Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Epistemologi Qur’ani (Muhammad Syahrur)

Judul: Epistemologi Qur’ani: Tafsir Kontemporer Ayat-ayat Al-Quran Berbasis Paradigma Materialisme-Dialektika-Historis
Penulis: Muhammad Syahrur
Penerbit: Marja
Tebal: 376 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312




Dalam sejarah literasi, Al-Quran merupakan salahsatu bacaan terpenting, bukan saja sumber referensi umat Islam, melainkan telah menjadi bagian literasi dunia. Usianya yang telah menyejarah menjadikan kitab agama Islam ini memiliki banyak apresiasi yang beragam. Salahsatunya hadir dengan tafsir melalui paradigma ilmiah marxisme-- atau yang kita kenal dengan paradigma materialisme-dialektika-historis.

Sebagai karya ilmiah, buku ini bukanlah hal yang menggagetkan karena memang jauh sebelumnya umat Islam, termasuk kalangan penafsir kitab-kitab Islam sudah bersinggungan dengan wacana pemikiran di luar Islam. Dominasi pemikiran Yunani kuno misalnya, sempat bertahan hingga lebih 10 abad mewarnai khasanah pemikiran para ulama. Persinggungan  seperti itu tentu saja banyak memberikan konstribusi positif. Sebab, dengan demikian umat Islam di kawasan Arab saat itu tidak larut dalam kejumudan berpikir.

Sayangnya, semenjak munculnya ide-ide filsafat materialisme yang berkembang di Eropa di abad 19, pemikiran Islam masih mempertahankan tradisi Yunani kuno. Adopsi ini menyebabkan cara-cara berpikir pemikir Islam menjadi sangat idealistik dan tidak memberikan tawaran  perspektif bagi umat Islam untuk menjawab perubahan sosial yang terus berkembang.

Cermin pemikiran idealis yang dimaksud di sini adalah klaim bahwa pemikiran manusia terlepas dari konstruksi sosial. Artinya, ide, gagasan, atau filsafat bebas terbebas dari realitas kehidupan. Maka, melalui nalar dialektika ala marxian, Muhammad Syahrur manawarkan cara baru menggali khasanah pemikiran Islam.

Filsafat dialektika  sebagaimana kita tahu, ia lahir dari usaha rekonstruksi atas kegagalan pemikiran filsafat idealis Yunani dan Eropa kuno. Lalu, melalui usaha G.W Hegel, corak pemikiran Eropa abad 18 mencapai peralihan yang revolusioner dengan konsep dialektika-nya.

Sayangnya, konsep ini belum beranjak ke arah epistemologi praksis. Dialektika Hegelian masih idealis, karena tidak mengenal realitas-sosisal, material, dan kompleksitas dunia. Karl Marx kemudian memperkenalkan istilah baru dalam filsafat berupa materialisme-dialektika-historis, sebagai “penyempurnaan” dari kelemahan filsafat idealisme sebelumnya.
Satu contoh pemikiran idealistik yang paling konkret seperti ini bisa kita temukan pada pemikir besar Islam bernama al-Ghazali. Dalam kitabnya yang terkenal “majmu’ Al-Rasa’il,”(kumpulan risalah) misalnya, Ghazali menganggap “proses berpikir hakikatnya adalah mengingat kembali apa yang sudah ada dalam pikiran manusia, karena akal manusia telah mendapatkan persepsi sebelumnya dalam alam transenden.”

Melalui buku inilah Syahrur -dengan penguasaan filsafat materialisme-dielektika-historis- memberikan peringatan bahwa filsafat Islam aliran idealistik harus dicampakkan.  Bernama lengkap Muhammad Syahrur. Lahir dari keluarga muslim taat di  Damaskus Syiria, 11 April 1938.

Pengaruh intelektualnya banyak didapatkan dari Rusia di mana ia menempuh pendidikannya selama lebih sepuluh tahun.  Pengaruh filsafat modern terutama filsafat materialisme-dialektika-historis yang didapatkan dari pergaulan intelektualnya di negeri bekas komunisme itu membuat dirinya mampu mengejawantahkan ide-idenya secara kreatif.

Terhadap gagasan pembaruannya dalam Islam, ia melihat semua aliran pemikiran yang tumbuh berkembang di dunia ini sangat lekat dengan situasi sosial. Filsafat manapun “selalu diperuntukkan bagi zamannya.” Bahkan, al-Quran pun sebenarnya bukanlah pesan Tuhan yang sakral dan tidak boleh direkonstruksi ulang. Syahrur menegaskan al-Quran itu sendiri turun dipengaruhi ruang dan waktu. Dengan itu pula, al-Quran, di masa sekarang harus banyak dikaji ulang, melalui penalaran yang materialis dan dialektik.

Lima Pilar
Ada lima dasar yang dijadikan Syahrur dalam menetapkan paradigma barunya. Pertama, mengambil analisa dari kajian Arab komtemporer yang diambil dari kajian-kajian bahasa Arab klasik. Kedua, memakai ilmu kebahasaan melalui pendekatan sinkronis dan menolak pendekatan diakronis.

