Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy

Judul: Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy
Penulis: Muhsin Al-Mayli
Penerbit: Paramadina, 1996
Tebal: 324 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Terjual Jakarta Utara


Ada asumsi bahwa "marxisme adalah Islam minus tauhid". Namun, asumsi ini diragukan oleh banyak umat Islam karena dianggap tak dapat dibuktikan. Keraguan itu diperkuat oleh sosok Roger Garaudy. Lewat buku ini Garaudy, yang bernama asli Jean Charles Garaudy -seorang Prancis yang lahir pada 1913- digambarkan berpetualang "mencari Tuhan". Mula-mula ia Kristen, kemudian komunis, dan akhirnya memeluk Islam. Buku karya Muhsin al-Mayli ini juga meneguhkan bahwa marxisme memang unggul sebagai ideologi pergerakan, tapi tetap tanpa pertimbangan transendensi.

Pertama kali Garaudy tertarik pada Islam saat ia dipenjarakan di Aljazair. Pada 4 Maret 1941, para pejuang yang ditahan di Jalfah mengorganisasikan unjuk rasa yang menimbulkan kemarahan komandan kamp. Sang komandan menginstruksikan pengawal yang terdiri dari warga Aljazair untuk menembak. Tapi mereka menolak. Sang komandan mengancam akan mendera para pengawal itu bila tak menembak, tapi mereka bersikukuh menolak. Dan Garaudy bilang, "Mula-mula saya tak mengerti sebabnya karena saya tak tahu bahasa Arab. Kemudian saya mengetahui dari seorang pembantu Aljazair dalam pasukan Prancis yang bekerja di kamp itu bahwa kehormatan tentara muslim melarangnya melepaskan tembakan kepada orang yang tak bersenjata. Ini adalah kali pertama saya mengenal Islam dalam sebuah kejadian penting dalam hidupku, dan ternyata lebih banyak memberiku pelajaran daripada studi 10 tahun di Sorbonne."

Yang terjadi pada Garaudy memang ganjil. Pertama, konversi agama Garaudy terjadi beberapa kali. Kedua, dengan tegas Garaudy menyatakan bahwa ia adalah seorang muslim yang memegang Bibel (Injil) dan Das Kapital karya Marx. Pernyataan ini memang misterius, tapi bukan tak dapat diuraikan.

Penjelasan pernyataan Garaudy itu dapat ditelusuri dari obsesinya yang hendak menemukan peradaban alternatif, yang dapat memecahkan problem manusia kontemporer dan peradaban modern. Bagi Garaudy, Islam memang paling ampuh dalam memberi referensi memuaskan demi membantu manusia menuju hidup lebih nyaman. Tapi Islam yang dapat melakukan hal itu, ujarnya, adalah Islam yang menginternasional, yaitu Islam yang terbuka, yang tak takut berinteraksi dengan ideologi, agama, serta aliran lain.

Dengan kata lain, itu haruslah Islam yang mampu menampung nilai-nilai positif dari agama lain. Kata kunci yang diberikan Garaudy adalah Islam yang dialogis, dialektis, yang tak terkungkung atau terbatas dalam lingkaran regional dan nasional tertentu. Betapapun, lanjutnya, Islam yang menginternasional ini merupakan Islam yang selalu mengakui adanya qasim musytarak (titik temu) dengan agama-agama lain, meski secara khusus terdapat karakteristik dan perbedaan khas di antara agama-agama tersebut.

Pikiran inti yang berada di belakang kepala Garaudy, keterbukaan Islam terletak dalam kerendahhatian Islam sendiri, yang siap menelaah keyakinan-keyakinan lain demi mengetahui titik-titik temu, berikut segi kemiripan dan kesamaan. Sedangkan dialog adalah ikatan erat dengan yang lain untuk tujuan belajar serta mendapat manfaat dalam memperkaya keyakinan. Inilah yang dimaksud gerakan dialektis, dan ini pula yang mendorong Garaudy ber-Islam dengan tetap menggenggam Bibel dan Das Kapital.

Sebagaimana diceritakan buku tersebut, Garaudy adalah penganut Kristen yang beralih ke komunis sebelum masuk Islam. Ia memaklumkan diri sebagai muslim saat berusia 69 tahun. Dan buku ini merupakan karya pertama berbahasa Arab yang menulis Garaudy secara lebih komprehensif.

Akan tetapi, perpindahan seorang nonmuslim menuju muslim itu merupakan kebanggaan ataukah ironi? Sudah terlampau tak asing bagi umat Islam Indonesia bahwa banyak intelektual Eropa yang kini mulai berduyun berkonversi agama ke Islam, lebih dahsyat lagi mereka adalah orang-orang "berat".

Hanya saja, pertama, mereka melakukan itu umumnya di umur yang amat lanjut. Fenomena ini dapat dirujuk pada pengalaman - menyebut sedikit contoh- Garaudy, Muhammad Asad, dan Annemarie Schimmel. Tidakkah ini ironi bila mereka masuk Islam di usia cukup tua? Di usia yang cukup lanjut itu tentunya terlalu terbatas buat mereka untuk melakukan sesuatu bagi agama Islam, baik dari sisi produktivitas gagasan maupun tenaga untuk "berjuang". Kedua, adalah fitri manusia untuk menikmati masa muda sepuas-puasnya, dan "sadar" di masa tua atau ketika mulai beranjak tua. Jika persepsi ini yang dimiliki maka motivasi perpindahan agama tak lebih dari refleksi kelelahan yang berbau pelarian.

Nanang Tahqiq, Dosen IAIN Ciputat