Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Dari Salawat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta

Judul: Dari Salawat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta: 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas
Editor: Putu Fajar Arcana
Penerbit: Kompas, 2010
Tebal: 214 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 25.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Dalam kumpulan ini, ketujuh cerpen terpilih tetap dalam tegangan itu, saat mereka menjumput kembali khazanah cerita lokal, hingga logika, mitologi, dan mistisisme lokalnya. Katakanlah karyakarya mulai dari “Orang-orang Larenjang” (Damhuri Muhammad), “Pakiah dari Pariangan” (Gus tf Sakai), “Mar Beranak di Limas Isa” (Guntur Alam),  Ikan Kaleng” (Eko Triono), dan lainnya.

Dalam sekali pukul pembacaan, kita akan menemukan sedikit ciri yang menandai sebagian besar cerpen (di buku ini). Pertama adalah pilihan bentuk dan gaya, atau cara penceritaan yang secara dominan dipenuhi oleh kecenderungan yang mistik, lalu mengarahkan cerita pada simpulan atau akhir yang supranatural dan surealistik. Tak kurang dari 50 persen (11 cerpen) yang memiliki kecenderungan semacam ini, mulai dari “Wiro Seledri” karya GM Sudarta, “Biografi Kunang-kunang” (Sungging Raga), “Burung Api Siti” (Triyanto Triwikromo), hingga “Malam di Kota Merah” (Toni Lesmana), “Batas Tidur” (Gde Aryantha Soethama). Dua cerpen yang terpilih sebagai “terbaik” pun –“Salawat Dedaunan” (Yanusa Nugroho) dan “Kunang-kunang di Langit Jakarta” (Agus Noor)—memiliki sub-genre yang sama.

Dalam kumpulan ini, ketujuh cerpen terpilih tetap dalam tegangan itu, saat mereka menjumput kembali khazanah cerita lokal, hingga logika, mitologi, dan mistisisme lokalnya. Katakanlah karyakarya mulai dari “Orang-orang Larenjang” (Damhuri Muhammad), “Pakiah dari Pariangan” (Gus tf Sakai), “Mar Beranak di Limas Isa” (Guntur Alam),  Ikan Kaleng” (Eko Triono), dan lainnya.

Cerpen Salawat Dedaunan dibungkus dalam alur sederhana dan bahasa yang mudah diikuti, tetapi memancing imajinasi yang tinggi. Kemuraman religiusitas masyarakat disikapi dengan caracara yang amat “nglakoni”. Berbuat adalah cara paling baik untuk mendorong sebuah perubahan sikap. Kendati perubahan sikap masyarakat kemudian terjadi karena alasan berbeda, tetapi dorongan untuk berubah itu dipicu oleh tindakan tak kenal menyerah. Kunang-kunang di Langit Jakarta, mengunyah simbolisasi itu menjadi jiwa-jiwa yang melayang di setiap gedung, yang dulu menjadi situs pemerkosaan serta kemalangan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Cerpen ini melukiskan realitas tragedi dengan cara-cara yang romantik, tetapi menggugah.