Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Siapa Memanfaatkan Letkol Untung

Judul: Siapa Memanfaatkan Letkol Untung
Penulis: Endik Koeswoyo
Penerbit: Media Pressindo, 2007
Tebal: 104 Halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Dumai


Sebelum pecah Gerakan 30 September (G30S), track record Letkol Untung sebagai prajurit terbilang cemerlang. Tak banyak prajurit TNI yang dianugerahi Bintang Sakti sebagai penghargaan atas keberanian dan pengabdiannya pada negara. Tercatat ada dua prajurit TNI Angkatan Darat yang disemati Bintang Sakti oleh Presiden Soekarno, yakni Untung dan Benny Murdani. Tapi nasib dan jalan hidup mereka berbeda. Benny akhirnya berhasil menjadi jenderal bintang empat dan meraih posisi tertinggi sebagai Panglima ABRI. Sementara Untung hanya meraih dua melati di pundaknya, dan karirnya tamat akibat keterlibatannya dalam G30S.

Buku ini bukan memoar atau biografi perwira menengah, yang sempat menjadi Ketua Dewan Revolusi selama beberapa hari pada 1965, itu. Penulisnya, Endik Koeswoyo, mencoba mencari jawaban atas misteri seputar keterlibatan Untung dalam gerakan berdarah di penghujung September 1965, sekaligus menguak siapa yang memanfaatkan Untung dan meraih untung dari kegagalan G30S.

Bukan cuma kontroversial, Untung juga punya kedekatan khusus dengan dua mantan presiden, Soekarno dan Soeharto. Oleh Soekarno, dia dipercaya menjadi pengawal presiden dalam Resimen Cakrabirawa, tepatnya sebagai Komandan Batalion I/Resimen Cakrabirawa.

Sementara kedekatan dengan Soeharto terjalin sejak dia menjadi anak buah Soeharto di Kodam Diponegoro, dan berlanjut ketika Soeharto menjadi Panglima Mandala. Soeharto juga hadir saat Untung menikah di Kebumen beberapa bulan sebelum G30S meletus. Kedekatan hubungan inilah yang kelak menimbulkan spekulasi tentang tidak masuknya nama Soeharto dalam daftar jenderal korban penculikan G30S.

Loyalitasnya kepada Soekarno diduga menjadi penyebab Untung mau memimpin G30S. Itu dikarenakan dia tidak bersimpati kepada Dewan Jenderal (para jenderal yang menjadi target G30S), yang dianggapnya sebagai kumpulan tokoh yang ingin mengambil alih kekuasaan Soekarno. Dewan Jenderal, menurut versi Untung, adalah sekelompok perwira tinggi yang hidup enak di atas kesengsaraan rakyat miskin kala itu. Dewan Jenderal juga merupakan orang-orang yang berhubungan dengan AS. Dengan alasan itulah dia mengumpulkan beberapa perwira menengah untuk menghadapkan Dewan Jenderal kepada presiden.

Namun rencana tersebut tidak berjalan mulus. Campur tangan pihak ketiga menjadikan penjemputan itu sebagai sarana untuk melakukan pembantaian dan pembunuhan. Tidak pernah ada yang tahu siapa dalang sesungguhnya. Namun Untung lah yang tercatat sebagai pemimpin gerakan tersebut. (hal 22)

Siapa sebenarnya yang menjadi pihak ketiga? Itulah yang ingin dicari jawabannya dalam buku ini. Berdasarkan kesaksian Kolonel Latief, pada awalnya diputuskan unutk menghadapkan ketujuh jenderal kepada presiden untuk dimintai keterangan mengenai masalah Dewan Jenderal. Jadi, semula tak ada maksud untuk membunuh, apalagi menyiksa para jenderal itu. Letkol Untung ditunjuk sebagai komandannya, sementara pelaksanaannya di lapangan dipercayakan pada Letnan Satu Dul Arief.

Menjelang keberangkatan ke rumah para jenderal, Sjam Kamaruzzaman, Ketua Biro Khusus Comite Central PKI, orang yang dikenal oleh Latief sebagai “intelnya” Untung, tiba-tiba saja ikut dalam rombongan Dul Arief. Dari Sjam inilah Dul Arief mendapat perintah untuk membawa hidup atau mati para jenderal.

Sosok Sjam dianggap banyak pihak sebagai tokoh yang menjadi kunci dari G30S. Latief mengaku baru bertemu Sjam setelah dikenalkan oleh Untung pada rapat-rapat perencanaan G30S. Kerap disebut-sebut Sjam adalah agen ganda. Namun masih kabur untuk siapa dia bekerja? Siapa yang “menyusupkannya” ke dalam kelompok Untung? Dan dari mana perintah “hidup atau mati” itu? (hal 63-64)

Masuknya Sjam, yang diduga agen ganda itulah, yang menyebabkan terjadinya pembunuhan terhadap para jenderal yang diyakini sebagai Dewan Jenderal.

Setelah G30S gagal, Untung melarikan diri ke Jawa Tengah. Dia tertangkap di Tegal pada 11 Oktober 1965, dan tak lama kemudian dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).

Sebelum mengakhiri buku ini, Endik Koeswoyo memaparkan jalinan hubungan antara para pelaku G30S dengan Soeharto, yang ketika itu menjabat sebagai Pangkostrad. Letkol Untung mantan anak buah Soeharto. Pernikahannya dibantu oleh Soeharto. Sementara Kolonel Latief, juga mantan anak buah Soeharto di Yogyakarta, yang sepaham dan sehaluan. Latief lah yang memberi tahu Soeharto pada 30 September 1965 sekitar jam 23.00 di RSPAD Gatot Subroto, akan adanya gerakan penjemputan Dewan Jenderal, yang akan dimulai jam 04.00 tanggal 1 Oktober 1965.

Sedangkan Sjam Kamaruzzaman adalah kader Partai Sosialis di Pathuk, Yogyakarta, sewaktu PKI, Murba dan PSI masih berada dalam satu wadah. Soeharto juga sempat menjadi salah seorang kader.

Buku ini diakhiri dengan mengutip kesaksian mantan Wakil Perdana Menteri Subandrio seputar G30S. Ketika sama-sama ditahan di LP Cimahi, Untung mengaku kepada Subandrio tidak bekerja sendiri karena Soeharto mengetahui, bahkan menjanjikan mendukung gerakannya dengan bantuan pasukan. Menurut Subandrio, Untung kerap mengatakan bahwa tidak mungkin Soeharto akan mengkhianatinya. Sebab dia adalah sahabat Soeharto dan Soeharto mengetahui rencana G30S. (hal 102)