Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Sang Pendeta dan Kekasihnya (Seri Cerpen Dunia)

Judul: Sang Pendeta dan Kekasihnya (Seri Cerpen Dunia)
Penulis: Yukio Mishima, Ernest Hemingway, Yasunari Kawabata, Guy de Maupassant, Alexander Solzhenitsyn, dll.
Penerbit: IndonesiaTera, 1992
Tebal: 158 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok kosong


Buku Seri Cerpen Dunia: Sang Pendeta dan Kekasihnya ini merupakan kumpulan cerpen dari pengarang asing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Sapardi, terjemahan karya sastra tidak lagi menjadi milik sastra sumbernya tetapi menjadi milik sastra  Indonesia sepenuhnya. Oleh karena itu, buku ini merupakan bagian dari kekayaan dokumentasi sastra kita. Buku ini memuat karya dari sepuluh cerpenis, yakni Yukio Mishima, Ernest Hemingway, Sero Khanzadian, Yasunari Kawabata, Guy de Maupassant, Lu Xun, Ben Okri, Grant Matevosian, Es'kia Mphahlele, Alexander Solzhenitsyn. Diterjemahkan oleh: Sapardi Djoko Damono, Rasti Suryandani, Indria Sabati, Sony A. Ahad dan Tinoek Yampolsky.

ADA sebuah negeri yang tiada tara mulia. Negeri itu terbuat dari jamrud dan jalan-jalan yang melintasinya berpagarkan tali-tali kencana. Gedung-gedung dan menaranya berlapiskan emas, perak, lazuardi, kristal, dan mutiara, yang dihuni para bidadari dan bidadara yang tak putus-putusnya memainkan musik yang merdu dan menyanyikan tembang pujaan. Di semua tempat bunga-bunga berwarna-warni indah, kolam-kolam kencana dan jamrud bertepikan pasir perak dan kristal, udara dipenuhi nyanyian berbagai jenis burung yang bersuara merdu.

Kalau kita merasa ingin makan, di hadapan kita akan muncul sebuah meja-tujuh-permata penuh sepilihan masakan teramat lezat. Dan kita tak perlu direpotkan apa-apa, tak perlu menyuap, mengunyah, dan membereskannya. Kita hanya tinggal menatap dan menghirup bau lezatnya, dan perut akan terisi dengan sendirinya. Begitu pun dengan pakaian, kita tak perlu repot-repot berpikir menjahit, mencuci, mewarnai, atau memperbaikinya. Kita bahkan tak perlu menggerakkan anggota badan, semua akan beres dengan sendirinya. Lampu tidak dibutuhkan sebab langit senantiasa memancarkan cahaya yang terang-benderang, tetapi tidak menyilaukan mata. Tidak diperlukan alat pemanas atau pendingin sebab suhu udara senantiasa nyaman. Seratus ribu macam bau-bauan selalu memenuhi udara, dan daun-daun padma tak habis-habisnya menggerimis dari langit.

Negeri yang demikian menakjubkan itu tak lain dan tak bukan adalah Negeri Murni. Sebuah negeri kesempurnaan yang diproyeksikan sebagai tujuan akhir perjalanan umat manusia. Dan tokoh kita ini, Sang Pendeta Agung, telah menjalani segala peribadatan suci untuk menggapai Negeri Murni. Alis matanya yang memutih, kerentaan fisiknya, tubuh dengan tulang-tulang bertonjolan berlapis kulit kisut, dan hidup jauh dari kejahatan-kekotoran-kepalsuan dunia menjadikannya sosok yang telah berada di ujung perjalanannya. Tinggal selangkah lagi, sampailah ia ke Negeri Murni, sorga Tuhan yang teramat sempurna.

Tapi jelas, jalan menuju sorga tak pernah mudah. Dan Tuhan, seperti kita tahu, tak gampang ditebak oleh siapa saja. Juga manusia. Dalam cerita pendek “Sang Pendeta dan Kekasihnya” ini, Yukio Mishima memunculkan pesona perempuan selir raja, yang pada suatu senja di musim bunga yang indah bertamasya ke tepi danau. Sebuah momentum duniawi, yang fana tapi nyata, meluluhlantakkan peribadatan suci sang pendeta. Begitulah, pendeta renta itu jatuh cinta kepada sang putri. Ia tak pernah bisa lagi melakukan kekhusukan peribadatan, khidmat doa-doa hilang, kekekalan jadi tak berharga lagi. Seperti gila, sang pendeta membuang segenap jalan rohani-agamawinya untuk kemudian menjadi pengemis cinta sang putri.

Ditempatkan sebagai judul buku, cerpen Yukio Mishima tersebut memberikan bandingan berharga bagi dunia cerpen Indonesia yang kini semakin marak. Cerpen panjang ini dengan sangat bagus menguraikan pergulatan batin dan konflik tokoh-tokohnya, tentang kesalehan sang pendeta, bagaimana ia jadi jatuh cinta, perlawanan dan perjuangannya melawan perasaan itu, putusan dan laku yang dijalaninya. Juga, bagaimana sang putri dengan segenap kehalusan aristokrasinya, keserbasalahannya, sesal dan pertobatannya dalam menghadapi cinta sang pendeta dan yang lainnya.

