Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme

Judul: Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme
Editor: Martin van Bruinessen
Penerbit: Mizan
Tebal: 352 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 85.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312



Usai tumbangnya Orde Baru, disinyalir ada yang berubah dalam gerak Muslim Indonesia. Editor buku ini, Martin van Bruinessen, dalam Mukadimah maupun di Catatan Akhir-nya mengistilahkan pergerakan itu sebagai conservative turn alias pergeseran ke arah konservatif.

Asumsinya, selama Orde Baru, wajah Islam Indonesia terkata ramah dan toleran. Tak tebersit mendirikan negara Islam. Hubungan Muslim-Kriatiani adem ayem. Penganut Syiah nyaman beribadah tanpa dijumpa gesekan dengan kelompok aliran lain.

Namun, selepas Soeharto lengser, laku konservatif serasa menemukan momentum. Wajah Islam Indonesia tercoreng dengan aksi pemboman Bali I dan II, teror jelang Natal di beberapa gereja, menjamurnya 'Perda Syariah', inisiasi memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi, gesekan Syiah-Sunni tiba-tiba menyeruakkan konflik.

Buku Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalis merupakan kumpulan penelitian empat sarjana muslim Indonesia yang disimpulkan Martin, telah terjadi perubahan sikap beragama/keberagamaan dalam tubuh Muslim Indonesia menuju arah laku konservatif.

Bermula dari gaya konservatif dalam memaknai (teks) agama yang dilakukan semata harfiah. Kemudian merambat pada menjalani praktik beragama secara rigid.

Kajian pertama dilakukan Moch Nur Ichwan. Ia menyoroti dua fatwa kontroversial MUI pada 2005 terkait Ahmadiyah serta tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Diakui atau tidak, fatwa tersebut justru memicu aksi kekerasan dan kegaduhan di akar rumput. MUI pasca-Soeharto mulai menjaga jarak dengan pemerintahan Gus Dur dan Megawati karena keduanya tidak menaruh simpati kepada lembaga tersebut (halaman 32).

Pun, memperluas cakupan keanggotaannya dengan melibatkan orang-orang yang berpandangan serba islamis sembari menutup pintu keanggotaan dari kalangan Syiah, Ahmadiyah, dan penganut Islam liberal. 

Sedangkan Ahmad Najib Burhani mensinyalir terjadi arus konservatif dalam tubuh Muhammadiyah. Indikatornya ketika pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2005, tak satu pun dari kubu 'progresif' masuk dalam jajaran pimpinan. Kesannya seperti ada upaya bersih-bersih yang dilakukan kelompok 'konservatif'.

Kubu 'progresif' pernah mendominasi di Muhammadiyah dengan menggelorakan perdebatan agama dengan penafsiran-penafsiran baru yang mengundang resistensi kelompok 'konservatif'.

Pertautan politik lokal dan syariah terjadi di Sulawesi Selatan turut menghasilkan laku konservatif. Daerah yang pernah menjadi basis gerakan Darul Islam (NII) Kahar Muzakkar tersebut oleh eks penganut DI pasca lengsernya Soeharto --oleh penelitian Mujiburrahman--serta-merta membentuk Komite Persiapan Pelaksanaan Syariah Islam (KPPSI).

Uniknya, tak sedikit anggota KPPSI justru terjun di panggung politik praktis dengan menjadi anggota DPRD; sikap paradoks ketika demokrasi sering dicap haram. Di Bulukumba, pada 2002 dan 2003, sang bupati rajin mengeluarkan sejumlah 'Perda Syariah'. Kebijakan itu diyakini bakal populer di tengah konstituennya. Dengan artian, pemunculan aturan tersebut boleh jadi hanya sebagai strategi politik pelanggengan kekuasaan.

Sementara Muhammad Wildan menjadikan Solo sebagai setting penelitian. Di mana banyak gerakan Islam konservatif (baca: radikal) semakin eksis sejak tahun 1998. Hipotesis yang bisa diberikan atas fenomena tersebut ialah Muslim sinkretis (abangan) sebagai mayoritas memandang atau bahkan ikut serta dalam gerakan Islam Salafisme (konservatif) karena dipandang ajarannya lebih sederhana, ketat, dan jelas aturan-aturannya (hitam-putih). Meski begitu, gerakan-gerakan radikal masih menjadi kalangan minoritas.    

Islam Indonesia sejak diperkenalkan Wali Sanga terkata berwajah moderat. Kerap menafsirkan dogma agama secara harfiah, namun tak jarang membuka pemahaman baru yang luwes menyesuaikan kondisi zaman dan tempat. Sayangnya, dalam buku ini Martin lebih asyik menamakan 'Islam moderat', sebagai mayoritas muslim Indonesia, dengan istilah 'Islam liberal-progresif'.

Runtuhnya Orde Baru juga menjadi berkah bagi berkembangnya paham Islam liberal (kemunculan kelompok JIL, misalnya). Boleh jadi, pergerakan Islam konservatif yang semakin masif pasca-Soeharto justru disebabkan oleh pesatnya kajian Islam liberal sebagai reaksi perlawanan.

Spirit dan kajian pembaruan agama sudah berjalan sejak era 70-an dengan dimotori Cak Nur, Gus Dur, dan Menteri Agama Munawir Syadzali--dengan mengirimkan jebolan IAIN belajar Islam ke negara-negara Barat. Namun, pemikiran dan terutama sikap mereka tetap bersandar penghormatan mendalam terhadap kalangan 'konservatif'. Hal inilah yang tidak diungkap Martin.

Jadi, bila hendak objektif, Islam Indonesia yang moderat, tidak saja sedang berada dalam 'ancaman' kelompok konservatif/fundamental--seperti judul buku ini. Pun 'terusik' oleh pemikiran kalangan progresif-liberal; di mana 'petuah-petuahnya' tidak sedikit menimbulkan kegaduhan di akar rumput--yang sudah baku corak paham dan ritus keagamaannya.

Satu hal mendasar luput dari buku ini adalah alpanya Martin dan empat peneliti tersebut memotret fenomena lain: minat Muslim Indonesia berhaji dan umrah semakin tinggi. Perkembangan perbankan syariah semakin prospektif. Lembaga zakat dan amal bermunculan seiring tingginya kesadaran untuk berbagi. Pun, meningkatnya kepedulian mengonsumsi produk-produk halal dan maraknya Muslimah berhijab. Dari fenomena ini, lantas siapa yang merasa terancam?

Terkait peristilahan, dikotomi 'Islam konservatif', 'Islam moderat', dan 'Islam progresif/liberal' memang menyimpan kompleksitas pemaknaan dan perdebatan. Martin pun kesulitan memberikan batasan cakupan ketiga istilah tersebut. Terlepas itu, Ahmad Syafii Maarif lewat endorsment-nya menyatakan Islam Indonesia akan terus bergerak tanpa henti untuk menemukan format yang lebih ramah, terbuka, inklusif, moderat dan modern.