Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia

Judul: Melukis Islam: Amal dan Etika Seni Islam di Indonesia 
Penulis: Kenneth M. George
Penerbit: Mizan, 2009
Tebal: 246 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


"Buat saya, agama memiliki dua wajah: Ada wajah dalam bentuk ajaran agama. Tapi, ada juga wajah dalam bentuk seni, wajah budaya, tempat hidup saya mendapatkan ketenangan dan tempat saya dapat mempelajari Islam." (A.D. Pirous) 

Demikian ungkapan Abdul Djalil Pirous, seorang maestro seni rupa Islam Tanah Air yang lahir pada hari Jumat 11 Maret 1932 di Meulaboh, Aceh, perihal keyakinan yang dianutnya ihwal dunia seni rupa. Sebagaimana yang dipaparkan dalam buku berjudul lengkap Melukis Islam; Amal dan etika Seni Islam di Indonesia ini, yang ditulis oleh Kenneth M. George, seorang profesor Antropologi Budaya Universitas Wisconsin, Amerika.
Lahir di tengah keluarga bangsawan Aceh pada tanggal 11 Maret 1932,  ayahnya, Mouna “Pirous” Noor Muhammad, meminta Fakih Nurdin, sang guru agama keluarga, sebuah nama untuk sang bayi yang kemudian memberinya nama Abdul Djalil. Sedangkan nama Pirous berasal dari silsilah sang ayah yang merupakan cucu pedagang Gujarat, India, dan mendapat julukan Piroes karena tanda lahir istimewa berwarna biru pirus di lengan kirinya. (Halaman 28)

Meski demikian, sang Ibu yang bernama Hamidah dan Zainal Arifin, sang kakak-lah yang mendorong Pirous terjun ke bidang seni. Sedangkan sang ayah justru berpandangan bahwa seni bertentangan dengan Islam. Seni dianggapnya gangguan yang bisa mengalihkan perhatian dari hal-hal yang lebih penting, sedangkah Hamidah melihat seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Pada akhirnya, pandangan sang ibulah yang dianut Djalil.

Pada 1958, dalam usia 18 tahun, Pirous meninggalkan Aceh menuju ke Kota Medan untuk bergabung dengan kakanya dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah menengah Atas (SMA) kelas satu. Selain bersekolah, ia juga bekerja dengan cara menggambar. Reputasinya dibuktikan dengan menjuarai lomba gambar pelajar Sumatera Utara.

Pirous akhirnya memutuskan pergi ke Bandung, untuk menimba ilmu di bagian Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan salah seorang pembimbingnya adalah seniman kubistis Belanda bernama Ries Mulder. Saat ini, pertarungan ideologis perihal arah jagat seni Indonesia tengah sengit terjadi antara kalangan realisme sosialis (Lekra), modernis borjuis dari humanis universal, dan kalangan Islam. Pirous muncul dengan tidak terpengaruh dengan segala perdebatan tersebut.

Pirous sangat yakin bahwa identitas estetik Indonesia terletak dalam peradaban dan budaya Islam. Dengan itu, ia kemudian memulai mengeksplorasi dan pemulihan estetika “Islam” puluhan tahun lamanya. Dengan kata lain, persinggungannya dengan seni rupa Barat justru membuat Pirous menemukan identitas keindonesiaan dengan unsur nasionalisme, agama, etnisitas, dan wawasan global yang dimilikinya.

Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hadi W.M. dalam pengantarnya, kaligrafi memang bukan mimesis dari alam atau dunia objek-objek; begitu pula geometri, dan dalam jenjang tertentu, arabesque. Kaligrafi atau khat benar-benar ciptaan manusia, hasil pencapaian akal-budi manusia. Ia adalah induk budaya baca-tulis, yang sangat dianjurkan oleh Kitab Suci. Tidak mengherankan jika kaligrafi kemudian tampil sebagai simbol utama seni rupa Islam.

Buku ini mencoba membedah sosok Abdul Djalil Pirous dengan cara mensenyawakan pendekatan antropologis dan sejarah seni. Memulainya dengan mengulas latar belakang kehidupan sang maestro seni rupa Islam ini dari masa kecilnya di Aceh, mengenyam seni rupa pendidikan modern, hingga menjadi salah seorang perintis seni rupa Islam di Indonesia.

Sebagaimana dikatakan oleh penulis buku ini, karya-karya Pirous merupakan suatu bentangan besar kanvas kekuatan-kekuatan social dan cultural global. Kekuatan-kekuatan tersebut dihasilkan dari percampuran agama, seni, nasionalitas, dan kedirian.(halaman 5) Kendati demikian, buku ini bukanlah buku pegangan tentang Islam, atau tentang al-Qur’an, melainkan buku yang menyajikan potret mengenai cara gagasan dan pendirian islami dapat mewarnai dunia kehidupan eksperiensial dan ekspresif orang beriman, dan menemukan salurannya di bidang seni.

Buku ini tidak bertolak dari Islam versi ideal yang ditanamkan melalui gagasan-gagasan para ahli teologi dan hukum islam, atau dari “seni Islami” versi ideal. Alih-alih demikian, buku ini bertolak dari perjumpaan duniawi, dan melihat jerih payah sang seniman yang bersifat praktis dan sehari-hari dalam improvisasi dan penjelajahan etis, estetis, dan spiritual. Atau sebagaimana yang diutarakan penulisnya, melukiskan Islam yang agak berbeda dengan mereka yang melihat agama ini sebagai kekuatan atau tradisi digdaya yang secara kaku mendikte pandangan dunia, subjektivitas, dan pilihan hidup para pengikutnya.