Jual Buku Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965
Judul: Kaum Merah Menjarah: Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965
Penulis: Aminuddin Kasdi
Penerbit: YKCB & CICS, 2009
Tebal: 280 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta
Penulis: Aminuddin Kasdi
Penerbit: YKCB & CICS, 2009
Tebal: 280 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta
Buku ini bertutur tuntas beragam persoalan aksi sepihak yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa Timur paruh 1960-1965. Berbasiskan petani, program radikal serta konflik digalakkan. Harapannya, aksi ini jadi pemantik revolusi sosial di Indonesia. Namun, karena beberapa hal PKI gagal. Yang menarik, desa dan petani, akhirnya jadi ajang pertikaian ideologis.
Semua bermula dengan lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.
5/1960. Pemerintah meluncurkan undang-undang itu, sebagai upaya
mengatasi beragam persoalan tanah juga struktur kepemilikannya di
Jawa. Uniknya, diantara daerah lain, Jawa Timur berada pada peringkat
tertinggi untuk urusan tanah yang harus di bebaskan. Selain itu, 42,5%
penduduknya merupakan lapisan masyarakat yang tak memiliki tanah
pertanian atau sawah.
Ironisnya, pelaksanaan UUPA di beberapa tempat di Jawa Timur,
berbuntut pada konflik serta keresahan yang meluas. Ternyata,
kericuhan itu muncul sebagai imbas dari pertempuran PKI, PNI, serta
NU. Pertama, ketiganya berebut masa pendukung. Sebab, dengan
prosentase masyarakat yang tinggal di desa, partai melakukan "rural
politik". Perhatian pembinaan kader pindah dari kota ke desa. Desa
jadi sumber massa pendukung utama. Masalah kedua, ketika PKI melakukan
aksi sepihak, dengan menduduki tanah, ternyata, sebagian tanah itu
milik anggota NU atau PNI.
Dilibatkannya desa dalam peta politik nasional, mengakibatkan
terjadinya persaingan di area pemimpin supradesa. Tujuannya jelas,
mencari dukungan suara petani. Itulah penyebab masyarakat desa
terbelah dalam berbagai aliran. Selain itu, imbas lain ialah posisi
para elit desa serta lurah jadi sangat sentral.
Karena, ialah titik pusat berbagai kegiatan politik. Baik dari segi
kekuasaannya untuk menentukan laju arah politik desa, atau kepentingan
politik di desa yang dibebankan padanya. Dan dalam kasus pelaksanaan
UUPA, lurah jadi ketua landreform tingkat desa. Disinilah perannya
makin penting, mendaftar dan melaksanakan penyitaan tanah.
Untuk tingkatan elite tradisional, posisi ini dikuasai kiai yang jelas
berafiliasi ke NU. Tak mau kalah, lantas PNI masuk ke desa lewat jalur
birokrasi pemerintah. Sedang PKI membuka pintu masuk lewat organisasi
yang mencakup segala kelompok kepentingan. Proses politisasi ini juga
membuat status elit tradisional makin luntur. Akhirnya, peranan itu
membuat warga desa mendapat identitas baru. Namun, menurut Aminuddin
Kasdi, kedudukan dan peranannya sebagai patron pun makin kental. Tak
heran, jika muncul kooptasi diantara elit tradisional dan lurah. (hal.
89).
Untuk menggaet massa, PKI juga menerapkan strategi lain. Mereka
meletakkan kepentingan desa di atas kepentingan kota. Yaitu dengan
memberikan tanggapan atas kebutuhan petani, juga meningkatkan
kesadaran dan partisipasi mereka.
Apa yang dilakukan PKI telah sedikit merubah tipikal pemimpin
tradisional. Sebab seseorang disebut pemimpin jika ia sakti,
mandraguna, mukti, serta wibawa. Untuk kriteria ini, kebanyakan kiai,
guru, pejabat desa, serta pemimpin tradisional lainnya telah kokoh
posisinya. Hingga mereka siap memberikan petunjuk bagi pengikutnya.
Nah, apa yang dilakukan PKI, dengan merekrut kadernya ditingkatan
paling bawah dan merubahnya jadi pemimpin. Senjata mereka cuma
kecakapan berdebat dan pengetahuan politik. Semuanya didapat dari
kursus, rapat, juga pembinaan yang intensif. Hingga tak heran, sejak
tahun 1959, kader PKI diwajibkan dalam menanggani masalah agraria dan
massa tani, harus berdasarkan riset. Bahkan jika pekerjaan praksis
mereka gagal, maka mereka harus bekerja secara ilmiah. Terutama dalam
membangkitkan, memobilisassi, serta mengorganisasi massa.
Selain itu, tugas penelitian yang lain yakni: meneliti kepala desa
yang menghalangi UUPA, menelanjangi tuan tanah, dan memperkuat front
persatuan tani revolusioner. Kaum tani pun harus dibangkitkan untuk
melaksanakan aksi me-retool (mencopot) kepala desa yang menghambat
atau membantu tuan tanah dalam pelaksanaan UUPA.
Walau telah melakukan persiapan yang dianggap cukup, ternyata
keputusan untuk melakukan aksi sepihak sangat tergesa-gesa. Banyak hal
yang terlupakan PKI. Misalnya, ketika pelaksanaan landreform, keuangan
negara yang tak memungkinkan diadakan ganti rugi. Tak jarang, tanah
yang telah dibeli negara tak dibayar langsung. Ini memberikan kesan
bahwa pemerintah hanya menyita tanah.
Masalah lain, para tuan tanah pun melakukan banyak cara menyelamatkan
tanahnya. Misalnya memindahkan hak pemilikan tanah pada orang lain.
Laiknya dihibahkan, waris, dibagi karena perceraian, dan mewakafkan
pada lembaga keagamaan tertentu.
Menurut Aminuddin Kasdi, penyebab kegagalan PKI, pertama, pelaksanaan
UUPA sendiri masih bersifat kompromi. Hingga UUPA sendiri belum
memenuhi tuntutan PKI untuk melenyapkan tuan tanah. Kedua, PKI belum
memiliki daerah yang benar-benar telah dikuasai secara sosial,
ekonomi, politik, dan militer. Ketiga, dalam melakukan aksi sepihak,
PKI tak berhasil memperoleh dukungan massa petani miskin seluruhnya.
Karena mereka tetap terpecah dalam tiga kelompok besar Nasakom.
Sewaktu mengadakan aksi sepihak pun, PKI mendapat perlawanan keras
dari warga NU dan PNI. (hal. 154).
Buku yang merupakan hasil tesis Fak. Pascasarjana UGM tahun 1990 ini,
sesungguhnya layak untuk disimak. Pertama, ia menyajikan inventarisasi
berbagai aksi sepihak di Jawa Timur. Kedua, Aminuddin Kasdi dengan
jeli menggungkapkan berbagai kondisi struktural dan penyebab
meletusnya aksi sepihak. Ketiga, kelengkapan analisis yang ditunjang
dengan beragam data pendukung.
Ajar Aedi, Mahasiwa Fak. Filsafat UGM