Ketiga, syahrur menolak absolutisme Islam sebagai ajaran yang lengkap, kaaffah. Anggapan bahwa Islam telah sempurna hanya akan menjebak ke arah sakralisasi agama. Bagi Syahur al-Quran dan al-Sunnah turun bukan tanpa latar belakang sejarah di mana Tuhan mewahyukan kepada Nabi.

Keempat, wahyu bukanlah barang sakral yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia, karena jelas wahyu itu sendiri jelas diperuntukkan oleh Tuhan untuk manusia. Jika demikian, tentunya semua yang ada dalam kitab suci bisa diketahui oleh umat manusia. Kelima, antara wahyu dan akal tidak ada pertentangan. Tuhan sendiri memberikan tempat kepada akal manusia sebagai cara mengatasi segala macam persoalan.

Bagi Syahrur, sudah tidak saatnya lagi umat Islam mendikotomikan antara pemikiran Barat dan Islam. Tersirat dalam berbagai karyanya yang lain, Syahur menilai, tidak ada pemikiran Islam yang asli. Apa yang sering dikatakan sebagai “filsafat kebenaran” seperti yang diagung-agungkan ulama adalah klaim tanpa dasar.

Akibat dari klaim yang direstui oleh para penguasa Islam dan diklaim sebagai kebenaran tunggal oleh para ulama sekarang ini justru berdampak buruk, berupa menguatnya fanatisme golongan, dan hanya bisa berlindung pada posisi-posisi pemikiran atau politik masa lalu yang telah kadaluarsa dan telah lewat ratusan tahun yang lalu, yang bisa dipenuhi dengan klaim-klaim kafir, menyimpang, zindiq, fatalisme, liberalisme, sekularisme dan sebagainya.

Apa yang penting diperhatikan dari rangkaian pemikiran Syahrur adalah “seringnya para pemikir Islam mengambil kesimpulan terhadap suatu masalah stanpa terlebih dahulu melakukan riset pada problem-problem yang dihadapinya. “ Ada kenyataan, para pemikir Islam sekadar mencari justifikasi terhadap pandangan mereka melalui kutipan-kutipan teks-teks al-Quran, atau teks-teks yang disandarkan kepada ucapan Nabi.

Di lain pihak, intelektual Islam, juga tidak mau memanfaatkan atau bahkan menjaga jarak dengan filsafat atau hasil kreasi pemikiran manusia dengan cara-cara apologis yang jauh dari semangat dialektika sebagaimana yang terdapat dalam al-Quran. Bagi Syahrur hal ini sangat memprihatinkan, karena berdampak pada marginalisasi umat Islam dalam proses pencapaian kemajuan perabadaban.

Tentang Jadal
Kembali kepada persoalan konsep dialektika, Syahrur menegaskan bahwa dialektika, atau jadal (dalam bahasa Arab) sangat erat terkait dengan paradigma al-Quran itu sendiri. Pandangan al-Quran terhadap manusia misalnya, bagi Syahrur sangat materialis dan dialektis. Artinya, jenis dialektika di sini berlaku untuk manusia dengan keberadaannya sebagai entitas hidup dan berdimensi material, yaitu keberadaan mansuai sebagai organik (basyar). Dalam surat al-Kahfi ayat 54 ditegaskan, “dan manusia adalah sesuatu yang paling banyak berdialektika.” (halaman 21)

Kedua, al-Quran sebagaimana banyak diulas dalam buku ini, mengakui adanya pola hubungan antara kesadaran dengan realitas-eksternal obyektif yang bersifat material di luar diri manusia. Hubungan antara kesadaran dengan realitas eksternal adalah dengan pola korespondensif, yang menjadi sumber pengetahuannya adalah dunia eksternal yang berada di luar diri manusia, yang kemudian ditransformasikan pada kesadaran.

Sebagai implikasinya adalah pengakuan bahwa pengatahuan manusia bersifat riil, bukan semata-mata ilusi. Sebab segala sesuatu yang berada di luar jiwa manusia, yang menjadi obyek pengetahuan manusia, mempunyai realitas yang obyektif.(halaman 9)

Buku ini hadir bukan sebagai tafsir ayat per-ayat atas al-Quran, melainkan tafsir universal berkaitan dengan gagasan pembentukan epistemologi baru Islam yang bertumpu pada aliran filsafat materialisme-dielektika historis.

Melalui slogan epistemologi-dialektik, Sahrur ingin menegaskan, bahwa ajaran Islam bukanlah ajaran yang idealis, asbtrak dan melangit. Wahyu diturunkan Tuhan adalah ajaran  yang diperuntukkan manusia jelas sangat erat kaitannya dengan situasi sosial kehidupan.

Antara ajaran dan realitas itu sendiri hubungannya sejajar dan berdialektik dalam rangka menemukan corak perubahan yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, Islam adalah ajaran yang praksis dan realis bagi kehidupan umat manusia.