Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Seni, Politik, Pemberontakan

Judul: Seni, Politik, Pemberontakan
Penulis: Abert Camus, Leon Trotsky, William Philip, Stephen Spender, Barbara Rose, Nicola Chiaromonte
Penerbit: Bentang Budaya, 1998
Tebal: 196 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta

Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan  yang mencoba menampilkan beberapa cuplikan tentang dunia seni dan keseniman, kreatifitas mereka serta kehidupan politik. Tanpa pretensi menjadi pintu yang secara sistematis dapat digunakan menuju lapangan politik melalui lorong seni., melainkan sekedar jendela untuk menyaksikan keterlibatan beberapa seniman di dunia politik, dalam sebuah bingkai terbatas.

Camus mencoba memaparkan peran yang dimainkan kreativitas estetis para seniman dalam kehidupan yang lebih luas, di luar ruang kaca seni. "Seniman adalah orang yang menolak sekaligus menerima dunia." Ia ingin mengubah dunia yang ada menjadi lebih indah, lebih teratur, lebih bermakna. Lukisan, patung, novel, semua adalah usaha manusia untuk menghadirkan dunia khayal yang dia impikan. Dalam berkhayal, seniman sering dibatasi oleh kenyataan dunia yang telah ada. Dengan demikian, kreatifitas seni, dalam banyak hal, adalah pemberontakan.

Tulisan Trotsky menggambarkan perkembangan seni dalam hubungannya dengan kehidupan politik. Dengan setting Rusia awal abad ini, Trotsky mengungkapkan bahwa seni tidak pernah lepas dari kepentingan dan muatan politik. Banyak seniman yang menjalankan kreativitas seninya dalam rangka mencari kedudukan dan prestasi politis, atau sekedar menyelamatkan diri dari kemungkinan malapetaka politis, dengan membuat karya-karya yang mengagungkan penguasa.

Philip -seorang Amerika-, melalui tulisannya menunjukkan kegagalannya untuk mengingkari bahwa sastera Eropah lebih dalam dan kokoh, sedangkan Amerika nampak dangkal dan 'pinggiran'. Keunggulan sastera Eropah tersebut secara mendasar karena mereka memiliki tradisi intelektual yang mapan, yang sudah berlangsung bahkan semenjak revolusi Perancis. Mereka punya forum-forum yang secara rutin digunakan untuk membahas dan memperdebatkan, bukan hanya dunia seni, melainkan juga kondisi masyarakat secara lebih luas.

Spender mengulas kontroversi seniman Eropah seputar kematian Julien Bell dan John Cornford. Keduanya adalah penyair muda yang meninggalkan dunia kepenyairan untuk aktif dalam pergerakan dan tewas dalam perang di Spanyol. Meskipun di Eropah keterlibatan seniman dalam politik bukan hal yang baru, tapi di Inggris, tempat kedua penyair tersebut berasal, keterlibatan seniman belum seaktif di Perancis.

Rose dengan sangat cerdik mengungkapkan dimensi protes yang terkandung dalam kreatifitas seni. Hubungan seniman dan masyarakat digambarkan ibarat orang tua dan anak. Masyarakat, selaku orang tua, membuat aturan-aturan yang mengekang kreasi seniman yang dianggap selalu melanggar tatanan yang sudah baku. Sementara seniman ibarat remaja yang bosan dengan tradisi kolot dan membayangkan sebuah tatanan baru yang lebih baik.

Chiaromonte menghadirkan drama tragedi  perseteruan Albert Camus dan Jean-Paul Sartre. Pertentangan dua pionir sastra Perancis yang telah menjalin persahabatan puluhan tahun ini, menurut Chiaromonte, adalah persoalan politis. Sartre menyerang Camus karena menolak aktif dalam pergerakan rakyat Aljazair yang sedang berjuang merebut kemerdekaan. Mereka berada pada posisi berbeda. Camus adalah anak Aljazair yang tumbuh dari masyarakat terjajah dan meraih kesuksesan di dunia modern. Sedangkan Sartre adalah pemikir yang tumbuh dalam kehangatan kapitalisme, tidak pernah aktif dalam pergerakan partai, namun simpati dan mendukung ide-ide kelompok kiri. 

Safar Manaf