Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga ke-20

Judul: Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga ke-20
Penulis: Yerry Wirawan
Penerbit: KPG, 2013
Tebal: 429 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Harga: Rp. 60.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Dokumentasi tentang kaum peranakan memang sudah cukup banyak. Namun kebanyakan dokumentasi tersebut adalah tentang warga keturunan yang berada di Jawa. Sangat sedikit kajian tentang sejarah etnis Tionghoa yang hidup di luar Jawa. Apalagi tinjauan tentang masyarakat Tionghoa Makassar. Tulisan Yerry Wirawan ini adalah satu dari yang sedikit tersebut. Melalui buku yang sejatinya adalah thesis tersebut, Yerry menggambarkan dengan detail kehidupan masyarakat Tionghoa di Makassar dari abad ke-17 sampai abad ke-20.

Mengapa masyarakat Tionghoa Makassar penting? Jawabnya adalah karena mereka mempunyai peran sentral saat Makassar masih menjadi pusat perdagangan di wilayah timur Nusantara. Kejayaan perniagaan abad ke-17 sampai abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dari peran etnis Tionghoa tersebut. Bahkan jauh sebelum Belanda bercokol di Makassar, para imigran China sudah berperan aktif dalam perdagangan di Makassar. Mereka menjadi pedagang perantara antara Makassar dengan China, Makassar dengan Batavia, Banjarmasin dan pulau-pulau di timur. Selain membawa barang dari luar Makassar dan menjadi pedagang perantara, orang-orang Tionghoa menjadi pengepul dan pengorganisir perdagangan teripang, kulit penyu dan agar-agar yang dihasilkan oleh masyarakat lokal.

Seperti di kota-kota pelabuhan lainnya, pada mulanya orang-orang China ini datang sebagai pedagang. Sebagian dari mereka menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Selanjutnya mereka membangun komunitas atau berbaur dengan masyarakat setempat. Keberadaan pedagang China di Makassar telah ada sebelum abad ke-16 (hal. 9). Orang Sulawesi Selatan menyebut Tionghoa sebagai “Sanggalea’, yang berarti sering datang. Anak keturunan para pedagang yang sering datang itu kemudian menjadi pedagang lokal yang sukses. Perusahaan-perusahaan kapal yang didirikan oleh para peranakan ini, membuat pelabuhan Makassar menjadi pusat perdagangan yang besar.

Pada mulanya, keturunan Tionghoa di Makassar banyak yang Muslim. Mereka Muslim dari asalnya di China dan menjadi Muslim karena pernikahan dengan orang Melayu atau masyarakat setempat. Seperti diketahui bahwa sejak tahun 1605, Makassar telah menjadi wilayah yang di-Islamkan oleh Mangngarangi yang bergelar Sultan Alaudin dan Karaeng Matoaya yang berganti nama menjadi Sultan Abdullah Awal-ul-Islam. Meski para peranakan ini beragama Islam, namun dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap menjaga tradisi ke-Tionghoa-annya.

Seiring dengan kedatangan imigran dari China yang semakin banyak, dan kekhawatiran menghilangnya budaya Tionghoa, pada pertengahan abad ke-18 para keturunan ini mulai menghidupkan kembali semangat ‘kembali ke tradisi Tionghoa’ (hal. 109). Upaya untuk kembali kepada tradisi Tionghoa ini menyebabkan terpisahnya antara keturunan Tinghoa dengan Islam di Makassar. Bagi mereka yang tidak serius memegang Islam sebagai agama, lambat-laun mereka kembali ke tradisi China dan meninggalkan Islam. Sementara para keturunan yang memegang teguh Islam lama kelamaan melebur ke masyarakat setempat dan ‘kehilangan’ identitas ke-Tionghoa-annya.

Selain membahas panjang lebar tentang perniagaan, buku ini juga mencatat tentang peran perempuan peranakan di Makassar dengan cukup dalam. Yerry menyampaikan bahwa para perempuan peranakan (yang berbahasa lokal daripada berbahasa Tionghoa) mempunyai peran dalam perdagangan, kehidupan sosial dan bahkan beberapa dari mereka tersangkut masalah kriminal. Kajian khusus tentang perempuan peranakan sangat jarang ada dalam karya-karya yang membedah masyarakat Tionghoa di Indonesia.