Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan

Judul: Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan 
Penulis: Yudi Latif 
Penerbit: Kompas, 2009
Tebal: 209 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong


Yudi Latif kembali menghentakkan kita dari keterlelapan panjang terhadap sastra. Ia bisikan ke telingga kita perihal kesastraan sebagai ruh suatu bangsa. Tanpa kesastraan, sebuah bangsa sesungguhnya tercerabut dari resonasi puitiknya. Melalui karakter tulisannya yang kuat, Kang Yudi seolah mengajak bahwa sudah saatnya bangsa ini kembali menyemai karakternya lewat kesastraan. Sebab, telah terlalu lama bangsa ini terbenam dalam kehidupan yang datar, tidak puitik -- di mana kehidupan begitu kaku tanpa dipayungi oleh ruh kesastraan, sebagai ruh dari budaya bangsa sendiri. Ini yang digugat oleh Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan (Kompas, 2009). Dalam pengantarnya ia, awali tulisan dengan kalimat debita ab erudito quoque libris reverenti, “kehormatan orang terpelajar berasal dari buku”. Dalam kesastraan ada kehormatan, dalam kata ada perlawanan, dan dalam kata ada gerak yang selalu menyala. Kata-katalah sesungguhnya yang menunjukkan karakter sebuah bangsa.

Indonesia di altar paradoksnya telah kehilangan dirinya yang paling otentik, yakni kesastraan. Setelah angkatan 66 berlalu, ditingkahi zaman, nyaris Indonesia tidak lagi bersentuhan dengan ruh kesastraan sebagai sebuah karakter budayanya. Politik berjalan di kabut kehampaan, menampilkan diri sebagai sebuah parodi. Hukum berjalan dengan nalar positivisme. Ekonomi bergerak dengan logika pragmatisme. Segenap aspek dalam organisme bangsa ini nyaris bermetabolisme tanpa ruh estetik dan puitik. Pucuk dari kondisi ini, kesastraan, kata Putu Wijaya dalam epilog buku ini, telah termarginalisasikan. Ironisnya, ruang publik tidak lagi menjadi momentum perjumpaan simbol-simbol eksistensial. Bagaikan gaung, ruang publik tidak lagi diisi oleh pergulatan menyemai karakter bangsa. Mengembalikan ruang publik kepada fitrahnya menjadi penting. Fitrahnya sebagai ruang bagi pergulatan kritisisme dan budi kreatif manusia dilangsungkan. Di sinilah kesastraan menuai peran.

Ruang publik adalah perkecambahan kesastraan. Ia tidak hanya bersipat diskursif, tapi juga eksistensialis. Ide ruang publik yang ditawarkan oleh Yudi Latif bertitik tolak dari akar historisnya. Di mana dalam bentuk yang paling purba, wacana dominan pada fase kecambah ruang publik modern berkisar pada isu “kemadjoean”. Kemadjoen dalam arti mengekspresikan suatu kehendak untuk mencapai status sosial yang ideal, baik sebagai individu maupun komunitas imajiner, yang meliputi banyak hal; kemajuan pendidikan, modernisasi, kehormatan, dan keberhasilan dalam hidup. Ruang publik amat penting bagi sebuah bangsa yang bergerak menjadi (being), memperkukuh karakter demokrasi. Karena itu, ia membutuhkan pasokan dari keberaksaraan dan kesastraan. Tanpa itu, maka ruang publik tidak ubahnya sebagai gaung dari lolongan sejuta srigala, menakutkan. Karena pada saat ini, perang identitas berubah ganas menjadi pembunuhan-pembunuhan tanpa nilai. Betul ruang publik adalah corpus terbuka, tapi jika ia diselinap oleh ruh diskursif tanpa nilai puitik-estetiknya, maka tak ubah ruang publik menjadi medan laga antara pelbagai identitas. Maka memasukan ruh kesastraan di ruang publik, dengan sendirinya mendorong bertumbuhnya rasa, ikatan, dan kejiwaan yang sadar akan pentingnya proses menuju tatanan ideal, eksistensial, berkarakter bagi sebuah bangsa.

