Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bahasa Dekonstruksi ala Foucault dan Derrida

Judul: Bahasa Dekonstruksi ala Foucault dan Derrida
Penulis: Dadang Rusbiantoro
Penerbit: Tiara Wacana, 2001
Tebal: 186 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Jakarta

Derrida adalah sebuah nama kontroversial sebagai seorang tokoh filsuf. Ajaran dia tentang dekonstruksi digugat banyak pihak. Dia meninggal Oktober 2004 dalam usia 74 tahun karena kanker pankreas. Beberapa ilmuwan boleh saja mencibir lelaki kelahiran El Biar, wilayah terpencil di Aljazair ini. Mereka bilang, Derrida tak sepenuhnya berfilsafat. Derrida hanya bermain-main dengan filsafat. Puncaknya, ketika pada 1992 Universitas Cambridge hendak memberi penghargaan pada Derrida, banyak profesor di sana yang menolak. Alasan mereka, tulisan Derrida mengemukakan ajaran yang absurd, yang menolak pembedaan antara kenyataan dan fiksi.

Siapakah dekonstruksi itu? Bagi Derrida dan para ‘umat’-nya, dekonstruksi tidak dapat didefinisikan. Sebab defenisi, kata Derrida, adalah sebuah pembatasan. Padahal dekonstruksi dimaksudkan untuk menembus batas. Bagaimana caranya? Dengan banyak membaca, menurut Derrida. Jadi, Goodreads ini bisa menjadi langkah pertama untuk me-dekonstruksi, seperti kata Derrida.

Tentu membaca dalam pengertian Derrida bukan membaca biasa dalam arti mengeja huruf per huruf dan melafalkan kata per kata, tapi membaca dalam dua lapis.. Lapis pertama, pembacaan ditujukan untuk menampilkan apa yang disebut Derrida sebagai “tafsiran dominan” atas teks atau bacaan. Lapis kedua berusaha memperlihatkan titik lemah serta kontradiksi dalam tafsiran dominan itu dan menyajikan pembacaan tandingan lain.

Pembacaan yang dilakukan Derrida berusaha membongkar hegemoni tafsir yang menghasratkan ketunggalan, berupaya mengguncang pemaknaan dominan atas teks. Bagi Derrida, setiap teks mempunyai dunianya sendiri yang kaya. Pusat teks ada di mana-mana. Dunia teks yang demikian terlalu reduktif bila mesti dimaknai dengan satu atau beberapa makna dominan, yang pada gilirannya memandulkan lahirnya pemaknaan lain. Kekayaan teks, bagi Derrida, terletak pada kekayaannya mengandung kembaran makna dan kebergantian makna-makna tersebut—dalam artian tidak ada maknanya yang final.

Dunia adalah teks yang tak mempunyai pusat, kata Derrida. Jika ada yang berusaha mereduksi teks itu menjadi kekuatan sentral, dia sudah bertindak fasis. Tetapi ini bukan berarti Derrida tak percaya adanya pusat. Tetapi, Derrida mengimani, tetap bisa berjalan terus tanpa pusat. Kata Derrida, pusat adalah suatu fungsi, bukan makhluk. Bukan suatu realitas, tetapi sebuah fungsi. Dan Derrida tidak menghancurkan pusat itu, tetapi menempatkannya.

Teks adalah Derrida. Dunia penuh dengan teks. Kita hidup dalam teks. Berarti kita hidup dalam Derrida. Jangan-jangan, kita adalah Derrida.

Di manakah Anda ketika dunia sedang bertanggal 25 Juni 1984? Kira-kira, saya waktu itu sedang duduk di kelas 1 sebuah SD di daerah Surakarta. Saya lagi asik-asiknya bermain dan belajar berhitung waktu itu. Tetapi, sementara itu, nun jauh di Paris sana, langit sedang mendung. Berduka. Michel Foucault mangkat pada usia 58 tahun.

Katanya sih sakit yang hari ini kita kenal penyakitnya dengan AIDS. Foucault menjadi orang Perancis pertama yang meninggal karena penyakit itu. Menakutkan tak kabar itu? Tentu bagi sebagian orang kabar ini menggentarkan. Bahkan menjijikkan. Tetapi seandainya mereka tahu siapa Foucault, saya kira, mereka akan iri. Karena pria plontos ini sedang menikmati surga lebih dulu dari kita.

Foucault mengajarkan pada kita agar tidak silau pada selebritas seseorang. Manusia zaman sekarang, kata Foucault, terlalu di kendalikan oleh ketertarikan pada karakter orang. Persepsi selalu tercantol pada nama, pada wajah. Kata-kata tidak lagi didengarkan menurut kekuatan isinya, melainkan siapa yang mengucapkan.

Foucault telah mengabarkan pada kita untuk berani memilih jalan sendiri. Lebih dari itu, ia juga telah membukakan jalan lain yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Memang tidaklah murah harga untuk membabat hutan itu. Bahkan seperti yang kita tahu, Foucault harus menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tumbal, bagi lempang jalan yang selalu dicintainya, Ilmu Pengetahuan.

Siapakah sebenarnya Foucault ini? Tak mudah untuk menfenisikan dia. Strukturaliskah ? Neo-Strukturaliskah ? Postrukturaliskah? atau Posmoderniskah ? Apapun itu, ternyata Foucault tidak menyukai semua julukan yang dilekatkan orang padanya.

Seorang teman perempuan pernah begitu ‘bernafsu’ untuk membaca salah satu karya Foucault. Sehingga, saya harus pontang-panting untuk mencari buku itu. Tak ketemu juga. Tetapi akhirnya, seorang teman pria tak keberatan meminjamkan buku itu. Buku itu adalah Histoire de la sexualite (1976) dalam terjemahan bahasa Indonesia.

Ya. Memang penjara dan seks merupakan salah satu tema pokok dalam karya-karya Foucault. Seks di sini bukanlah hubungan yang melibatkan persoalan perkelaminan saja. Seks yang hendak dibidik Foucault adalah sejarah seksualitas dalam beberapa periode dalam masyarakat barat. Seks pada akhirnya bukan lagi persoalan keintiman dan privat semata. Lebih dari itu, seks sangat terkait erat dengan kekuasaan dan wacana. Madam Sarup seperti yang dikutip Donny Gahral Adian mengatakan, seks di tangan Foucault, tidak lagi mempersoalkan bagaimana orang membelenggu yang lain. Melainkan bagaimana orang membelenggu dirinya sendiri.

Nah, dalam buku ini, secara khusus, Foucault mengulas tentang, ‘manakah yang lebih penting, isi suatu karya atau pengarangnya?’ Ketiadaan suatu pusat dalam struktur suatu karangan bisa berarti ketidakhadiran seorang pengarang, menurut Foucault. Tranformasi-transformasi historis di masa lampau, kata Foucault, telah membuat eksistensi fungsi pengarang menjadi tidak abadi.

Begitulah. Betapa kita sebagai manusia telah berutang sama mbah Foucault ini. Di derasnya arus mesin-mesin kekerasan, Foucault menawarkan sebuah oase yang menyegarkan bagi ingatan kita yang terbatas. Terima kasih ya mbah Foucault.