Latar suasana, latar alam, dan setting sosial-budayanya tersusun cermat: keindahan danau di senja hari, kehidupan suci di pura, kemewahan penuh pura-pura di istana, dunia sempurna Negeri Murni, dan lain sebagainya. Tangga-tangga dramatiknya tersusun cermat sampai pada akhir cerita yang mencerahkan. “Sang Pendeta dan Kekasihnya” ini memperlihatkan pesona gaya penulisan konvensional yang memukau. Kita bisa membacanya sebagai jawaban atas kegelisahan dan kerinduan kita di tengah maraknya penulisan cerpen “koran” dalam kesusastraan Indonesia.

Merangkum karya-karya sastrawan dunia, Sang Pendeta dan Kekasihnya, buku seri cerpen dunia ini berisi sembilan belas cerpen dari sepuluh penulis. Beberapa nama sudah cukup dikenal luas oleh pembaca Indonesia, misalnyaYukio Mishima, Ernest Hemingway, Yasunari Kawabata, Guy de Maupassant, Lu Xun, Ben Okri, dan Alexander Solzhenitsyn. Penulis-penulis seperti Es’kia Mphahlele (Afrika Selatan), Sero Khanzadian (Armenia), dan Grant Matevosian (Armenia), bisa jadi belum banyak diketahui. Bisa dikatakan, buku ini tidak melulu bertumpu pada popularitas nama penulis, tetapi meramu alternatif-alternatif dari dunia cerpen itu sendiri. Keragaman lain dari buku ini adalah pada panjang-pendeknya cerita. Dua cerpen memiliki panjang sampai duapuluh tiga dan limapuluh empat halaman, cukup panjang untuk ukuran umum cerpen-cerpen Indonesia. Ada pula cerpen pendek, satu sampai tiga halaman.

Akan tetapi, persoalannya bisa jadi bukan pada siapa penulisnya, atau panjang-pendeknya tulisan. Penerjemahan karya sastra selalu berurusan dengan banyak hal, mulai dari yang paling mendasar, yakni bahasa, sampai pada psikologi personal penulis dan latar belakang sosial cerita. Harry Aveling, penerjemah sastra dari Australia, pernah menyatakan betapa menjadi penerjemah berarti kesediaan untuk menghormati dan bersetia pada penulis asli dan bahasa asal, memahamkan dan memperkaya masyarakat dari bahasa tujuan, dan sekaligus berjujur pada diri sendiri. Selain itu, ada banyak formulasi lain yang berbeda-beda dari setiap penerjemah, dengan tujuan yang kurang lebih sama: kualitas. Inilah yang harus diolah dengan sungguh-sungguh agar eforia penerbitan karya-karya terjemahan tidak lagi menghasilkan buku-buku yang penuh kritik dan kecaman sebagaimana yang sempat terjadi akhir-akhir ini.

Membaca kumpulan cerpen ini, kita boleh berharap adanya penggarapan yang serius atas karya-karya sastra terjemahan. Terlepas dari perdebatan atas kebernilaian estetika suatu karya terjemahan, apakah nilai sastrawinya masih bisa dirunutkan pada karya aslinya ataukah bernilai sastra dalam konteks bahasa turunannya atau sama sekali bukan karya sastra, penerjemahan dengan konsep yang jelas dan tidak melulu ‘memperdagangkan’ popularitas nama sastrawan dunia merupakan suatu usaha yang layak disambut positif.

Sebagaimana diungkapkan oleh Sapardi Djoko Damono dalam pengantarnya, kesusastraan Indonesia telah mengenal sastra dunia semenjak sekian ratus tahun lampau. Intensitas pertemuan budaya ini tidak hanya terwujud pada penerjemahan dan penyaduran, bahkan karya-karya sastra dunia tersebut telah menjadi milik bangsa kita sendiri, misalnya pada mahakarya Mahabharata dan Ramayana. Hal ini bisa jadi juga berlaku pada apa yang telah dilakukan oleh Chairil Anwar dengan beberapa sajaknya, juga Hamka dengan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang kemudian memunculkan polemik berkepanjangan itu.

Demikianlah, persinggungan dan kontak kreatif dengan karya-karya dan sastrawan-sastrawan asing merupakan usaha yang penting bagi perkembangan kesusastraan kita. Dunia sastra yang steril hanya akan memunculkan karya-karya yang beku dan pucat, yang macet dan mandeg. Seri Cerpen Dunia yang diusahakan dengan keseriusan kerja dan kesungguhan kreatif ini, terutama pada kualitas terjemahan sastrawinya, bisa dijadikan cakrawala alternatif bagi kemajuan kesusastraan Indonesia.