Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Melawan Melalui Lelucon

Judul: Melawan Melalui Lelucon (Kumpulan Kolom Abdurrahman Wahid di Tempo)
Penulis: Abdurrahman Wahid
Penerbit: TEMPO, 2000
Tebal: 302 Halaman
Kondisi: Bekas (Bagus)
Terjual Jakarta Barat

Siapa tak kenal Gus Dur, Mantan presiden RI ini terkenal mempunya joke-joke nakal tapi didalamnya sarat makna. Tidak hanya itu, kemampuan menulis gus dur sudah tidak diragukan lagi. Malang melintang di seantero surat kabar hampir setiap minggu. Yang kemudian diakuinya sendiri di satu wawancara televisi, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya (dulu). Melawan Melalui Lelucon ini adalah kumpulan kolom Gus Dur yang pernah dimuat di majalah Tempo. Di rentang waktu sekitar 1970an sampai pertengahan 1990an.

Saat-saat dia terhimpit oleh cengkeraman kekuasaan otoritarian yang sama sekali alergi terhadap kritik. Pembenci kebebasan media. Namun Gus Dur adalah tipikal manusia cerdik. Menyelundupkan kritik-kritik dalam lelucon dan tulisannya yang prosais. Bukankah pemerintahan waktu itu adalah sekumpulan manusia bebal?!begitu mungkin pemikiran beliau.

Memang akibatnya mungkin sedikit kontraproduktif, pembacanya menjadi terbatas. Karena memerlukan kecerdasan di atas rata-rata untuk memahami tulisan beliau. Toh Gus Dur tak perduli, dia terlalu asyik. Menumpahkan ide-ide nya yang banyak. Mulai dari politik, dakwah sampai sepakbola. Dari kyai, sampai petani-skala nasional maupun internasional. Pandangan ke-islaman yang sebagian besar mendominasi buku ini. Benar-benar menelanjangi pemikiran Gus Dur yang inklusif dan toleran. Seolah menegaskan kerinduan Gus Dur, yang ingin melihat Indonesia damai dan duduk berdampingan satu sama lain. Tanpa persoalan katebelece yang beliau nilai picik. Seperti katanya dalam Fatwa Natal, Ujung dan Pangkal.

"Bagaimana halnya dengan ujung persoalan “fatwa natal”?Apakah lalu akan keluar fatwa tidak boleh pacaran dengan gadis beragama lain? Apakah menganggukkan kepala kalau bertemu gadis juga dimasukkan pacaran? bagaimana pula tersenyum (baik malu-malu ataupun penuh harapan)? Bolehkah, nanti anak saya bersekolah satu bangku dengan murid lain yang beragama Budha? Bagaimana kalau ada tamu Hindu? Haruskah saya banting pecahkan gelas bekas ia menenggak minuman yang saya suguhkan (walaupun mungkin gelas pinjam orang lain?) Dan seterusnya, dan seterusnya.

Kalau tidak ada keinginan menetapkan ujung persoalannya, jangan-jangan nanti kita tidak boleh membiarkan orang Kristen naik taksi yang dikacanya tertulis kaligrafi arab berbunyi Bismillahirrahmanirrahim. Alangkah pengapnya udara kehidupan kita semua, kalau sampai demikian!"