Jual Buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender
Judul: Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender
Penulis: Aksin Wijaya
Penerbit: Magnum, 2013
Tebal: 300 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Perdebatan tentang apakah Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad dalam bentuk seperti yang kita baca hari ini ataukah hanya dalam bentuk tertentu yang kemudian redaksinya disusun sendiri oleh beliau sempat menjadi pertanyaan besar dalam kajian Al-Qur'an. Tentu saja, jawaban mayoritas ulama bahwa wahyu turun dalam bentuk lafdzan wa ma'nan tidak memuaskan semua orang. Buku ini merupakan salah satu suara yang menggugat tersebut. Dalam buku ini penulis mempertanyakan benarkah Al-Qur'an yang sampai kepada kita hari ini murni wahyu seperti yang dikirim oleh Allah kepada Nabi Muhammad ataukah ia sudah tercampur budaya Arab dan kepentingan tertentu? Dengan menggunakan analisis kebahasaan kontemporer, melaui buku ini penulis menyuguhkan jawaban yang berbeda.
Terkesan kafir! Itulah membayangkan gugatan terhadap tafsir kitab suci oleh Doktor Aksin Wijaya. Pakar tafsir ini telah menulis karya yang berjudul, “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik atas Nalar Tafsir Gender” (2011).
Hendaknya dimaklumi, karena memang setiap kritik atas tafsir al-Qur’an, dianggap menentang agama. Apalagi menyatakan, “Tafsiran kitab suci umat Islam, terlampau laki-laki.” Karena itu, tidak heran jika seorang Islamis, Hartono Ahnmad Jaiz menuduhnya telah mengacak-acak al-Qur’an (endorsment).
Setelah membaca keseluruhan buku ini, ternyata maksudnya bukan demikian. Peraih nominasi desertasi di Mesir ini, justru sangat positif. Kritiknya terhadap dominasi tafsir yang patriarkhi, sangat konstruktif. Jauh dari tuduhan yang dilayangkan.
Cendekiawan ini menjelaskan bahwa, memang benar Islam itu memiliki tradisi dan bahasa Arab yang sangat laki-laki. Kendati demikian, lebih benar jika Islam itu merahmati seluruh alam, seluruh jenis kelamin. Karena itu, perlu memikirkan ulang, bagaimana Islam di pinggiran, di luar tradisi Arab secara formal yang terlampau maskulin (2011: 84).
Wahyu Allah sebagai nilai-nilai yang agung, mestinya dinegosiasikan dengan realitas kekinian dan kedisinian. Terlebih lagi saat ini, sedang popular adanya perjuangan kesetaraan gender. Hendaknya perbincangan tentang agama, etika dan praktik keseharian, mulai mempromosikan “perempuan” yang sejak lama dipinggirkan.
Upaya Aksin ini, mirip sekali seperti yang diupayakan filsuf perempuan India, Gayatri Cakravorty Spivak. Dalam esai kritisnya, Can Subaltern Speak? (1988) Spivak menginisiasi agar seluruh umat sadar, bahwa semua manusia memiliki haknya yang paling asasi. Entah lelaki maupun perempuan, entah di kota atau di desa, bolehlah hidup secara normal, tanpa mengalami penindasan.
Sebenarnya, jika persoalan ini dibicarakan dengan baik, maka tidak ada perbedaan di antara para ahli tafsir. Karena selama ini, perdebatan yang ada hanyalah buah dari kesalahpahaman.
Dalam tradisi Islam, ada contoh yang sangat menarik untuk menggambarkan hal ini. Misalnya soal warisan. Semua orang akan mafhum, jika harta warisan hendaknya dibagi secara adil. Memang benar al-Quran menuturkan, Lidz dzakari mitslu hazh zhil unsayain, atau bagian lelaki itu dua kali lebih banyak dari pada perempuan. Namun, teks itu boleh dinegosiasikan, jika memang secara kontekstual, sang perempuan membutuhkan bagian yang lebih, karena kondisi ekonomi yang kurang.
Seandainya para pembaca al-Qur’an berpijak pada tujuan-tujuan agama yang luhur (maqashid al-syari’ah), tidak akan banyak pertikaian, bahkan pengkafiran satu sama lain. Namun sayang, yang lebih dijunjung bukanlah kebajikan, tapi arogansi kehendak dan meninggikan hasil tafsirannya masing-masing. Dengan kata lain, pesan-pesan agama yang luhur, jarang tersampaikan dengan baik. Demikianlah, pokok persoalannya adalah komunikasi yang kurang baik.
Dalam konteks ini, Aksin mencoba memperbaiki komunikasi tersebut, khususnya dalam wilayah metodologis. Ternyata, al-Qur’an sebagai kalam ilahi, akan menunjukkan rahmat-rahmatnya yang hakiki, memihak yang marjinal dan memerdekakan hak-hak kemanusiaan, tatkala dibaca dengan menyandarkan diri pada maqashid al-syari’ah.
Upaya yang mulia ini, seperti tuturan sastrawan Muslim Mesir, Adonis, “Saya mengkritik Islam, karena saya mencintainya.” Doktor Aksin menggugat “tafsir yang terlampau lelaki”, maksudnya bukan hendak benar-benar menggugat, namun meluruskan maknanya yang bengkok. Al-Qur’an, “semestinya” merahmati semua manusia, baik itu lelaki, maupun perempuan. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.
