Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur'an dan Hadis Nabi

Judul: Memilih Monogami: Pembacaan atas Al-Qur'an dan Hadis Nabi 
Penulis: Faqihuddin Abdul Kadir
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2005
Tebal: 284 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Kebanyakan pemahaman, poligami dianggap sebagai ajaran Islam yang bagi siapa yang tidak mengikuti berarti telah mensia-siakan anugrah Tuhan, karena poligami telah disebutkan kebolehannya dalam Al-Qur'an (QS. 4:3). Tidak hanya itu, Nabi pun bahkan telah mempraktikkan poligami. Maka dari itu, banyak pula yang telah melakukan praktik poliogami. Akan tetapi, apakah kemudian ayat itu serta merta memboleh praktik poligami, dalam konteks apakah Nabi melakukan poligami, apakah konteks saat ini memungkin untuk mempertahankan praktik poligami, sedangkan tindak kekerasan rumah tangga akibat poligami sejas adanya.

Tidak sedikit dari para perempuan yang menerima keberadaanya sebagai madu—atau dimadu—karena ingin mempertahankan mahligai rumah tangga yang sebenarnya telah berantakan akibat ulah sang suami. Mungkin mereka dengan tenang mengatakan "kami akan mencoba bersabar dan menerima kenyataan ini apa adanya".
Sebab, perceraian bukan saja berdampak secara psikis bagi perempuan, melainkan juga nasib anak-anak mereka kelak.

Melalui buku ini, Faqihuddin Abdul Kadir mengupas kembali pemahaman "kebolehan" poligami yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu kebolehan, bahkan sunnah mempraktikkannya. Kebolehan poligami, seperti yang tertera dalam Al-Qur'an, mulai menjadi problem kekinian dimana para suami tidak lagi meminta izin sang istri, tidak berlaku adil, dan bahkan tidak mampu memberikan nafkah selayaknya. Memahami kandungan-kandungan ajaran (baca teks) tentang poligami secara dangkal seringkali menyebabkan ketimpangan realitas empirisnya antara teks dan konteks.

Menurut Faqihuddin, yang lebih dianjurkan Islam, dalam konteks kekinian adalah memilih monogami. Bahkan, lebih jauh ia menyatakan bahwa hukum monogami adalah sunnah. Sebab, sulit sekali mencari unsur adil dalam praktik poligami. Oleh karena itu, Al-Qur’an sendiri, dalam surah An-Nisa' ayat 3, telah mewanti-wanti agar berlaku adil terhadap istri-istri, dan apabila tidak, maka yang dibolehkan hanyalah melakukan monogami. Akan tetapi, penafsiran ayat tersebut juga sangat beragam. Seringkali pemaknaan secara literal terhadap ayat-ayat al-Qur’an melahirkan pandangan-pandangan yang simplitis dan hitam putih. Salah satunya pandangan bahwa poligami itu ibadah.
Dan yang perlu diperhatikan juga dari ayat tersebut adalah konteks yang dibahas. Ayat tersebut tidaklah secara khusus membicarakan poligami, malainkan, bila merujuk pada ayat sebelum dan sesudahnya, hanyalah pembicaraan sampingan. Maka menganggap ayat tersebut sebagai ayat yang menganjurkan poligami adalah tidak tepat. Poligami memang disinggung dalam al-Qur’an, namun tidak semua yang disebutkan didalamnya langsung disimpulkan sebagai ajaran atau tuntunan.

Lebih lanjut Faqihuddin menegaskan tidak adanya anjuran poligami dalam Islam. Hal ini ia dapati dari penelitian terhadap tafsir-tafsir ulama klasik. Bahkan justru para ulama tafsir memasang “pagar batas” terhadap praktik poligami. Pemagaran ini mengindikasikan bahwa poligami bukan sesuatu yang direkomendasikan oleh para mufassirun (ulama tafsir). Tidak ada ulama yang secara tegas berpendapat bahwa poligami merupakan ibadah (baca sunnah), karena konteks poligami yang dilakukan oleh Nabi ialah sebagai bentuk pengangkatan derajat perempuan, bukan penghamburan nafsu libido.

Keberadaan demikian juga diakibatkan salah kaprah dalam memahami teks-teks poligami dan monogami. Seringkali yang tampak dipermukaan adalah "teks" poligami, sedangkan "teks" monogami seakan tenggelam dalam kedalaman. Akibatnya, kontruksi pemahaman yang berkembang menjadi tidak adil, seakan penafsiran terhadap-teks-teks keagamaan menjadi milik laki-laki, dan perempuan cukuplah dijadikan objek belaka. Padahal dalam realitasnya, terutama saat ini, poligami tidak lagi bisa dipertahankan. Realitas saat ini lebih menjadikan poligami sebagai pemuas nafsu libido.

Poligami dijadikan pembenaran untuk tindakan "pelecehan" perempuan. Sekarang ini praktik poligami menjadi momok yang menakutkan bagi kaum hawa. Maka dari itu, interpretasi perspektif feminim sangatlah dibutuhkan. Perspektif perempuan yang dimaksud, menurut Faqihuddin, sebenarnya tidaklah memproduksi wacana baru mengenai Islam yang antipoligammi, karena Islam adalah agama yang dinamis-progresif yang juga harus hidup bersama realitas dari setiap masyarakat yang menganutnya. Akan tetapi perspektif perempuan mendorong penelusuran tradisi fiqh untuk menemukan, mempertajam, dan menegaskan argumentasi keadilan dan keberpihakan pada korban ketimpangan praktik poligami, yang kemudian menjadi basis kuat dan otoritatif untuk memilih monogami sebagai perkawinan ideal dalam Islam.(hlm.37).

Setidaknya, kehadiran buku ini menghidupkan pemahaman tentang keabsahan poligami dan sebagai dialektika pemahaman poligami di masa kini. Bukankah praktik poligami saat ini sarat dengan manipulasi yang dibungkus dengan lebel agama? Oleh karenanya, buku ini patut dijadikan pedoman.