Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Identitas Urban, Migrasi, dan Perjuangan Ekonomi-Politik di Makassar

Judul: Identitas Urban, Migrasi, dan Perjuangan Ekonomi-Politik di Makassar
Editor: M. Nurkhoiron & Ruth Indiah Rahayu
Penerbit: Desantara, 2012
Tebal: 268 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Harga: Rp. 45.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C

Kota bukan sekadar ruang di mana fenomena fisik terus berbiak, seiring obsesi pembangunan yang mengejar kemajuan dan kemodernan. Kota sekaligus ruang bagi pembiakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang saling bertaut mengabstraksikan corak organisasi masyarakatnya.

Dalam kondisi seperti itu, kota adalah ruang psikis sebagai arena untuk menancapkan identitas dan kebudayaan masyarakat. Mafhum jika Driyarkara (Sudiarja SJ dkk, 2006) mengatakan, jika kota dibangun oleh manusia, kota juga membangun manusia.

Kota Makassar, seperti kota-kota besar lain di Indonesia, adalah ruang yang menyembulkan pelbagai realitas fisik, sosial, dan psikis yang terus bergerak menyusun diri-kota sehingga tidak luput dari gelombang perubahan dan pergeseran. Melimpahkan janji-utopia akan hidup yang maju dan berdikari, tetapi tidak terhindar dari risiko berikut kengerian dan paradoksnya.

Buku Identitas Urban, Migrasi, dan Perjuangan Ekonomi-Politik di Makassar ini mengajukan suatu tafsir tentang kota yang tidak selamanya indah. Dalam buku ini dipaparkan sisi lain kota yang tidak lebih sebagai ”medan konflik” yang sarat kepentingan, persaingan, bahkan pertentangan. Buku ini mengajak kita menziarahi Makassar dengan melihat bangunan dan penduduknya, sekaligus ziarah sejarah. Ikhtiar memahami kota sebagai denyut kesejarahan manusia yang berada dalam tegangan nostalgia, kenyataan, dan masa depan.

Perubahan lanskap
Nostalgia itu dibuka Suardi Kaco dengan tulisan mengenai Benteng Somba Opu (BSO) yang dulunya adalah pusat kota sekaligus poros roda pemerintahan Kerajaan Gowa. Longsornya kejayaan Gowa sebab penaklukan Belanda pada tahun 1667 adalah babak awal telantarnya BSO karena pemerintah kolonial segera memindahkan pusat kota ke Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam) yang sekaligus menandai terbentuknya tatanan kota baru kolonial bernuansa imperialistik-kapitalistik di Makassar. Perlawanan Kerajaan Gowa terhadap Belanda pada fase selanjutnya pun berakhir sebagai ”pembangkangan yang kalah” dan naasnya Laksamana Cornelis Speelman meratatanahkan BSO pada tahun 1669 (hal 28).

Ironisnya, sebagai situs sejarah, BSO hari ini seolah hendak dihapuskan dari ingatan kolektif masyarakat Makassar. Alih-alih melestarikan benda cagar budaya, konversi BSO menjadi Gowa Discovery Park (GDP) yang diniatkan sebagai area wisata bermain justru ditengarai mengutamakan pamrih kapitalistik. Ideologi pembangunan Makassar sebagaimana slogan ”Menuju Kota Global” justru merupakan rengkuhan kuasa modal yang tanpa disadari menghancurkan situs sejarah demi keuntungan ekonomis jangka pendek.

Nuansa kapitalistik juga terlacak dari lanskap kota Makassar hari ini. Muhammad Iqbal Arsyad membingkai perubahan arsitektural kota Makassar yang terjadi sejak masa kolonial, Orde Baru, hingga Reformasi. Bangunan-bangunan tinggalan zaman kolonial yang mengandung nilai historis dan estetis kini sebagian dimusnahkan atau dialihfungsikan. Sisanya terimpit bangunan-bangunan baru yang memenuhi hajat ekonomi dan penyelenggaraan birokrasi. Misalnya, penghilangan sebagian bangunan Vlaardingen untuk kebutuhan hunian gaya modern yang fungsionalistis, Javance Van (bank pertama di Makassar) dimusnahkan menjadi areal Pelabuhan Peti Kemas Makassar, atau reruntuhan Penjara Karebosi yang menjadi kompleks pertokoan (hal 74-78).

Akses ekonomi
Sebenarnya, sejak mula Makassar dikenal sebagai salah satu poros perdagangan di Nusantara. Menurut Heather Sutherland, seorang guru besar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Amsterdam (Edward L Poelinggomang, 2002), pada abad ke-16 Pelabuhan Kerajaan Gowa telah memikat para pedagang dari Melayu, China, India, Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Pelbagai taktik imperial dan strategi dominasi dipancangkan Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dengan menutup pintu masuk ke Indonesia Timur. Catatan Sutherland itu memahamkan kita, Makassar merupakan kota yang pertukaran ekonominya berlangsung dalam ritme cepat, terutama karena adanya bandar-bandar atau pelabuhan perdagangan.

Buku ini tidak menyigi gerak ekonomi Makassar dari sudut kesejarahan yang jauh tertinggal di masa lalu itu. Sebaliknya, Muh Aris Asikin, menyisir fenomena pinggiran dan menelaahnya sehingga paradoks ekonomi kota Makassar tersingkap. Setelah penetapan Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar sebagai pelabuhan internasional pada tahun 2002, para pedagang kaki lima yang beroperasi di dalamnya digusur. Terpaparlah, kemajuan ekonomi di pelabuhan justru menyempitkan akses ekonomi kaum marjinal, selain juga merenggangkan relasi sosial antara pedagang kaki lima dan buruh pelabuhan (hal 215-248).

Laju ekonomi kota Makassar juga berpautan dengan problem identitas masyarakatnya. Dari a’bongong atau kudung, perempuan Makassar menutup kepalanya dengan jilbab. Namun, jilbab semula dimaksudkan untuk menancapkan identitas kemusliman justru bergeser seiring kuasa pasar merekayasanya sebagai kebutuhan fashion yang menjanjikan keuntungan melimpah.

Paradoks ketersisihan ekonomi yang dialami para seniman Ganrang Bulo juga mendapat sorotan. Meski seni ritual tradisional itu sudah beralih menjadi seni pertunjukan-hiburan yang ditontonkan di acara-acara pemerintahan ataupun festival, para seniman Ganrang Bulo tidak menikmati reward ekonomi yang memadai. Ganrang Bulo kini hanyalah proyek kesenian yang dimenangi oleh kalangan elite birokrasi.

Buku ini memang tidak merekam keseluruhan fenomena ruang urban. Akan tetapi, buku yang terangkum dari karya para peneliti muda hasil pelatihan riset dan penulisan etnografi dan historiografi ini setidaknya mampu menyingkap pelbagai realitas kota yang sarat paradoks dan dapat menuntun kita dalam memaknai dan merencanakan tata kota impian masa depan. Bukan tidak mungkin, fenomena urban di Makassar juga terjadi di kota-kota besar lain di Indonesia.

Musyafak, Peminat Kajian Budaya; Anggota Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang