Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Hak untuk Malas

Judul: Hak untuk Malas
Penulis: Paul Lafargue
Penerbit: Jalasutra, 2008
Tebal: 108 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 35.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312



Menyuntikan hidrosianik kepada tubuhnya dan istri yang sangat dicintainya merupakan hal terahir yang dilakukan laki-laki ini. Dalam surat bunuh diri yang ia buat sebelum kejadian ia berkata:

“Sejak bertahun-tahun lalu saya telah berjanji pada diri saya untuk tidak hidup lebih dari 70 tahun. Saya telah memastikan saat untuk keberangkatan saya meninggalkan kehidupan ini dan telah menyiapkan cara untuk melaksanakan keputusan ini: sebuah suntikan hipodermik berisi hidrosianik.

Saya mati dengan kebahagiaan puncak berupa memiliki keyakinan bahwa dalam waktu sangat dekat akan segera Berjaya tujuan yang untuk itu saya telah mengabdikan diri saya sejak 45 tahun yang lalu. Hidup Komunisme Panjang umur Internasional!”

Siapakah dia? Kenapa ia memiliki keberanian yang jarang dimiliki oleh manusia lainnya? Dialah Paul Lafargue seorang jurnalis sosialis Marxis revolusioner asal Perancis. Ia seorang kritikus sastra, penulis dan aktivis politik. Ia menikahi putri Karl Marx yaitu Laura dan mengahiri hidup bersama-sama.

Tulisan ini mencoba meresensi karya Lafargue yaitu The Righ to Be Lazy yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan Hak Untuk Malas. Buku ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh komunitas Merah-Hitam dan diterbitkan oleh penerbit Jalasutra tahun 2008. Buku berukuran 13 x 18 sentimeter ini memiliki jumlah halaman 74 lembar. Meski bukunya tipis, namun bagi orang yang awam terhadap Marxisme seperti saya tetap dibutuhkan konsentrasi untuk memahami buku ini.

“Marilah kita malas dalam segala hal kecuali untuk urusan cinta dan minum, kecuali untuk bermalas malasan”. Perkataan Lessing ini dituliskan Lafargue untuk membuka bab satu. Dalam bab ini Paul langsung menyerang dogma kerja. Tidak hanya dogma kerja yang mengalienasi sebagaimana Karl Marx yang mengutuk pola upahan. Namun melampauinya dengan kritik yang lebih mendasar tentang kerja itu sendiri dimana menurutnya kerja merupakan aktifitas manusia yang tidak masuk akal. Bahkan kerja bukan kebutuhan organic manusia.

Dalam tulisan ini Lafargue mempertanyakan mengapa walau sedemikian besar kerja telah dilakukan kaum pekerja, tetap saja kebutuhan jasmaniah dan mental mereka tidak terpenuhi. Kelaparan, kekurangan bahan sandang dan papan semakin menggerogoti hidup mereka. Akapah kaum pekerja kurang rajin? Ataukah justru mereka terlalu rajin.

Lafrgue menyoroti betapa dahsyat dogma kerja diamini oleh kaum pekerja. Dia menuliskan sesuatu yang penting saat menggambarkan bagaimana ketika krisis ekonomi datang, kaum pekerja justru semakin giat dan berbondong bondong berbaris di depan tempat untuk bekerja. Mereka enggan menggunakan kesempatan ini untuk mendistribusikan barang-barang yang telah mereka produksi kepada masyarakat umum secara gratis. Disini Lafargue terkesan hendak menyiratkan bahwa masalah perubahan social terkait dengan perubahan kesadaran. Pernyataan Lafargue ini secara tidak langsung mengambil posisi berbeda dari ramalan Karl Marx bahwa Kapitalisme berpotensi hancur bila krisis ekonomi datang. Sekali lagi kapitalisme tetap kokoh. Bukan hanya karena system kapitalisme juga semaksimal mungkin bertahan dan merubah diri, melainkan juga karena sanga actor perubahan yaitu ploretariat belum tentu memiliki keberanian untuk menyelesaikan penderitaanya.

Buku ini sangat kontekstual didalamnya banyak berisi data dan fakta social terutama realitas sosial revolusi Industri di Inggris dan Perancis awal abad ke 19 yang betul-betul menjadikan manusia seperti sapi perah. Lafargue menceritakan bagaimana pekerja perempuan harus bersaing dengan mesin. Pekerja perempuan hanya mampu membuat lima lubang jala rajut dalam satu menit. Sedangkan mesin rajut sanggup membuat 30.000 lubang jala dalam waktu yang sama. Kompetisi ini begitu absurd dan mematikan, namun tetap saja para pekerja ini malah semakin giat melipatgandakan semangatnya bukan mengalokasikan waktu untuk beristirahat. Tidak hanya pekerja perempuan, anak-anak pekerja juga diceritakan sebagai korban dari dogma kerja yang menindas manusia.

Penolakan Lafargue terhadap kerja bukanlah gerak melarikan diri dengan menjadi parasit dengan mengkritik kerja sekaligus bergantung kepada orang-orang yang bekerja. Bukan itu, melainkan melihatnya sebagai bagian dari aktifitas ciptan subjektif manusia. Dogma yang sengaja diciptakan oleh kepentingan manusia yang ingin mengambil keuntungan dari manusia yang lain. Ia ingin menyakinkan bahwa etika kerja kapitalis yang disebarkan kepada kalangan luas itu buruk dan tidak bermanfaat. Tawarannya sudah jelas bahwa kerja hendaknya menjadi “sekedar bumbu bagi senangnya kebersantaian, suatu olahraga yang bermanfaat bagi organism manusia, suatu hasrat yang beruna bagi organisme social”

Kerja menguras waktu, tenaga dan ruang jelajah manusia. Padahal ada banyak sekali aktifitas selain kerja. Dengan argument ini, Lafargue melakukan kontra atas hak untuk bekerja (right to work) dengan membaliknya menjadi hak untuk bermalas-malasan (the right to be lazy).

Buku yang ditulis Lafargue di penjara Sainte Pelagie Perancis ini sudah berusia 129 tahun. Konteks yang melatar belakangi lahirnya buku ini tentu berbeda dengan konteks social saat ini. Data dan Fakta yang dikemukakannya juga sudah usang. Namun kondisi para pekerja yang diceritakannya memiliki benang merah yang hampir sama dengan nasib pekerja saat ini. Berbagai macam berita setiap hari kita dapatkan tentang nasib para pekerja apakah di dalam negri maupun di luar negeri. Belum ada perubahan yang berarti, bahkan bila melihat nasib para pekerja migrant perempuan yang saat ini nasibnya mengenaskan rasanya kita mesti kembali memeriksa dogma kerja yang melekat erat dibenak kita. Dogma yang diciptakan karena kepentingan para pemilik modal yang bisa menyetir bahkan pemimpin negri ini. Jadi kenapa kita tidak setujui saya usul Lafargue ini bahwa Malas merupakan Hak!