Penerbit: Magnum, 2013
Tebal: 300 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Perdebatan tentang apakah Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad dalam bentuk seperti yang kita baca hari ini ataukah hanya dalam bentuk tertentu yang kemudian redaksinya disusun sendiri oleh beliau sempat menjadi pertanyaan besar dalam kajian Al-Qur'an. Tentu saja, jawaban mayoritas ulama bahwa wahyu turun dalam bentuk lafdzan wa ma'nan tidak memuaskan semua orang. Buku ini merupakan salah satu suara yang menggugat tersebut. Dalam buku ini penulis mempertanyakan benarkah Al-Qur'an yang sampai kepada kita hari ini murni wahyu seperti yang dikirim oleh Allah kepada Nabi Muhammad ataukah ia sudah tercampur budaya Arab dan kepentingan tertentu? Dengan menggunakan analisis kebahasaan kontemporer, melaui buku ini penulis menyuguhkan jawaban yang berbeda.
Terkesan kafir! Itulah membayangkan gugatan terhadap tafsir kitab suci oleh Doktor Aksin Wijaya. Pakar tafsir ini telah menulis karya yang berjudul, “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan, Kritik atas Nalar Tafsir Gender” (2011).
Hendaknya dimaklumi, karena memang setiap kritik atas tafsir al-Qur’an, dianggap menentang agama. Apalagi menyatakan, “Tafsiran kitab suci umat Islam, terlampau laki-laki.” Karena itu, tidak heran jika seorang Islamis, Hartono Ahnmad Jaiz menuduhnya telah mengacak-acak al-Qur’an (endorsment).
Setelah membaca keseluruhan buku ini, ternyata maksudnya bukan demikian. Peraih nominasi desertasi di Mesir ini, justru sangat positif. Kritiknya terhadap dominasi tafsir yang patriarkhi, sangat konstruktif. Jauh dari tuduhan yang dilayangkan.
Cendekiawan ini menjelaskan bahwa, memang benar Islam itu memiliki tradisi dan bahasa Arab yang sangat laki-laki. Kendati demikian, lebih benar jika Islam itu merahmati seluruh alam, seluruh jenis kelamin. Karena itu, perlu memikirkan ulang, bagaimana Islam di pinggiran, di luar tradisi Arab secara formal yang terlampau maskulin (2011: 84).
Wahyu Allah sebagai nilai-nilai yang agung, mestinya dinegosiasikan dengan realitas kekinian dan kedisinian. Terlebih lagi saat ini, sedang popular adanya perjuangan kesetaraan gender. Hendaknya perbincangan tentang agama, etika dan praktik keseharian, mulai mempromosikan “perempuan” yang sejak lama dipinggirkan.
Upaya Aksin ini, mirip sekali seperti yang diupayakan filsuf perempuan India, Gayatri Cakravorty Spivak. Dalam esai kritisnya, Can Subaltern Speak? (1988) Spivak menginisiasi agar seluruh umat sadar, bahwa semua manusia memiliki haknya yang paling asasi. Entah lelaki maupun perempuan, entah di kota atau di desa, bolehlah hidup secara normal, tanpa mengalami penindasan.
Sebenarnya, jika persoalan ini dibicarakan dengan baik, maka tidak ada perbedaan di antara para ahli tafsir. Karena selama ini, perdebatan yang ada hanyalah buah dari kesalahpahaman.
Dalam tradisi Islam, ada contoh yang sangat menarik untuk menggambarkan hal ini. Misalnya soal warisan. Semua orang akan mafhum, jika harta warisan hendaknya dibagi secara adil. Memang benar al-Quran menuturkan, Lidz dzakari mitslu hazh zhil unsayain, atau bagian lelaki itu dua kali lebih banyak dari pada perempuan. Namun, teks itu boleh dinegosiasikan, jika memang secara kontekstual, sang perempuan membutuhkan bagian yang lebih, karena kondisi ekonomi yang kurang.
Seandainya para pembaca al-Qur’an berpijak pada tujuan-tujuan agama yang luhur (maqashid al-syari’ah), tidak akan banyak pertikaian, bahkan pengkafiran satu sama lain. Namun sayang, yang lebih dijunjung bukanlah kebajikan, tapi arogansi kehendak dan meninggikan hasil tafsirannya masing-masing. Dengan kata lain, pesan-pesan agama yang luhur, jarang tersampaikan dengan baik. Demikianlah, pokok persoalannya adalah komunikasi yang kurang baik.
Dalam konteks ini, Aksin mencoba memperbaiki komunikasi tersebut, khususnya dalam wilayah metodologis. Ternyata, al-Qur’an sebagai kalam ilahi, akan menunjukkan rahmat-rahmatnya yang hakiki, memihak yang marjinal dan memerdekakan hak-hak kemanusiaan, tatkala dibaca dengan menyandarkan diri pada maqashid al-syari’ah.
Upaya yang mulia ini, seperti tuturan sastrawan Muslim Mesir, Adonis, “Saya mengkritik Islam, karena saya mencintainya.” Doktor Aksin menggugat “tafsir yang terlampau lelaki”, maksudnya bukan hendak benar-benar menggugat, namun meluruskan maknanya yang bengkok. Al-Qur’an, “semestinya” merahmati semua manusia, baik itu lelaki, maupun perempuan. Wa Allahu a’lam bi al-shawwab.