia berbahasa. Pun, melalui bahasa kita mengakses dunia sosial dengan menciptakan dan memberikan makna pada apa yang ada di sekitar kita.

Manusia ada karena ada bahasa. Seorang hidup di dunia sejak kelahirannya, namun ia baru ada sejak mengenal bahasa. Dengan demikian, hidup (life) dan ada (exis) adalah dua hal yang berbeda.

Pada kondisi inilah kita membedakan konsep manusia sebagai organisme dan konsep manusia sebagai eksistensi. Sepintas, konsep tersebut sangat membingungkan. Cuma, jika dipahami secara saksama, akan terdapat dua perbedaan yang cukup signifikan dalam memahami manusia.

Singkat kata, kematian akan menjadi sumber eksistensi (existence) jika manusia tidak sekedar ditempatkan pada dunia korporal bersama entitas-entitas fisikal lainnya, tapi juga ditempatkan pada dunia sosial. Eksistensi harus ada di dalam dunia sosial karena hanya di dunia inilah kesadaran diri dan tindakan dimaknai, bahwa manusia ada karena keberadaan bahasa dan juga sebaliknya.

Pada titik ini, dapat diartikan bahwa kematian eksistensial adalah kematian yang terjadi pada eksistensi. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, kematian eksisitensial dapat kita pahami sebagai kematian yang ketika kita hendak membicarakannya, kita bisa mengangankannya sebagai kematian kita sendiri, bukan matinya sembarang manusia.

Dalam artian, kematian eksistensial merupakan hal yang sangat personal. Ia tidak terjadi pada manusia sebagai spesies, melainkan pada tiap-tiap menusia sebagai pribadi yang unik dan punya karya yang di abadiakan oleh dunia sosial. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Pramoedya Ananta Toer dalam Tatralogi Buruhnya bahwa karya sosial manusia dalam bentuk tulisan (rekaman bahasa) akan menjadi legitimasi keabadian manusia setelah mati. Sehingga, ia akan selalu dikenang melalui karyanya.

Inti poin dari kematian sebagai ajang eksistensi adalah bahwa secara sosial ia tetap hidup di dunia meski organ tubuhnya sudah tiada di dunia. Dengan catatan, manusia tersebut sudah melakukan tindakan sosial melalui karya bahasa yang di manifestasikan dalam kehidupan sosial. Poin selanjutnya, memandang manusia tidak hanya sebatas kerangka organisme semata, melainkan ia dipandang sebagai mahluk yang ada dalam dua dimensi, antara dunia korporal dan dunia sosial.