Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia

Judul: Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan Terhadap Eurosentrisme
Penulis: Syed Farid Alatas
Penerbit: Mizan, 2010
Tebal: 292 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Perbincangan tentang diskursus alternatif dalam Ilmu Sosial hangat diperbincangkan. Syed Farid Alatas mencoba menghadirkan diskursus ini dengan prespektif model yang sedikit berbeda. Menurutnya terdapat dua rintangan universal dalam diskursus tersebut yakni struktur kebergantungan akademis dan lingkungan budaya diskursus akademis. Kenyataanya sebagian besar Ilmuwan sosial Asia belum mampu keluar dari belenggu Eurosentrisme. Sehingga, memunculkan karya yang terkesan membalikan keadaan. Hal ini senada dengan kajian Linda T. Smith sebelumnya yang juga menyoalkan dekolonisasi metodologi di Indonesia misalnya, bagaimana sejarawan Indonesia mencoba keluar dari perspektif kolonial menuju perspektif Indonesiasentrisme.

Jika hanya membalikkan keadaan saja tanpa data-data terbaru dan juga perspektif yang baru pula, maka upaya pembalikan itu juga hanya akan menciptakan hasil yang sama dengan sebelumnya. Sebab itu, langkah terpenting sekarang, menciptakan satu model (kajian) yang benar-benar berbeda dengan kajian sebelumnya, yakni dengan menggunakan data yang belum dipergunakan oleh ilmuwan manapun. Cara ini sebenarnya sangat penting untuk dilakukan, karena dapat menghadirkan sebuah pemahaman yang berbeda terhadap fenomena sosial di masyarakat dewasa ini. Begitu juga dengan masa lalu yang selalu aktual untuk dibicarakan terus. Tiada henti untuk menciptakan kebaruan perspektif (alternatif) dalam ilmu sosial.

Dalam buku ini Syed Farid Alatas mendiskusikan berbagai diskursus-diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial di Asia. Diskursus-diskursus tersebut disebabkan oleh aliran-aliran pemikiran dalam Ilmu sosial yakni Amerika, Inggris dan Prancis. Aliran-aliran ini mengakibatkan munculnya para pengikut pemikiran-pemikaran tersebut yang selalu menjadikanya sebagai landasan berpiki. Hal inilah yang dikritisi oleh Syed Farid Alatas. Ia tidak menginginkan para Ilmuwan membebek dengan aliran-aliran tersebut. Selain itu, Syed Farid Alatas juga mengkritisi pandangan orang Asia terhadap Eurosentrisme. Kritik-kritik tersebut mencakup tinjauan terhadap Orientalisme, Eurosentrisme, belenggu pemikiran (the captive mind), imperialisme akademis, dan kebergantungan akademis, yang semuanya menyerukan perlunya diskursus alterlatif yang lebih membebaskan, demi menghasilkan pengetahuan yang terdekolonisasi, tradisi ilmu sosial yang otonom, dan mengulayatisasikan ilmu sosial. Pembelengguan pemikian pada dasarnya hanya menciptakan kemunduran, bukan kemajuan ilmu pengetahuan, khusus Ilmu Sosial di Asia Tenggara. Nah, itulah kenyataan yang ada dan terjadi di Indonesia, salah satunya.

Menurutnya hal serius yang harus ditangani adalah adanya “benak terbelenggu” (captive mind). Hal ini menyangkut pemikiran Asia yang ingin menghadirkan prespektif lokal dengan mengabaikan prespektif Eurosentrisme. Hal ini tidak akan memunculkan tradisi ilmu sosial yang otonom, yang selama ini menjadi harapan orang Asia. Menurutnya, komitmen bahwa sumber teori, konsep, dan ide secara keseluruhan bersifat universal, meskipun terdapat variasi menyangkut sejauh mana ide-ide dari luar lokalitas dibawa masuk dan didomestikan, bergantung pada ketaatan terhadap kriteria relevansi.

Diskursus-diskursus alternatif yang diperbincangkan selama ini adalah munculnya para Ilmuwan yang mampu berada di dua prespektif tersebut. Ilmuwan-ilmuwan ini diharapkan meninjau ulang literatur diagnostik dan perspektif masa lalu, dan memiliki perhatian serta kemauan untuk menumbuhkan hal baru dalam konsep, kategori, metode, dan teknik serta agenda riset. Menurutnya para ilmuwan sosial di Asia bisa keluar dari captive mind apabila ia mampu menghadirkan penulisan yang berimbangan antara prespektif lokal dengan Eurosentrisme. Sehingga, harapan penulisan ilmu sosial otonom dapat tercapai.

Ketidakmampuan seorang ilmuwan mempertemukan dua perspektif dalam satu kajian, menjadi masalah besar dalam upaya menghadirkan sebuah kajian yang komprehensif. Oleh karena itu, Syed Farid Alatas memberikan sebuah kritik atas kenyataan yang telah ada selama ini. Kelemahan tersebut ada dalam tradisi keilmuwan ilmu sosial di Indonesia, yang belum melihat sebuah persoalan dalam beragam perspektif. Jika ini disebut sebuah alternatif, maka benar adanya. Atau bahkan dapat dikatakan sebagai jalan baru dalam upaya menghadirkan kajian terbaik dalam bidang Ilmu Sosial. Salah satunya yang memang harus menggunakan jalan baru (alternatif) ini adalah Ilmu Sejarah. Penghadiran Sejarah Indonesia yang balance menjadi sesuatu yang penting dalam menyikapi perkembangan Teori dan Metodologi Sejarah di Indonesia.