Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Jihad Ilmiah Dua: Dari Harvard ke Yale dan Princeton

Judul: Jihad Ilmiah Dua: Dari Harvard ke Yale dan Princeton
Penulis: Yudian Wahyudi
Penerbit: Pesantren Nawasea Press, 2013
Tebal: 238 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Pada 1980-an, mantan Menteri Agama Munawwir Sadzali pernah resah. Dia seperti ditikam bertubi-tubi oleh sejumlah kekhawatiran akan munculnya generasi ulama yang tidak mampu berbicara banyak di pentas internasional.

Sadzali memiliki obsesi akan lahirnya intelektual muslim yang tidak gagap ketika berhadapan dengan teks-teks berbahasa Inggris. Dia menginginkan lahirnya ’’ulama-plus’’: akrab dengan teks-teks arab sekaligus fasih berbicara bahasa Inggris!

Maka lahirlah Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indonesia pada 1988–1989. Yudian Wahyudi yang dibesarkan di lingkungan santri menjadi salah seorang peserta yang lolos seleksi dan dikirim ke Amerika untuk memenuhi ekspektasi Sadzali.

Tentu saja, ada banyak pen capaian akademis yang ditorehkan Yudian. Selain menguasai empat bahasa (Arab, Inggris, Prancis, dan Jerman), Yudian membuat Sadzali tersenyum lebar karena selain mendapatkan Visiting Scholar di kampus terbaik dunia (Harvard Law School), Yudian adalah satu-satunya dosen PTAIN yang menjadi anggota American Assosiation of University Professors (2005-2006).

Buku Jihad Ilmiah Dua: dari Harvard ke Yale dan Princeton ini merekam kisah petualangan dari kampus ke kampus, semacam buku catatan perjalanan ilmiah yang ’’memamerkan’’ sejumlah pencapaian internasional yang ditulis seorang profesor yang pernah menimba ilmu di Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.

Sebagaimana dituturkan sendiri oleh Yudian, buku ini ditulis untuk mencatat sejumlah transformasi yang dilalui selama seperempat abad: sejak nyantri di Tremas hingga belajar di Harvard, mulai penerjemah biasa hingga publikasi karya di jurnal-jurnal internasional, mulai menjadi dosen biasa hingga menjadi profesor di Amerika (hal. xi).

Tapi, saya lebih suka andai ’’pencapaian-pencapaian’’ Yudian ini ditulis dalam bentuk biografi, bukan otobiografi. Sebagaimana petualangan Gus Dur yang ditulis dengan sangat memukau oleh Greg Barton, misalnya. Setidaknya, untuk membuktikan bahwa pencapaian Yudian, dalam kapasitasnya sebagai profesor, pantas ’’dipamerkan’’ tanpa harus ditulis sendiri.

Buku ini merekam sepak terjang Yudian tentang obsesi sekaligus perjuangannya sebagai kaum sarungan yang tidak pernah pudar untuk mewujudkan cita-cita akademisnya. Buku ini terbilang unik.

Yudian tidak sekadar mengisahkan perjalanannya menyusuri rimba pengetahuan. Tetapi juga menyelipkan makalah-makalah berat yang telah dipresentasikan dan dipublikasikan di beberapa jurnal internasional. Setiap bab berisi potongan makalah, mulai makalah tentang agama dan terorisme hingga soal dialektika Cak Nur vs Ibnu Taimiah. (hal. 31–121).

Selain itu, buku ini ditulis dengan bahasa yang meledak-ledak yang akan membuat pembaca ’’geram’’ jika tidak melihat konteksnya. Pembaca akan mudah menjumpai ’’subjektivitas’’ sekaligus ’’keangkuhan’’ Yudian, terutama dalam memandang ’’prestasi akademis’’ atau apa yang dia sebut sebagai ’’pencapaian ilmiah’’. Meskipun, saya sendiri menganggapnya sebagai sesuatu yang positif dalam upaya memotivasi para mahasiswa yang ingin menorehkan prestasi.

Dalam setiap cerita yang dihadirkan, dari bab 1 hingga 9, Yudian selalu ’’menjewer’’ mereka yang hanya mengaum di kandang domba. ’’Mengaumlah di kandang singa,’’ katanya. Bahkan, Yudian tidak sungkan membeberkan prestasi-prestasi akademisnya, baik sebagai pembicara dalam seminar-seminar bergengsi maupun dalam publikasi-publikasi karyanya di sejumlah jurnal internasional. Semua itu dikisahkan Yudian dalam buku ini dengan bahasa yang sedikit ’’narsis’’.

Yudian selalu menyebut dirinya sebagai ’’putra’’ Tremas yang sanggup menaklukkan panggung internasional. Ketika menjadi pembicara dalam sebuah acara memperingati tragedi 11 Septem ber di Harvard’s KSG (Kennedy School of Government), misalnya, dengan sedikit ’’narsis’’ Yudian menulis: ’’Sudah ada dua putra Tremas yang pernah pentas di KSG, SBY sebagai putra asli (26 September 2009) dan saya sendiri (mewakili santri)’’ (hal. 29).

Saya belum pernah menemukan satu pun buku seperti yang ditulis mantan dekan Fakutas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini. Buku ini adalah kelanjutan dari catatan Yudian sebelumnya: Jihad Ilmiah: dari Tremas ke Harvard (terbit pada 2009).

Dua-duanya tidak hanya mengisahkan sebuah petualangan intelektual lintas benua yang juga mempertemukan dirinya dengan pemikir-pemikir semacam Edward W. Said, Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, dan lainnya. Tapi, lebih dari itu, catatan-catatan Yudian seperti taring-taring singa yang siap menerkam para intelektual kampus yang tidak mampu berbuat banyak di pentas interna sional.

Bahkan, ketika ’’demam Cak Nur’’ mewabah di negeri ini, kemudian banyak di antara umat Islam yang ’’mengidolakannya’’ secara membabi buta, Yudian tidak segan-segan menyebut mereka sebagai ’’kaum pengekor’’
.
Kepada mereka yang ’’demam Cak Nur’’ itu, sebagaimana terekam dalam buku Jihad Ilmiah: dari Tremas ke Harvard, Yudian menyebut mereka sebagai kaum neomodernis-ideologis, yaitu orang yang memiliki kedekatan ideologis dengan orang yang mengaku sebagai pencetus neomodernis seperti Cak Nur, tetapi tidak memiliki kemampuan literer neomodernis.

Mereka, menurut Yudian, hanya bisa berbahasa Inggris, tetapi tidak bisa berbahasa Arab, apalagi berbahasa Perancis dan Jerman. Keterbatasan inilah yang menurut Yudian membuat mereka menjadi kaum neotaklidis.

Saya hanya membayangkan, andai Prof. Nurcholis Madjid alias Cak Nur masih hidup, lalu membaca catatan-catatan yang terserak dalam buku ini dan buku-buku lain yang ditulis Yudian, mungkin Cak Nur akan kaget. Bahkan mungkin sedikit merasa ’’tertampar-tampar’’ karena gaya tulisan Yudian yang meledak-ledak, menggebrak, bahkan sedikit ’’meledek’’.

A. YUSRIANTO ELGA, Editor dan pengelola Taman Baca Lazuardi Jogjakarta