Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seri Tempo Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa

gambar
Rp.60.000,- Rp.45.000,- Diskon
Judul: Seri Tempo Tjokroaminoto: Guru Para Pendiri Bangsa
Penulis: Tempo
Penerbit: KPG, 2016
Tebal: 164 halaman
Kondisi: Baru (Ori Segel)

Haji Omar Said Tjokroaminoto (Cokroaminoto) adalah tokoh yang membangun pondasi awal jiwa kepemimpinan kepada murid-muridnya. Murid-muridnya itulah yang kelak menjadi pemimpin bangsa yang disegani kawan dan ditakuti lawan.

Cokroaminoto lahir di Bakur, Madiun, pada 16 Agustus 1882. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Cokro menyelesaikan sekolah Administrasi Pemerintahan di Magelang, Jawa tengah. Setelah itu, ia menjadi pegawai pemerintah sebagai juru tulis Patih Ngawi selama tiga tahun.  Tak lama berselang, ia berhenti dari jabatannya dan pindah ke Surabaya.Cokro juga mengikuti kursus-kursus malam, mempelajari teknik mesin. Ia pernah pula bekerja di pabrik gula di luar Surabaya.

Ketika didatangi oleh Samanhoedi pada Mei 1912, ia telah dikenal dengan sikapnya yang berbeda dengan yang lain. Ia menentang segala macam perilaku feodal. Ia memiliki derajat yang sama dengan siapapun. Karena sikapnya ini, ia kemudian disebut sebagai Gatot Kaca Sarekat Islam.

Dengan pidato-pidatonya, Cokro mampu menumbuhkan semangat kebangsaan juga harapan. Rakyat jelata pun menganggapnya “Ratu Adil”, sedang perintah Belanda menjulukinya “Raja tanpa Mahkota”. Orang tua Soekarno menitipkan Soekarno secara resmi kepada Cokro untuk didik dan dibina layaknya anak sendiri. Tak heran gaya pidato dan cara menulis artikel Soekarno kemudian banyak terinspirasi dari Cokro.

Sarekat Islam versus Budi Utomo
H.Samanhoedi sang saudagar batik dari Laweyan, Solo yang mendirikan Sarekat Islam (SI) bersama pada 1912 pernah mencari-cari orang untuk memperkuat organisasinya. Tahun-tahun awal SI memang cukup sulit. SI berusaha untuk terus bertahan di usianya yang baru seumur jagung. Namun, empat tahun setelah didirikan, SI sudah memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota, dua puluh kali lipat dari jumlah awalnya.

Pada Mei 1912, Cokro memutuskan bergabung dengan SI atas ajakan Samanhoedi. Dalam perjalanannya, Cokro adalah sosok yang berpendidikan yang baik dan mampu membesarkan SI. Samanhoedi pun malah tersingkirkan setelah kongres di Yogyakarta. Dan Tjokro akhirnya menghabiskan hampir separuh waktunya untuk merawat organisasi ini walau tidak semulus dengan apa yang ia cita-citakan sebelumnya. Cokro berbeda dengan tokoh radikal lainnya. Ia memilih untuk bersifat kooperatif guna membesarkan SI.

Berbeda dengan Bodi Utomo yang lahir lebih dulu pada 1908 tapi elitis, SI memberi semangat “kebangsaan” bagi masyarakat luas. Kaum Kromo, rakyat jelata, mengalami pengalaman pertama untuk melihat dunia baru ketika hierarki Jawa-Belanda ditiadakan. Pemimpin-pemimpin SI duduk sejajar dengan pejabat Belanda, sambil menyerukan bahwa kaum pribumi sama-sama manusia seperti orang belanda.

Cokro dan Ulama
Dalam Kongres yang ke-19 PSII pada 3-12 Maret 1993, Cokro selaku Presiden Dewan ketika itu melontarkan sebuah seruan kepada para ulama. Ajakan ini lantas dijadikan pembuka jalan untuk menguatkan fondasi gerakan. Intinya para ulama diminta untuk memperhatikan seruan Cokro yang tengah meminta dukungan. Tampak jelas bahwa Cokroaminoto ingin membumikan perjuangan bersandar pada Islam sebagai basis ideologi.

Kehadiran Tjokro mengusung konsep Islam membuat SI melaju menjadi kekuatan politik ideologis. Ia mengidam-idamkan anak bumiputra berdiri sejajar dengan pemerintahan Hindia Belanda. Kegemilangan itu bertahan hingga 1916. Dalam Kongres Central Sarekat islam (CSI) di Bandung pada tahun tersebut, Cokro menyatakan akan bekerja demi kemajuan rakyat Hindia. Alhasil gerakan Cokro begitu mendominasi perjuangan politik hingga 14 tahun usia SI. Setelah itu, Semaun dan Sneevlit pun berusaha menggeser arah gerakan.

Tjokro versus Semaun
Posisi Semaun sebagai Ketua SI Semarang membawa SI sebagai organisasi yang memiliki anggota cukup besar. Dalam waktu setahun 1916-1917, jumlah anggota bergerak cepat dari 1.700 menjadi 20 ribu orang. Semaun memimpin aksi pemogokan di berbagai perusahaan di Semarang, tidak hanya di perusahaan kereta api. Aksi pemogokan merambat cepat ke berbagai kota di Jawa. Semaun sukses mengakomodasi massa buruh kereta api untuk satu tujuan.

Siapa sangka Semaun yang dulunya juga murid Cokro kemudian berbeda ideologi politik dengan gurunya? Cokro ialah sosialis Islam, sedangkan Semaun memilih ideologi komunis. Ternyata belakangan diketahui Cokro bukanlah satu-satunya mentor Semaun. Mentor Semaun lainnya adalah Sneevlit  yang membawa ideologi Komunis dari Belanda dan menularkannya kepada Semaun, Darsono, dan Alimin. Sneevlit pula yang berperan besar menyusupkan Semaun untuk menduduki posisi sebagai Ketua SI Semarang dan perlahan mulai mengkritik Cokro, guru Semaun sendiri.

Semaun, Darsono, dan Alimin pun bekerjasama memfitnah Cokro telah melakukan penggelapan dana organisasi. Sebelumnya, mereka juga mengkritik Cokro yang bergabung dengan Volksraad (Pejabat Pemerintahan Belanda). Perselisihan ini bermuara kepada pecahnya SI menjadi dua: SI yang dipimpin Cokro, K.H. Agus Salim, dkk. serta SI Merah yang dipimpin Semaun.

Cokro: Guru Pendiri Bangsa
Dengan menentang feodalisme, Cokroaminoto mempunyai andil menempa para tokoh pergerakan nasional. Orasinya yang menggelegar memberi inspirasi puluhan ribu orang. Dialah guru politik serta induk semang Presiden Soekarno (juga menantu Cokro) serta tokoh pergerakan lain, seperti Semaun, Musso, Alimin, dan Kartosoewiryo. Meski dalam perkembangannya murid-muridnya itu berjalan di atas ideologi masing-masing.
Pesan Sekarang