Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Komik Sebuah Tebusan Dosa

Judul: Sebuah Tebusan Dosa (Komik)
Penulis: Teguh Santosa
Penerbit: Galang Press, 2003
Tebal: 67 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp. 25.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312



Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi. Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25 Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th. Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor ciptaannya ini sebagai ink-man.

Sampai kini hanya Teguh satu-satunya komikus Indonesia yang pernah mendapat kesempatan menjajal kemampuannya bersama penerbit komik kelas internasional. Di penghujung tahun 2002 Galang Press, sebuah penerbit yang berbasis di Yogyakarta menerbitkan kembali salah satu karya Teguh, Sebuah Tebusan Dosa. Menurut sastrawan dan juga kolektor komik, Seno Gumira Ajidarma dalam kata pengantarnya mengatakan komik Sebuah Tebusan Dosa ini adalah embrio dari masterpiecenya, yaitu trilogi Sandhora (1969), Mat Romeo (1971) dan Mencari Mayat Mat Pelor (1970).

Sebuah Tebusan Dosa (pertama kali diterbitkan tahun 1967) mengisahkan Galelo, seorang bajak laut yang mengkhianati bosnya, Si Mata Satu dengan memberitahukan lokasi persembunyian bajak laut itu kepada Kumpeni. Galelo berkhianat karena ia mencintai Terina, putri Si Mata Satu yang hendak dikawinkan kepada Daeng Palaka. Galelo pada akhirnya memang tak mendapatkan cinta Terina. Ia lalu mengembara dengan rasa bersalah. Cerita kemudian beralih pada karakter Alfred, seorang perwira Belanda yang mencintai Luana, anak Terina yang hidup dalam kekuasaan Jansen. Bagi para pembaca yang belum mengenal Teguh berkesempatan menyimak karya salah satu maestro komik Indonesia dalam kemasan masa kini. Dialog dalam balon-balon kata yang semula ejaan lama pun ditulis kembali dengan ejaan yang sudah disempurnakan hingga memudahkan pembaca sekarang untuk menikmatinya.

Visualisasi kapal-kapal bajak laut, pulau-pulau terpencil, benteng-benteng Kumpeni, pertarungan bajak laut, percikan ombak, pohon nyiur, rembulan, kedatangan bangsa Belanda dan juga bangsa-bangsa lain dengan latar belakang Nusantara abad ke-17 adalah kekuatan visual komik ini yang jika dibaca sekarang tetap tak lekang dimakan usia, bahkan terasa eksotis. Cerita pun mengalir lancar kendati untuk karyanya ini Teguh seperti tak tergoda bereksperimen terutama dalam pendekatan visual seperti karya-karya sesudahnya macam Sandhora atau Mat Romeo.

Perwatakan yang dibangun peraih penghargaan seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1998 ini pun tak kalah menarik dari gambarnya. Karakter bajak laut oleh Teguh digambarkan sebagai tokoh protagonis. Sedangkan orang-orang Belanda dalam sudut pandang bajak laut adalah penjajah. Uniknya karakterisasi yang dibangun Teguh Santosa bukan penggambaran hitam putih atawa pertempuran “si baik” melawan “si jahat” semata. Karakter Alfred memang penjajah, namun sesungguhnya ia tak lebih hanya seorang perwira Belanda yang semata-mata sedang menjalankan tugas. Karakter Galelo pun hanya menjadi seorang pecundang belaka karena tak berhasil mendapatkan cinta Terina.

Disinilah kekuatan lain yang berkualitas dari seorang Teguh Santosa sebagai pendongeng selain pijakan-pijakan visualnya yang eksotik, mengajak pembaca bernostalgia pada masa keemasan komik Indonesia di era 1970-an. Sedangkan bagi pembaca masa kini yang barangkali telah dibuai serbuan produk-produk komik impor Jepang setidaknya bisa mendapatkan pilihan lain dalam kenikmatan membaca komik.

Sayang, kendati sudah diolah kembali sedemikan rupa dalam kemasan baru beberapa mutu gambar dalam komik ini cenderung merosot. Namun kondisi ini dapat dimaklumi dikarenakan upaya pendokumentasian di Indonesia yang amat terkenal buruk. Penurunan mutu gambar ini disebabkan master aslinya berupa plat cetak sudah tak terlacak lagi, sehingga yang dipergunakan adalah kopi dari salah satu karya Teguh yang berhasil ditemukan. Akan tetapi, usaha yang sudah dilakukan penerbit Galang Press- yang semula dikenal hanya menerbitkan karya sastra dan buku non fiksi- patut dihargai sebagai ikhtiar mulia untuk melestarikan sekaligus mendokumentasikan komik-komik karya asli Indonesia.

Langkah penerbitan ulang komik ini setidaknya dapat memberikan wawasan kultural yang menarik perihal seni komik bagi para sejarawan, pencinta komik, dokumentator sejarah maupun pembaca komik di masa kini. Semoga langkah penerbitan kembali ini tak hanya berhenti pada karya Teguh Santosa saja, melainkan juga karya-karya maestro komikus Indonesia lainnya.