Satu hal yang diperkukuh oleh Yudi Latif dalam bukunya ini, baik di ruang publik maupun di ruang state --berupa hukum, politik, ekonomi-- kesastraan penting dan keberaksaraan adalah sebuah keniscayaan. Ini ia kemukakan dengan nalar yang kuat, belum tergoyahkan. Bagi Yudi Latif, lintasan fase perjuangan kebangkitan nasional itu secara jelas menunjukkan pentingnya perjuangan kata, bahasa, aksara, dan sastra. Bukan saja khas Indonesia, karena sesungguhnya tak ada bangsa yang dapat maju tanpa memuliakan keberaksaraan dan kesastraan. Dalam lima nalar ia kukuhkan argumentasinya, untuk mengatakan keberaksaraan dan kesastraan penting bagi sebuah bangsa. Pertama, tradisi tulis merupakan sarana olah ketepatan. Kedua, keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban. Ketiga, keberaksaraan merupakan organ kemajuan. Keempat, keberaksaraan sebagai instrumen budaya dan perkembangan saintifik. Kelima, keberaksaraan sebagai instrumen dari perkembangan kognitif. Terlebih ketika bangsa, katakanlah Indonesia, telah dijambaki oleh budaya kedangkalan. Maka kian pentinglah gerakan kesastraan dan keberaksaraan dibangkit dan dibiakkan kembali sebagai upaya menyemai karakter bangsa.

Meminjam teori Frank Furedi (2006), “the cult of philistinism”, Yudi Latif menggugat bahwa pemujaan terhadapp budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interest-interest material dan praktis, telah menjadikan universitas dan lembaga pendidikan lainnya sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme. Suatu etos yang menghargai seni, budaya, dan pendidikan sejauh ia menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis. Pucuk layunya, orang-orang yang membaca kesusastraan dan mengobarkan gairah intelektual berisiko dicap sebagai ‘elitis’, ‘tak membumi’, dan ‘marjinal’. Kedalaman ilmu dan wawasan kemanusiaan dihindari, kedangkalan dirayakan. Ini sama saja menentang digdaya keberaksaraan dalam membangkitkan gairah Bumi Putra, dalam menghancur lantakan tanda-tanda kolonialisme. Katakanlah gerakan Sumpah Pemuda, Budi Utomo, dan Yayasan Kartini. Perjuangan itu berjalan atas nalar keberaksaraan dan kesastraan sebagai bara api yang kuat, mampu membakar tanda-tanda kolonialisme hingga tidak berbekas di Hindia Belanda.

Kini, Indonesia, dengan kegairahan keberaksaraan dan kesastraan yang masih tersisa, malah kian terancam oleh terpaan luas dan intens dari multimedia, khususnya televisi. Selainnya biasnya, kata Yudi Latif, terhadap kelisanan dan kemaharajalelaannya di tanah air, saat tradisi literasi rapuh dan kesastraan dimarjinalkan, memberi penguatan budaya kedangkalan seraya melemahkan fungsi-fungsi keberaksaraan. Tekanan pada utilitarianisme dalam kelemahan tradisi literasi dan erudisi memberi ketimpangan pada kehidupan publik.

Akhirnya, dengan pendekatan baru, Yudi Latif hendak menyadarkan betapa kesastraan dan keberaksaraan itu penting. Ia bukan saja mengembalikan peran pada kesastraan, tetapi juga mendorong bagaimana manusia Indonesia harus bertutur secara fair dan bijak tentang sastra dan aksara. Yudi Latif hendak mengembalikan makna, bahwa kesastraan sama halnya dengan bedil dan bambu runcing, menjadi bagian yang istimewa dalam sejarah perjuangan Indonesia. Pamungkas, buku Yudi Latif ini adalah mutiara yang baru saja terungkap kilaunya ketika kesastraan berada di kubangan pekat, hitam. Di sinilah buku Yudi Latif memuaikan makna dan mengingatkan pentingnya kita kembali menenggok kesastraan sebagai upaya menyemaikan karakter bangsa.