Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pelangi di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran

Judul: Pelangi di Persia: Menyusuri Eksotisme Iran
Penulis: Dina Y. Sulaeman
Penerbit: Pustaka Ilman, 2007
Tebal: 305 halaman (ukuran besar)
Kondisi: Bekas (cukup)
Harga: Rp 80.000 (belum ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Dalam buku ini, Dina Y. Sulaeman dan suaminya Otong Sulaeman menceritakan pengalaman mereka selama 8 tahun tinggal di Iran. Selama 8 tahun tersebut mereka sempat tinggal di 3 kota, Qom (135 km dari Teheran ke arah selatan), Qazvin (130 km dari Teheran ke arah utara), dan Teheran.

Penulis mampu menceritakan bagaimana interaksi mereka dengan masyarakat Iran, yang oleh orang-orang barat disebut sebagai ‘keras kepala’. Dari buku ini penulis bisa menggambarkan situasi masyarakat Iran yang bisa dibilang sangat ramah dan santun. Pertemanan mereka dengan masyarakat Iran begitu mengharukan, di mana mereka mendapat begitu banyak bantuan dari orang-orang Iran selama mereka tinggal di sana, dan itu terlihat ketika mereka melakukan perjalanan mengelilingi Iran.

Masyarakat Iran yang begitu Syi’ah sentris ternyata sangat menjamin kebebasan penganut madzhab yang berbeda yaitu kaum Sunni dan agama lainnya seperti kristen dan zoroaster atau majusi. Yang paling menarik bagi saya dalam buku ini adalah bagaimana hubungan Sunni-Syi’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan sholat, orang-orang Sunni bersedekap sedangkan orang-orang Syi’ah meluruskan tangan ke bawah. Adapun gerakan sholat yang lain, jumlah rakaat, dan bacaannya adalah sama. Azan yang umum di Iran yang Syi’ah ditambahkan dengan kalimat “Asyhadu anna Aliyyan Waliyyullah” (Aku bersaksi bahwa Ali adalah Wali Allah) setelah kata “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” dan kata “Hayya ala khairil amal” (mari kita melakukan amal terbaik) setelah kata “Hayya alal falah”. Tetapi, di beberapa masjid Sunni tetap menggunakan azan yang sama yang biasa kita dengar di Indonesia. Kalau di Indonesia, kita sebagai orang awam menganggap orang Syi’ah itu aneh dan berbeda, sebaliknya di Iran, masyarakat Iran menganggap Sunni itu berbeda dan aneh. Tetapi hal itu tidak menghalangi mereka dalam hubungan sosial sehari-hari termasuk dalam pernikahan beda madzhab dimana sumpah nikah dibacakan dua kali, sekali dengan cara Sunni dan sekali dengan cara Syi’ah. Dan yang lainnya, ketika Ramadhan, orang-orang Syi’ah tidak melaksanakan sholat Tarawih berjamaah, tetapi pada malam ke-19, 21, dan 23 Ramadhan mereka melakukan I’tikaf di masjid untuk menjemput malam Lailatul Qadar seperti yang dihaditskan oleh nabi Muhammad SAW.

Penghormatan masyarakat Iran terhadap keturunan nabi Muhammad SAW sangatlah besar. Hampir di setiap penjuru Iran ada makam Imamzadeh, sebutan mereka untuk para Imam dalam madzhab Syi’ah yang sebagian besar adalah para keturunan nabi Muhammad SAW. Setiap tanggal 1-10 Muharram, mereka melakukan upacara duka cita untuk menghormati kematian Imam Husein dan Keluarganya yang terbunuh di padang Karbala oleh para tentara dari Dinasti Umayyah. Pada hari-hari tersebut banyak dilantunkan azadari atau lantunan bait-bait syair yang berisikan tumpahan rasa duka cita yang mendalam.

Buku ini juga sedikit menceritakan bagaimana sikap masyarakat Iran ketika PBB mengeluarkan resolusi yang mengembargo mereka, berkaitan dengan proyek pengayaan uranium untuk installasi nuklir di Iran. Dari sini kita bisa melihat betapa besar dan tingginya semangat nasionalisme orang-orang Iran. Dari ibu rumah tangga hingga kepala negara begitu bangga dengan proyek nuklir mereka yang bisa mensejajarkan mereka dengan bangsa-bangsa maju yang lain di dunia. Penulis juga menceritakan suasana pemilu 2005 yang begitu ramai di Iran. Di tengah gencarnya propaganda Amerika kepada masyarakat Iran untuk memboikot pemilu, masyarakat Iran malah dengan semangat datang berbondong-bondong datang untuk memberikan suara mereka.

Embargo terhadap Iran sepertinya tidak berdampak pada kemunduran orang-orang Iran. Mungkin benar juga kata Imam Khomeini yang sering dikutip di tivi-tivi Iran, “Kita jangan pernah takut atas embargo ini. Jika mereka mengembargo kita, kita akan lebih giat bekerja, dan hal ini bermanfaat bagi kita. Orang-orang yang takut terhadap embargo hanyalah orang-orang yang menjadikan ekonomi dan duniawiah sebagai tujuan hidupnya semata”. Setelah 27 tahun diembargo (sejak 1980), Iran telah menjadi negara yang bisa berswasembada dalam berbagai hal. Termasuk dalam teknologi militernya, dimana mereka mampu memproduksi sendiri persenjataan dan kendaraan-kendaraan perang. Bisa dibandingkan dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini diberitakan malah mengalami kesulitan ekonomi akibat sistem perbankan mereka yang morat-marit dan naiknya harga minyak dunia. Di Indonesia harga bensin mencapai 6000 rupiah per liter sedangkan di Iran masih 1000 rupiah per liternya. Bahkan mereka sedang beralih kepada kendaraan berbahan bakar gas, dimana 1 tabung gas berharga 2000 rupiah bisa digunakan untuk perjalanan 100 km. Jadi, dimana efek buruk embargonya?

Menjelang 2 bulan kepulangan penulis bersama suami kembali ke Indonesia, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan mengelilingi Iran. Dalam perjalanan itu mereka berjumpa orang-orang Iran dari berbagai etnis, budaya, dan agama. Mereka menyaksikan keanggunan dan keningratan orang-orang Gilan di utara, militansi kesukuan orang-orang Kurdi di barat, kehangatan nyala api orang-orang Majusi di timur, hingga keramahan khas orang-orang etnis Arab di selatan Iran. Desa kuno berusia lima ribuan tahun di Abyaneh, kebun-kebun mawar yang air sulingan bunganya dipakai untuk mencuci Ka’bah, kebun teh dipinggir laut Kaspia, puing-puing perang di Khuramshahr, kuil sesembahan orang Persia kuno di pedalaman Shoush, kota kuno di Shoustar yang pernah diperebutkan pada era Khalifah Umar bin Khattab, masjid kaum Sunni di Sanandaj dengan beranda tuanya yang tenang, pegunungan Zagros yang membuat nafas tertahan, dan puing istana Parsepolis yang menjadi bukti kemegahan peradaban Persia kuno, adalah di antara keeksotisan Iran yang mereka saksikan dalam perjalanan itu.

Perjalanan mereka mengelilingi Iran hanya dilakukan dalam rentang waktu 2 bulan. Namun, yang tertuang di buku ini sejatinya adalah catatan tentang warna-warni pelangi yang selama 8 tahun mereka saksikan di Iran.