Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Orang Mandar Orang Laut

Judul: Orang Mandar Orang Laut: Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman
Penulis: Muhammad Ridwan Alimuddin
Penerbit: KPG, 2005
Tebal: 208 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong

Tatkala menyebut pelaut, maka orang dengan mudah menunjuk orang Bugis. Padahal asumsi ini keliru sama sekali bila kita simak pendapat Christian Pelras. Menurut penulis buku terbaik dan terpuji ihwal Bugis berjudul The Bugis (1996) itu menandaskan bahwa orang Bugis tak lebih hanyalah pedagang. Laut dan kapal sekadar sarana dagang mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar.

Atas pendapat Pelras itu, M Ridwan Alimuddin, penulis buku Orang Mandar Orang Laut ini langsung menanggap. Ia mencatat bahwa orang Bugis terkenal punya tanah subur dengan hasil bumi yang meruah. Untuk memperlancar aktivitas niaga hasil bumi itu mereka membutuhkan dermaga, termasuk di dalamnya perahu dan pelayarnya.

Akan tetapi perahu bukanlah buatan orang Bugis, melainkan buatan orang Ara dan dihaluskan orang Lemo-lemo. Sementara pelayarnya adalah orang Bira. Ketiga desa itu terletak di ujung paling selatan Sulawesi Selatan dalam kesatuan suku Konjo. Artinya, yang membuat perahu pinisi yang sangat terkenal itu sejatinya bukanlah Bugis, melainkan suku Konjo.

Sebagaimana nasib suku Konjo, keulungan Mandar dalam peta kekuatan bahari Nusantara pun tertekuk oleh ingar-bingar kebesaran Makassar dan Bugis. Makassar terkenal dengan kekuatan armada kapal perang. Bugis terkenal sebagai pedagang dan rantau yang sukses. Sementara Mandar tak memiliki itu semua (armada perang maupun benteng tebal dan besar). Maka pastilah keulungan Mandar yang dimaksudkan Pelras bukanlah berpijak pada ciri-ciri tersebut.

Bukalah peta! Kita menemukan tanah Mandar yang terletak di kawasan yang terbentang dari tepi Selat Makassar di barat hingga Pegunungan Quarles di timur yang kini masuk dalam provinsi Sulawesi Barat itu begitu tandus dan kepemilikan lahan warganya juga relatif kecil dan hanya cukup untuk menanam ketela, pisang, maupun mrica.

Tapi dalam peta kedalaman laut Indonesia, Mandar merupakan satu-satunya suku bahari yang langsung dihadapkan pada laut-dalam terbuka tanpa gugusan pulau. Jadi menurut Ridwan, sifat kebaharian suku Mandar bukan muncul dari hiruk-pikuk perebutan kekuasaan politik, militer, atau ekonomi, melainkan siasat mereka menghadapi tantangan laut dengan mengembangkan teknologi, organisasi sosial, dan ritual untuk memperoleh penghidupan dari laut.

Keulungan bahari Mandar itu bisa ditemukan pada tiga bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan, yakni rumpon (roppong), perahu (bercadik) yang bernama sande’, dan menangkap ikan sambil menghanyut di tengah laut (motangnga).

Rumpon adalah adikarya nelayan Mandar dalam teknologi alat tangkap ikan. Atas penemuan tersebut, sebagaimana dilansir peneliti FAO PBB, Schlais (1981), perangkap ikan Mandar tersebut kini sudah diadaptasi oleh 23 negara di kawasan Samudera Hindia maupun Pasifik.

Adapun perahu sande’ menjadi perahu tradisional bercadik (bersayap) tercepat di kawasan Austronesia. Christhoper Edwards, petualang maritim Inggris kelahiran Himalaya dan saat ini tinggal di Phuket Thailand, menyebut perahu yang hampir semuanya bercat putih itu seperti bangau di permukaan danau. Namun tatkala bergerak, ia tak ubahnya, dalam istilah antropolog bahari asal Jerman, Horst Liebner, serupa penari balet yang lincah di ujung buih samudera lantaran gerak cepatnya mengiris laut.

Dalam sejarah kebaharian Mandar, perahu kayu bertenaga angin inilah yang membawa nelayan-nelayan Mandar mendepai ruang samudera ribuan mil: dari Maluku hingga Singapura, dari Flores hingga Sulu.

Maka tak berlebihan bila pada 1997 perahu dengan tubuh ramping semampai, berlayar cantik, dan bertiang lentur ini menjadi satu-satunya perahu tradisional yang dapat kehormatan di pameran maritim sedunia yang bertema “Dari Pulau ke Pulau” di Museum Nasional Prancis.

Selain rumpon dan perahu sande’, tradisi motangnga, yakni menangkap telur ikan terbang yang harganya mahal dengan cara menghanyut ke laut-dalam, merupakan bentuk ketiga teknologi tangkap ikan nelayan Mandar. Di Mandar, pelayaran selama kurang lebih 10 hari di laut lepas untuk laku motangnga tersebut, selain didorong oleh faktor ekonomi, juga sudah jadi “ritus religius” saban tahun yang dinanti-nantikan.

Dari interaksi selama 4 tahun di Kampung Pambusuang, Majene, ini Ridwan paling tidak menemukan dua hal. Pertama, bekerjanya organisasi sosial yang terpintal sedemikian rupa dalam komunitas nelayan Mandar. Organisasi sosial itu adalah: (1) nelayan (posasi’), termasuk di dalamnya adalah nahkoda (punggawa posasi’) dan awaknya (sawi); (2) pembuat perahu (pande lopi); (3) dukun (sando); (4) pemilik modal (punggawa pottana); dan (5) pedagang perantara (pappalele) yang biasanya diperankan oleh istri-istri nelayan.

Kedua, dari interaksi antar organisasi (sosial) bahari yang sudah berlangsung panjang itu melahirkan tiga sistem pengetahuan penting dunia kebaharian, yakni pengetahuan pelayaran dan kelautan, keperahuan, dan mistik atau kegaiban.

Interaksi lintas sosial itu, tak saja meneguhkan bagaimana daya cipta orang Mandar membangun ketahanan komunitas, sosial, dan ritualnya, tapi juga membangun sebuah pengertian akan zaman yang terus-menerus bergerak. Bisa jadi sande’, rumpon, dan teknik menangkap ikan motangnga akan suruk ke dasar gumuk pasir pantai, tapi yakinlah bahwa kekuatan bahari Mandar terletak pada daya cipta mereka dan bukan pada hasil cipta. Dan keulungan Mandar yang disebut Pelras maupun diperteguh Ridwan dalam buku ini adalah kreativitas mereka beradaptasi dalam labirin perubahan zaman yang berlari cepat.