Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syeikh Siti Jenar (Buku Satu)

Judul: Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar (Buku Satu)
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: LKiS, 2004
Tebal: 356 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
WA 085225918312
 
Buku-buku yang ditulis belakangan tentang tokoh kontroversial ini sekedar menjelaskan sebab musabab kenapa dia dihukum. Orang hampir tidak pernah disuguhi riwayat pribadinya sebagai manusia beriman. Buku ini memberikan perspektif baru dalam cara baca-pandang terhadap sejarah. Dengan merujuk kitab-kitab versi Cirebon, novel ini mampu menghadirkan sisi-sisi kemanusiawian Syaikh Siti Jenar.

Buku ini bercerita tentang tokoh besar di tanah jawa, Syekh Siti Jenar, a.k.a Syekh Lemah Abang, a.k.a San Ali. Cerita panjang mengenai latar belakang perjalanan hidupnya, jauh sebelum peristiwa perselisihannya dengan "Wali Sanga" yang berujung pada hukuman mati yang terkenal itu. Buku ini berupaya menggali sosok Syek Siti Jenar dari historiografi yang jarang dirujuk, naskah yang tersimpan di Kasultanan (kasunanan) Cirebon. Selain itu, buku ini menggali juga tradisi yang masih dilakukan oleh sejumlah pesantren di sekitaran Gunung Jati yang diwarisi sejak masa Syekh Siti Jenar nyantrik di sekitar wilayah Cirebon.

Hal itu menarik buat saya. Cirebon sendiri, setahu saya, menyimpan sejumlah naskah yang jaman penulisannya relatif lebih awal dibandingkan sejumlah naskah yang tersimpan di Solo atau Yogya. Ada beberapa naskah yang cukup menghebohkan yang sempat saya dengar, seperti penyebutan bahwa Raden Wijaya dari pihak bapak merupakan bangsawan Galuh. Hal yang menimbulkan sebuah hipotesa bahwa hal itu yang membuat Galuh tetap eksis sebagai kerajaan otonom meski wilayahnya dekat dengan kekuatan besar semacam Majapahit saat dibawah pemerintahan Hayam Wuruk, meski kemudian timbul perdebatan seputar otentisitas naskah karena bentuk susunannya yang sangat western (CMIIW).

Lepas dari persoalan itu, buat saya, naskah-naskah lokal yang tersedia yang belum banyak diungkap itu justru memunculkan gambaran yang jauh dari "sejarah" yang umumnya diamini oleh mayoritas masyarakat. Sumber lain yang kesannya dibiarkan membisu, atau dipaksa bungkam kerena "keliaran" ceritanya yang dapat menggugat kemapanan bayangan yang terlanjur diterima sebagai kebenaran sejarah sekian lamanya. Hal lain yang menarik adalah penggalian artefak dari tradisi yang masih diwarisi dari jaman San Ali masih nyantrik di sekitar Caruban merupakan kerja penelitian yang menarik, menyaring bagaimana sistem kemasyarakatan bertarung dengan zaman dalam rentang waktu yang demikian panjang. Hal ini mengingatkan tentang cara Geertz merekonstruksi Bali di masa lampau dengan sejumlah bukti hidup yang masih dilakukan oleh masyarakat di keseharian.

Dua hal itu, naskah lokal yang menjadi sumber historis alternatif, dan penggalian tradisi yang menyisakan artefak masa lampau yang membuat saya terkesan dengan buku ini.

Di dalamnya terdapat beberapa hal yang menguatkan dugaan saya tentang jalinan nusantara, termasuk tentang gelaran yang mirip yang tersebar tidak hanya di Jawa, tetapi juga di Sumatera, hingga ke Malaka. Penyebutan Cirebon dengan kasunanan, Susuhunan Kudus, membuat kita harus lebih peka bagaimana pengaruh bahasa asing terhadap sistem aristokrasi lokal yang terbentuk di era banyak kekuatan lokal tumbuh di Nusantara. Konon hal itu terjadi di masa Majapahit sedang surut pengaruhnya. Persoalan etnisitas dan keragaman yang berkembang pun menjadi lebih menarik karena Nusantara pada saat itu menjadi wilayah dengan keragaman yang terbilang tanpa hegemonik, Majapahit yang Hindu-Budha dengan panganut mayoritas namun kekuatan politiknya menurun, sedangkan kelompok islam yang minoritas namun dengan pengaruh politik yang berada pada kecenderungan meningkat. Di dalamnya terlihat bagaimana etnisitas dan keragaman dapat menjadi sumber keberkahan atau menjadi alat politisasi bagi kepentingan penguasa.

Hal penting yang jadi benang merah dalam buku - yang ternyata berseri - ini buat saya adalah perbedaan perspektif. Buku ini mencoba membangun sebuah perspektif emik atas sosok Syekh Siti Jenar. Perspektif yang jarang bisa ditampilkan dari naskah lokal atau sumber lisan yang cenderung diamini masyarakat luas. Syekh Lemah Abang yang mewarisi hingga kini istilah Abangan bagi pengikutinya telah menjadi sisi terpinggirkan yang jarang diajak bicara, sehingga kerap pemahaman yang tersebar luas tak lain hanyalah obyektifikasi atas kelompok bisu berabad-abad. Buku ini kiranya bagian dari melihat kelompok abangan sebagai subjek yang berbicara (yang entah sama atau tidak dengan istilah yang digunakan Geertz, atau juga kelompok yang dilabeli sebagai kiri karena abangan juga bisa berarti merah). Apakah dengan buku ini kaum abangan berhasil menjadi subjek, meng-aku seperti junjungan mereka yang mencari aku-nya untuk bisa bertemu dengan Sang Aku?
Pesan Sekarang